6# MediumTurquoise

25K 5.7K 1.5K
                                    

Setiaji sadar bahwa dia punya kemampuan aneh yang tidak dimiliki oleh manusia normal lainnya. Sesuatu yang kedengaran tidak masuk akal, tapi benar-benar ia miliki. Kejadian ini bermula ketika ia berumur 7 tahun. Saat itu kemarau panjang mendera Jepara selama kurang lebih 1 setengah tahun lamanya. Lahan yang tandus membuat hektaran tanaman petani mati sia-sia, termasuk sawah milik Mbah Kakung.

Menjelang maghrib di beranda rumah yang sepi. Aji duduk terpekur seorang diri. Batinnya nelangsa, sebab ayam jago peliharaan Mbah Kakung yang harusnya jadi miliknya mati secara tiba-tiba. Bang Erwin berkali-kali menghibur dan berkata bahwa sebagai gantinya, dia akan membelikan ayam warna-warni di depan sekolah setibanya mereka di Jakarta nanti. Namun Aji pikir, ayam piyik warna-warni di depan sekolah Bang Erwin tidak sekeren ayam jago milik Mbah Kakung. Maka meranalah ia kala itu.

"Ya Gusti, paringana udan sing duweres! Dadio setaun luwih kok ora ono udan blas. Wayah tandur ora ono banyu, sawah garing ngengking. Dikon mangan opo wong cilik nginiki?"

Suara Mbah Kakung kedengaran nelangsa. Kepalanya melongok memalui jendela, berharap mendung sore itu betulan menjadi hujan yang telah lama mereka nanti.

"Adek! Masuk. Kamu nggak lihat mendungnya gelap gitu?" Aji hanya geming. Dia masih sakit hati lantaran keinginannya memiliki ayam jago milik Mbah Kakung tidak terpenuhi.

Bahkan setelah Mama berusaha menyeretnya masuk ke dalam pun, Aji enggan berkutik. Dia akan tetap berada dipojok beranda sampai salah seorang di rumah memberinya ayam jago baru.

"Heh! Mau maghrib! Kalau digondol kolong wewe gimana?"

Sayangnya, Aji tetap pada pendiriannya. Memunggungi Mama sembari bersendekap dengan raut wajah merana bukan main. "Pokoknya nggak mau!"

"Kan Bang Erwin udah bilang mau beliin Aji ayam baru nanti."

"NGGAK MAUUUUU! AKU MAUNYA AYAM JAGO! KAYAK PUNYA MBAH KAKUNG!!" teriakan itu berakhir menjadi sebuah tangis nanar yang kencang. Bukan hanya keinginan memiliki ayam jago yang kandas begitu saja. Namun setiap seguk tangisnya berisi kepedihan oleh sebuah kehilangan. Aji sudah terlanjur jatuh cinta dengan pesona ayam jago Mbah Kakung yang nyentrik abis.

Pamungkas, begitu Mbah Kakung menamainya. Sengaja diambil dari nama belakang Aji, Satria Setiaji Pamungkas. Obat rindu dikala Mbah Kakung tidak bisa bertemu Aji, katanya.

Pamungkas punya jengger berwarna merah yang merona. Jalu pada kedua kakinya runcing, dengan dada busung yang membuat Pamungkas kelihatan begitu gagah. Namun sayangnya, tadi pagi Pamungkas ditemukan mati di dalam kandangnya. Wajahnya biru keunguan. Kata Mbah Kakung kemungkinan Pamungkas mati dipatok ular.

Aji bahkan belum sempat memilikinya, tapi kenapa dia merasa begitu kehilangan?

"Ma? Masuk! Biarin aja dia disitu sampai besok pagi." Papa bertitah laksana panglima tempur yang harus segeran dilaksanakan. Lagipula Mama tahu, itu hanya gertakan semata. Lantas dengan langkah berani, Mama meninggalkan Aji seorang diri.

Aji jelas semakin sakit hati. Ia merasa tidak ada satu pun orang di rumah ini yang peduli padanya. Semuanya egois, mementingkan perasaan mereka sendiri. Benar-benar mengabaikan perasaan pedih yang mendera dada Setiaji sejak tadi pagi.

"MAMA JAHAAAT! PAPA JAHAAAAT! KALIAN SEMUA JAHAAAAAAAAT!!!" tangis itu semakin menjadi-jadi saat Mama betulan menutup pintu.

Yang berikutnya terdengar hanyalah suara Mbah Uti dan Mbah Kakung yang memarahi Papa sebab membiarkannya berada di luar padahal langit semakin mendung dan adzan maghrib akan segera terdengar.

Saat itulah segalanya berubah. Mendung pekat tiba-tiba saja berkumpul menjadi satu bagian yang menyeramkan. Gerimis jatuh perlahan-lahan, membuat tangis nanar Aji mereda begitu saja. Bocah itu terpana pada gumpalan hitam di satu bagian langit. Hanya berselang sepersekian detik, sebuah kilat tipis berwarna biru kehijauan muncul dari dalam gumpalan.

Colors in The Sky✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang