25# DimGray [FINAL]

36K 5.3K 2.3K
                                    

Sabtu sore itu, langit berwarna kuning cerah. Beberapa bagian dihiasi warna merah dan jingga. Sementara di bagian lainnya, masih nampak biru terang. Di hari yang belum terlalu petang, Setiaji duduk di pojok Memorella sendirian. Di saat yang bersamaan, sebuah lagu sendu mengudara. Sore yang harusnya terasa hangat, perlahan-lahan berubah muram.

Di atas meja, kopi latte yang dia pesan lima menit yang lalu mulai terasa hangat. Ditambah lima menit lagi, mungkin kopi itu akan berubah dingin. Hingga akhirnya, suara lonceng di atas pintu masuk bergemerincing. Nedia muncul dari sana, dengan balutan blus merah jambu yang belakangan jadi warna favoritnya. Rambut panjangnya tergerai indah, begitupun dengan sepasang iris matanya.

Aji memperhatikan bagaimana gadis itu berjalan mendekatinya. Di setiap detik yang terlewati, ia menyimpannya dalam ingatan dengan gerak lambat. Seakan-akan hampir setiap langkah yang gadis itu ciptakan adalah definisi sebuah keindahan. Untuk beberapa saat, Setiaji berubah beku. Ia mulai tidak mengenali bagaimana warna langit sore itu. Tidak ada suara lagu sendu, yang ada hanya suara langkah Nedia yang terdengar lebih jelas dari segalanya. Orang-orang yang berada di Memorella mendadak hilang. Di sana, hanya ada dia dan Nedia. Duduk berdua, di hadapan satu meja yang sama.

"Saya nggak telat kan?"

Akhirnya Aji terkesiap. "Nggak, memang saya datang duluan." jawabnya. Kemudian laki-laki itu menyeruput kopinya--yang jelas sudah tidak lagi terasa seperti kopi.

Untuk beberapa lama, keduanya sama-sama terdiam--bingung harus memulai pembicaraannya dari mana. Sementara di luar kendali mereka, lagu sendu terus berganti. Warna langit yang semula terang juga perlahan-lahan berubah temaram. Di antara keheningan mereka, waktu terus berjalan.

"Saya udah dengar semuanya dari mama saya." akhirnya Nedia mengalah, ia berbicara lebih dulu.

"Apa?"

"Soal bapak yang selama ini bantuin mama saya."

Kemudian keduanya terdiam lagi. Seakan-akan mereka datang hanya untuk menghayati setiap penggal lirik lagu yang terdengar. Sampai akhirnya Setiaji sadar, baru ada satu minuman di atas meja mereka. Jadi tanpa sepatah kata, laki-laki itu bangkit. Memesan satu gelas ice mocca kesukaan gadis itu.

"Kenapa bapak mau repot-repot bantuin mama saya?" Nedia memutuskan untuk bertanya begitu Setiaji kembali ke hadapannya. Meskipun diam-diam dia kaget saat Setiaji meletakkan segelas minuman yang memang biasa ia pesan. "Bapak--"

"Ini bukan tentang mama kamu, tapi tentang kamu." ucap laki-laki itu. Intonasi suaranya pasti, seolah-olah yang ia katakan adalah sebuah kebenaran mutlak.

Nedia jelas merasa seperti jantungnya perlahan-lahan berhenti berdetak, namun beberapa saat kemudian berdetak cepat tanpa kendali. Sepasang mata Setiaji menatapnya begitu tenang. Di sana, ia seakan-akan menemukan telaga biru yang tak beriak.

"Saya melakukan ini semua untuk kamu." sambungnya. Mungkin di sana Aji sadar bahwa pengakuannya cukup untuk mengejutkan Nedia.

"Kenapa saya?"

"Apalagi? Saya menepati janji untuk menemukan jalan yang saya maksud. Saya sudah pernah bilang, kalau saya nggak pernah main-main dengan ucapan saya. Termasuk ketika saya benjanji dengan diri saya sendiri untuk menghadiahkan sebuah kebebasan untuk kamu."

Nedia terdiam. Di titik itu, ia kesulitan mencari makna dari setiap ucapan Setiaji. Untuk kali pertama, tidak ada orang yang begitu peduli padanya sampai sejauh ini. Mereka berdua hanyalah dua orang asing yang dipertemukan tanpa sengaja dalam sebuah kejadian yang tidak menyenangkan. Keduanya terlalu asing untuk akhirnya terlibat semakin jauh.

Akhirnya, Nedia menarik napas panjang. Ketika kembali menatap Setiaji, ia tersenyum tipis. "Terima kasih banyak." hanya itu yang bisa ia katakan. Karena pada detik berikutnya, ia hanya mampu menunduk dalam-dalam. Mengunci pandangannya pada ujung-ujung sepatunya di bawah meja.

Colors in The Sky✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang