21# NavajoWhite

19.6K 5.1K 1.7K
                                    

Dari balkon kamarnya, Aji bisa melihat dengan jelas bagaimana kilat itu menyambar-nyambar di langit malam. Warnanya masih sama seperti pertama kali Aji melihatnya, merah keemasan. Hampir mendekati jam 1 dini hari, tapi Aji sama sekali tidak ada selera untuk tidur. Berkali-kali ia mencoba memejamkan mata, semua itu berakhir percuma. Ia akan kembali terjaga dan menatap langit-langit kamarnya dengan sorot mata nanar.

Malam ini ia menyalakan rokok lagi. Sejak dua jam dia duduk di sana, ia sudah habis 2 batang. Yang ia sedot saat ini adalah rokok ketiga. Terkadang Aji menerka-nerka, mungkin suatu saat nanti alasan kematiannya adalah kanker paru-paru.

Lama dia berdiam di sana tanpa melakukan apa-apa, akhirnya ia bangkit setelah menjatuhkan puntung rokoknya yang masih separo ke dalam asbak. Alih-alih kembali tidur, ia justru melepas kaos hitam yang membalut tubuhnya. Menggantinya dengan kaos sleeveless, lalu melapisinya dengan jaket parka berbahan parasut berwarna sama.

Kadang hal semacam ini sering membuat Bang Erwin dan orang-orang di luar sana salah paham. Aji seringkali disangka tidak pernah ganti baju. Padahal, dia hanya berganti pakaian dengan warna yang sama. Sampai akhirnya secara impulsif ia membeli satu baju baru dengan warna paling mencolok di antara baju-baju di lemarinya. Sebuah hoodie warna merah jambu.

Sebelum laki-laki itu membuka pintu kamar dan melangkah pergi, ia menyempatkan diri untuk menoleh ke arah cermin. Untuk kali pertama, Aji menemukan tanda di dekat telinganya itu memudar.

"Masa iya gue udah nggak sakti lagi?" ia bertanya pada bayangannya sendiri. Namun tak lama, ia berdecak tidak peduli.

Malam itu ia meninggalkan rumah tepat pada jam 1 dini hari. Berlari menerobos angin malam yang berhembus lebih kencang dari hari-hari biasanya. Semakin cepat Aji berlari, semakin dia tersenyum lebar.

○○○●●●》♡♡♡《●●●○○○


Dari pembatas jembatan penyeberangan, sinar bulan yang tidak utuh di atas sana seolah-olah menjebak Nedia untuk tinggal lebih lama daripada seharusnya. Bulan itu seperti habis digigit alien, tapi cahaya yang dihasilkannya terlihat masih sama seperti malam-malam sebelumnya.

Bulan itu dilingkari sebuah cincin besar berwarna putih. Tidak ada satu pun bintang. Di tengah langit malam, bulan itu bersinar sendirian. Mungkin sama seperti apa yang ia lakukan sekarang: sendirian.

Lagu di earphone yang ia kenakan kini mulai berganti, memperdengarkan sebuah permainan gitar yang merdu. Semakin dingin, Nedia justru enggan beranjak. Sejak sore tadi, Mama dan Serena terus-terusan menelponnya. Tapi bahkan sejak panggilan pertama, Nedia tidak tertarik untuk menghubungi mereka kembali. Karena sebelum perasaannya kembali membaik, ia tidak mau pulang.

Menghapus tinta yang pernah
kau lukis di kanvas hatiku
Merobek semua bayangan
yang tampak di relung sukmaku

Kali ini, Nedia memejamkan matanya. Menikmati bagaimana penggalan lirik itu mengikat dirinya begitu kuat. Dan entah bagaimana, bayangan Aji saat memeluk Serena kembali melintas dalam ingatannya. Sebuah pelukan yang tidak begitu erat, namun terlihat menyatu begitu apik.

Ego tlah menghasutku tuk kembali padamu
Namun logika berkata baiknya ku menjauh

Dan ternyata benar, bahwa proses jatuh cinta selalu lebih mudah daripada proses untuk melupakan. Padahal Nedia berpikir, ia belum menempatkan laki-laki itu begitu dalam di hatinya. Ternyata ia keliru, bayangan Setiaji ternyata menetap lebih lama dari dugaannya. Sekarang, bagaimana caranya untuk berlari semakin jauh?

Nedia terkekeh. Lalu saat ia membuka matanya, sepasang air mata tiba-tiba saja terjatuh. Pada detik berikutnya, ia menghapusnya dengan terburu-buru. Mensugesti dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia baru 18 tahun, dan patah hati adalah hal paling wajar yang akan dialami semua anak-anak remaja. Tanpa terkecuali dirinya.

Colors in The Sky✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang