"Pak Ali, nanti nggak usah jemput ya. Nedi mau ada urusan soalnya." Nedia menutup pintu bagian belakang dengan keras saat Pak Ali mengangguk dengan senyum lebar.
Setelah mobil yang mengantarnya berlalu, Nedia menyempatkan diri untuk menarik napas dalam-dalam. Gerbang besar di hadapannya itu selalu membuatnya sesak setiap kali ia datang kemari.
Ketika Nedia memutuskan untuk memasuki gerbang, ia menemukan sosok Demian berjalan dari arah berlawanan. Tidak ada yang berubah, penampilan anak itu masih sama seperti hari-hari kemarin. Seragamnya selalu rapi mulai dari celana, rompi sampai jas almamater. Nyaris tanpa celah.
Dan seperti hari-hari biasanya juga, Demian memberikan senyum terbaiknya ketika mereka berdua tanpa sengaja bertemu. Tapi alih-alih meladeni senyuman itu, Nedia melengos. Seolah-olah ia tidak pernah melihat keberadaan Demian sama sekali.
Akhirnya, laki-laki itu dilanda galau hebat lagi. Mungkin aturan itu sudah pasti, bahwa penyesalan akan selalu berada di urutan paling akhir. Yang bisa ia lakukan hanyalah, memandangi punggung Nedia dari kejauhan. Sambil sesekali berharap bahwa punggung itu akan berhenti dan berbalik kepada dirinya.
Haha, menghayal!
Pagi itu area lobi seramai hari-hari biasanya. Sesekali suara mobil mahal berderu halus di depan pagar untuk menurunkan penumpang. Kemudian suara sapaan yang ceria saling bersahut-sahutan. Seakan-akan pertemuan di sekolah adalah pertemuan paling menakjubkan yang pernah terjadi.
Dalam perjalanan itu, Nedia merasa ponsel di saku hoodienya bergetar. Membuatnya berhenti sejenak untuk membuka pesan yang baru saja masuk. Namun gadis itu sedikit keheranan saat orang-orang yang berlalu-lalang di sana juga berhenti. Masing-masing dari mereka menilik ponselnya satu per satu. Termasuk Demian yang masih berdiri tidak jauh dari tempatnya.
Beberapa orang kelihatan menutup mulutnya rapat-rapat. Maka dengan penasaran, Nedia turut membuka pesan broadcast yang juga ia terima dengan terburu-buru.
Itu bukan sebuah broadcast dengan pesan motivasi yang biasa ketua osis mereka kirimkan. Melainkan sebuah video tindak kekerasan dimana Noren, Bianca dan Claudia berada di sana. Korban dalam video itu tidak nampak begitu jelas. Tapi hanya melihatnya sekilas saja Nedia sudah tahu. Itu dirinya.
Sebuah video dari kamera pengawas yang merekam bagian atas gedung. Di hari yang sama ketika ia bertemu dengan Setiaji untuk kedua kalinya. Jantung Nedia terpacu lebih kuat, begitu juga Demian yang sepertinya tahu bahwa korban dalam video tersebut adalah dirinya.
"Ned, lo nggak pa-pa?"
Suara Demian bahkan tidak kedengaran begitu jelas di telinganya. Sekalipun laki-laki itu menepuk pundaknya beberapa kali, Nedia tetap geming.
Tidak berselang lama, layar televisi plasma di sisi kanan lobi menyala. Kali ini bukan video, melainkan foto-foto yang ditampilkan secara acak dimana Noren masih menjadi pemeran utama di sana. Foto-foto random yang muncul saat itu seakan-akan memperjelas bahwa Nedia bukan satu-satunya korban. Nedia sedikit tidak menyangka. Ia pikir ia hanya satu-satunya orang yang ditindas oleh gadis itu.
"Gila! Gue tahu kalau Noren emang agak nggak waras, tapi nggak nyangka gue kalau dia segila ini."
Nedia menoleh, hanya untuk menemukan sosok Bagas yang baru saja datang bersama Angel.
"Kira-kira dia bakalan lolos nggak kali ini?" perempuan yang mengenakan atribut serba merah muda itu bertanya dengan lagak jumawa.
Nedia tahu, tidak ada hubungan baik antara Angel dan Noren. Keduanya sama-sama sok berkuasa. Tapi agaknya, Angle tidak separah Noren. Gadis itu memang angkuh, banyak bicara dan selalu bersuara sinis ketika bicara dengannya. Tapi sejauh ini, Angel tidak pernah bertingkah melebihi batas seperti yang kerap dilakukan Noren.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colors in The Sky✔
Fantasía[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 3 Coloring is a matter of being sure or not sure. While drawing is a matter of can or cannot. And im sure to coloring your life, to drawing your dream plan. ©tenderlova2020, Colors in The Sky