Aji bergidik ngeri begitu ia membuka mata di suatu pagi, yang ia lihat di langit-langit kamarnya justru adegan saat Nedia mengecup bibirnya. Lalu sedetik kemudian, ia mengerang. Berguling ke kanan dan ke kiri seperti orang kesurupan. Harusnya ini bukan masalah besar sebab itu bukan ciuman pertamanya. Bahkan rasanya ciuman panas pun sudah pernah ia rasakan. Tapi begitu Nedia mengecup bibirnya dan lari terbirit-birit, Aji justru merasa bahwa dia seperti seorang laki-laki yang baru saja dicampakan. Lebih dari itu, berani-beraninya Nedia menciumnya tanpa ijin!
"Aiisshhh!!!" dia mengerang lagi. Kali ini dia mulai bergerak ke arah kamar mandi. Meski setibanya di sana, ia harus menemukan pantulan dirinya seperti zombie di cermin.
Semalaman dia memang tidak bisa tidur. Pertama, dia melihat cahaya kilat berwarna merah keemasan itu lagi setelah sekian lama. Kedua, karena Nedia mempertemukan bibir keduanya secara tiba-tiba. Dan pagi ini, Aji kembali menemukan adegan itu berjalan dengan gerak lambat di dalam cermin. Bagaimana Nedia mendekatinya... bagaimana Nedia menyentuh kedua pipinya... bagaimana Nedia menempelkan bibirnya...
Aji meneguk ludah susah payah, lantas mengusap wajahnya dengan kasar dan keluar dari kamar mandi sesegera mungkin. Mengabaikan rutinitas menyikat gigi dan mencuci muka, Aji berjalan gontai ke meja makan. Hanya untuk membuat kedua orang tuanya memandangnya dengan aneh.
"Morning, Pa."
Papa melipat koran, kemudian menyesap kopi paginya saat Aji menggolekkan kepalanya di atas meja. "Pulang jam berapa kamu semalam?"
Sementara Aji hanya mengangkat dua jarinya.
"Kurang-kurangin pulang malam. Kamu tuh kerjaannya banyak, belum lagi ngehandle kerjaan Abangmu. Kalau pulang malam terus yang ada kamu kurang istirahat." kata Papa. Tapi Aji hanya menanggapinya dengan hela napas panjang.
Selanjutnya, Mama datang dan meletakkan sepiring telur mata sapi di hadapan Papa. "Freid egg special for my beloved husband." katanya, praktis membuat Aji mengangkat kepalanya dan terkekeh.
"Telur mata sapi iki, Ma."
"Bukan, Papa! Ini namanya freid egg. Bukan telur mata sapi!"
"Tapi ini bikinnya diceplok kan?"
"Yo iyo, tapi kata chef Arnold namanya freid egg."
Lalu Papa mencebik. Mengangsurkan piring berisi telur mata sapi itu dengan pandangan tidak mengerti ke hadapan Aji. "Pesamu iki ceplok moto sapi opo freid egg jal?"
"Dadar." kata Aji.
"MALAH DADAR! OWALAH, NANG.. NANG.." Mama berlalu dengan wajah jutek bukan main. Sementara Papa dan Aji langsung beradu telapak tangan dan tertawa terbahak-bahak.
Beberapa saat kemudian, Mama kembali lagi. Kali ini membawa dua piring nasi goreng dan selai roti rasa coklat. Berbeda dengan Mama dan Papa, Aji tidak begitu suka makan berat di pagi hari. Dia lebih suka susu dan roti. Kadang hanya telur mata sapi, roti panggang dan kopi. Tapi meski selera sarapan mereka tidak sama, mereka tetap memutuskan untuk makan di meja yang sama.
"Kamu hari ini ke sekolahan Abangmu kan?" Mama bertanya, sementara Aji hanya mengangguk tak selera.
Fakta bahwa ia harus mengisi kelas Bang Erwin hari ini membuat semangat paginya menurun drastis. Artinya, dia akan bertemu dengan gadis mesum itu lagi. Dan mengingatnya sekilas saja berhasil membuat adegan provokatif itu muncul lagi.
"Ji-" lagi-lagi Mama menginterupsi. Kali ini wajahnya berseri-seri. "Kalau Mama jodohin kamu sama anak temen arisan Mama, kamu mau nggak?"
Aji berhenti mengunyah rotinya. "Mama masih terobsesi jadi ibunya Siti Nurbaya ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Colors in The Sky✔
Fantasía[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 3 Coloring is a matter of being sure or not sure. While drawing is a matter of can or cannot. And im sure to coloring your life, to drawing your dream plan. ©tenderlova2020, Colors in The Sky