Di perbatasan malam, segala perasaan perlahan-lahan pudar. Seakan-akan Nedia tidak ingat lagi bagaimana rasa dari pahitnya dikhianati, sakitnya dilukai, pedihnya dikecewakan. Sejak ia memutuskan melangkah pergi dari restoran, Nedia tahu bahwa ini bukan apa-apa. Sebelumnya dia sudah pernah merasakan sakit lebih dari ini. Jadi ketika harapannya meluncur ke dasar lantai hingga menjadi bagian yang tidak utuh lagi, dia masih mampu berdiri tegak.
Nyaris 2 jam lamanya ia duduk terpekur di depan toko fotokopi yang sudah tutup. Di seberang jalan ada sebuah toko boneka yang masih buka. Anak perempuan yang baru keluar dari sana menenteng sebuah boneka unicorn warna merah jambu dengan raut bahagia. Kemudian tak lama setelah anak itu pergi bersama kedua orang tuanya, lampu-lampu toko mulai dipadamkan. Pemilik toko membalik plang tutup dengan senyum lebar, seakan-akan ia puas dengan kerja kerasnya hari ini.
Adegan itu sama persis dengan apa yang pernah dialaminya bertahun-tahun silam. Saat itu segalanya masih baik-baik saja. Dia masih jadi gadis 9 tahun yang bahagia dengan mimpi agar ia lekas dewasa. Kini, segalanya tak lagi sama.
Mungkin pepatah kuno itu benar, bahwa roda pasti berputar. Seseorang bisa saja berada di puncak dengan bahagia tiada tara, bisa juga jatuh tersungkur hingga ia lupa caranya bangkit. Segalanya hanya soal waktu...
Dan keberuntungan, ia berakhir menertawakan dirinya lagi.
"Dulu lo bilang, manusia pernah bicara pada Tuhan sesaat sebelum dia dilahirkan. Kalau dia siap dengan segala resiko, maka dia akan lahir. Tapi kalau dia tidak siap, dia akan kembali lebur."
Nedia berhenti bicara. Sesaat setelah ia menarik napas panjang, ia menoleh ke belakang. Tepat dimana Demian duduk di bawah banner stand toko, mengamatinya dalam diam sejak lama.
Nedia tahu bagaimana laki-laki itu mengikutinya sejak di persimpangan. Entah darimana datangnya, tapi Demian terus berjalan di belakangnya. Mulanya Nedia enggan menganggap laki-laki itu ada di sana. Tapi tiba-tiba ia ingin bicara.
"Itu cuma omong kosong kan?" Nedia menoleh lagi ke belakang. Saat itu Demian akhirnya terang-terangan mendekatinya. Menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di sampingnya dengan gusar.
"Mereka yang mati sebelum waktunya, mereka nggak sanggup dengan segala resiko di hidup mereka. Tapi kenapa mereka tetap dilahirkan?"
Demian ingat, dia pernah mengatakan kata-kata menenangkan itu pada Nedia sewaktu mereka menghabiskan sore di atas gedung sekolah mereka. Dan sekarang Demian merasa ada yang salah dengan kata-kata itu. Nedia benar, kenapa mereka tetap memilih mati padahal dulu mereka berkata sanggup?
"Gue... nggak tahu." akhirnya ia berkata begitu. Karena dia memang tidak tahu. Dia bukan jenis manusia yang kerap berkata-kata bijak.
"Gue bukan Tuhan. Gue nggak ingin memaafkan siapapun sekarang. Lo, Noren, Bianca, Claudia, bahkan Mama."
"Iya, gue tahu. Kesalahan gue fatal banget. Nggak pa-pa kalau lo nggak mau maafin gue."
Malam itu, Demian menunduk dalam-dalam. Kalau dia tidak pernah mendapat maaf, itu bukan masalah besar. Demian sudah cukup besyukur saat Nedia sudi bicara dengannya seperti ini. Sudi duduk berdua dengannya padahal jarak di antara mereka sudah terlanjur jauh untuk kembali dekat.
"Tapi Ned... lo harus tahu, nggak ada yang salah sama diri lo. Bukan salah lo berada di keluarga seperti itu. Lo bener, gue jahat. Hak mereka untuk benci sama lo, tapi nggak seharusnya gue jadi bagian dari mereka. Di saat nggak ada orang yang berada di pihak lo, harusnya gue bisa jadi satu-satunya orang yang jagain lo. Tapi kenyataannya, gue sama aja."
"Lo pasti bahagia banget waktu gue dilempari telur busuk sama anak-anak semester lalu."
"Nggak sama sekali." Demian menjawab lirih. Tapi Nedia justru menertawakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colors in The Sky✔
Fantasia[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 3 Coloring is a matter of being sure or not sure. While drawing is a matter of can or cannot. And im sure to coloring your life, to drawing your dream plan. ©tenderlova2020, Colors in The Sky