Nedia pernah membaca artikel di sebuah koran akhir pekan. Bukan sebuah tajuk utama, tapi hanya itu satu-satunya kalimat yang cukup membuatnya tertarik. Katanya, "sesuatu dikatakan jatuh cinta, karena dia terkadang bisa terbang terlalu tinggi dan jatuh begitu keras. Tidak ada kepastian waktu kapan dia akan terbang begitu tinggi, dan kapan dia bisa jatuh untuk hancur berkeping-keping. Cinta itu kelabu, butuh kacamata yang pas untuk memastikan setiap bagian yang dimilikinya."
Atau kalimat lain di mading sekolah yang entah ditulis oleh siapa. "Jika kamu jatuh cinta dan cintamu berbalas, maka kamu akan bahagia. Tapi jika cintamu bertepuk sebelah tangan, maka kamu akan menjadi orang bijak."
Angin berhembus sesaat setelah kereta argo melintas membawa aroma besi berkarat yang kuat. Ditempat yang sama, matahari terbenam lagi. Ilalang yang perlahan-lahan mulai mati mengering mungkin memiliki cerita lebih tentang senja di tempat ini.
"Bapak suka senja?"
"Enggak."
Laki-laki itu berkata, dia tidak menyukai senja.
"Ternyata selain lemot, budek, cerewet, ceroboh, dan kelayapan malam-malam, kamu hobi nangis ya?"
Nedia tersenyum kecut. Jika mereka bertemu lebih sering, mungkin laki-laki itu akan membuat satu paragraf penuh mengenai kebiasaan-kebiasaannya. Setelah mengingat hal tersebut, ia menyedot rokoknya dalam-dalam, asap tebal berhembus dan menghilang sedetik setelah angin membawanya pergi. Sayangnya, Nedia sudah terlanjur berdoa agar tidak bertemu begitu sering dengan Setiaji.
Sudah hampir 2 minggu dia tidak bertemu dengan laki-laki itu. Ketika Nedia memilih untuk menghapus kelas menggambar dari jadwal tambahannya, ternyata Setiaji juga sudah tidak mengisi kelas. Pak Erwin sudah kembali ke sekolah dan mengisi pelajaran seperti biasanya.
Kedengaran menyedihkan, tapi ini salah satu kabar bagus. Nedia tidak perlu repot-repot menghindar jika tanpa sengaja bertemu dengan lagi-laki jangkung itu.
Tapi tidak peduli seberapa sering Nedia berharap untuk tidak bertemu dengannya, Setiaji akan selalu muncul di rumahnya setiap malam minggu. Sekadar mengobrol dengan Papa di halaman belakang, membuat kue dengan Serena sampai berjam-jam lamanya, menjemput kakaknya itu untuk pergi nonton berdua, atau tinggal lebih lama untuk makan malam bersama.
Nedia tidak terlalu peduli sebenarnya. Biasanya, dia akan berjalan melewati Setiaji seolah-olah laki-laki itu tidak ada di sana. Mendekam di kamar semalaman sampai mobil Setiaji berderu dan laki-laki itu pulang. Atau seperti sekarang ini. Nedia tahu bahwa Setiaji ada di rumahnya sejak jam 5 sore. Entah apa yang dilakukannya. Tapi Nedia mencoba untuk tidak peduli dan memilih pulang sedikit lebih terlambat dari biasanya.
"Kamu ngerokok? Santai aja. Saya juga ngerokok. Cuma kalau ada saya, jangan ngerokok."
"Kenapa?"
"Kamu cantik kalau nggak ngerokok."
Entah bagaimana, puntung rokok yang menyala selalu mengingatkan Nedia pada Setiaji. Tentang suara rendahnya, tentang senyum di matanya, tentang caranya tertawa. Laki-laki itu seperti lagu orkestra romantis di sebuah badai yang tiba-tiba datang pada musim semi.
Meski sedikit kedengaran aneh, tapi Nedia suka melihat laki-laki itu saat merokok. Bagaimana dua jarinya mengapit puntung rokok, bagaimana caranya menyalakan pemantik, bagaimana ia menyedot rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara. Hanya membayangkannya saja sudah membuat Nedia bahagia.
Di bagian barat, matahari perlahan-lahan menghilang. Langit kemudian berubah sedikit keunguan, dersik juga semakin dingin menerpa kulitnya. Tapi Nedia enggan beranjak sedikitpun. Ia menikmati bagaimana sebuah waktu bisa mengajaknya bertemu dengan dua musim: musim jatuh cinta dan musim patah hati. Dan ternyata, dua musim itu sama singkatnya dengan perjalanan siang menuju malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colors in The Sky✔
Fantasy[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 3 Coloring is a matter of being sure or not sure. While drawing is a matter of can or cannot. And im sure to coloring your life, to drawing your dream plan. ©tenderlova2020, Colors in The Sky