PART 2

5.9K 268 3
                                    

Rara sedang melamun dikamarnya, melamunkan sang pemuda yang baru saja ia temui dipasar tadi sore. Rara tersenyum sendiri ketika mengingat saat pemuda yang datang menghampirinya, mungkin pemuda itu merasa risih karena terus dipandangi oleh si bidadari, Rara. Tapi Rara merasa mamahnya seperti tidak setuju dengan pilihan hati Rara, Anis sering menyinggung masalah umur Rara dan Ginda yang jauh.

"Hai." Rara terkejut menatap merona seorang pria dewasa yang ada didepannya. Pria itu tersenyum tipis, lantas duduk disamping Rara.

"Lagi nunggu siapa?"

"Nungguin mamah," Rara memegang dadanya, gawat. Jiwa bucinnya tiba-tiba bergetar hebat. Lihat wajah tampan pria itu, oh ya Allah kenapa baru engkau pertemukan Rara dengannya.

"Hum, k-kakak juga nunggu siapa?" tanya Rara pelan-pelan. Rara memejamkan matanya berharap jawaban pria itu bukan sedang menunggu "istri saya" seperti di sinerton-sinerton itu.

"Lagi nunggu anak.." Rara melebarkan bola matanya, kaget. Iya memang bukan menunggu istri tetapi menunggu anak. Ini sih harus dipastikan lagi. Anak siapa?

"K-kakak udah punya anak?" pria itu malah tersenyum lebar.

"Jangan panggil saya kakak. Nama saya Ginda, panggil saja Ginda ya. Iya, saya nunggu anak ... anak kita."

"Ish, G-Ginda ngomong apa sih...," Rara memalingkan wajahnya merona, Rara tidak akan melepaskan pria bernama Ginda ini. Pinter juga gombalnya ya, padahal udah bukan anak SMA lagi.

"Rara." Rara merengut saat Anis yang sudah kembali dari belanjanya. Anis mengerutkan dahinya menatap bertanya pada Ginda yang masih duduk disamping Rara.

"Kamu, who is man?" Rara menganga mendengar pertanyaan mamahnya yang, ya begitulah. Ginda, pria itu langsung berdiri dan menyalami Anis. Jiwa keibuan Anis lantas tersentuh mendapatkan perlakuan lembut dan sopan dari Ginda.

"Saya Ginda bu, cuman jagain anak ibu tadi, hehe." Anis tersenyum sinis menoleh pada Rara yang hanya menatap ibunya dengan kernyitan dahi tandanya sekarang jiwanya sedang berpesta ria.

"Jangan, nak Ginda nggak perlu jagain dia, mending jagain ibu kan."

"Mamah."

"Apa sih Ra, mamah cuman ngomong faktanya,"

"Rara aduin papa loh mah, biar jatahnya mamah nggak dikabulin papa.."

"Kamu, bisanya ngadu aja. Udah ayuk pulang, mamah mau cepetan  pulang, keburu malam nanti papa datang kita nggak ada dirumah."

"Eh, tapi mah..." Rara menatap cemberut pada Ginda yang tersenyum melambaikan tangannya. Rara melemaskan bahunya saat Anis pun sudah menariknya jauh dari Ginda, Rara hampir menangis saat ingat ia lupa meminta nomor Ginda.

"Ini semua gegara mamah, Rara jadi lupa minta nomornya Ginda. Ish mamah." Anis menghiraukan rengekan Rara yang pilu, Rara meminta Anis untuk kembali lagi kepasar itu tapi Anis tentu tidak mau.

"Apasih Ra, balik lagi kepasar, nggak mau mamah, nanti bensin mamah abis. Apaan sih kamu, cinta-cintaan masih SMA juga, belajar udah mau ujian juga." Rara menghembuskan nafasnya cepat. Rara menatap jalanan dengan layu.

"Mamah tuh nggak tau, nggak ngerasain cinta pertama, Ginda itu tampan, baik, sopan. Apalagi kurangnya, istri malah yang kurang."

"Dianya nggak mau samamu," Rara menatap wajah Anis dengan sedih. Ini mamahnya bukan sih.

"Mah, sekarang ini jamannya Siti Nurbaya.."

"Hah? Ngawur ngomong, udah tahun berapa Rara, 2020 kamu bilang jaman si Siti,"

"Mah, come on la, jodohin aku sama Ginda!"

"No Rara, Ginda itu terlalu tua buat kamu, kamu aja masih sekolah belum punya ktp belum punya sim. Mamah ga mau menantu mamah repot gegara kamu."

"Hedeuh mamah, ga mau tau Rara. Besok Ginda harus lamar aku, titik."

"Siapa kamu?" Rara melebarkan kedua matanya, Rara mencebik kesal.

"Mamah!"

Tok Tok Tok ...

"Rara! Bangun!"

Tok Tok Tok ...

"Rara bangun sekolah. Papamu udah nungguin,"

Rara membuka matanya malas, Rara berdecak saat kembali mendengar suara ketukan keras dipintu kamarnya, mamahnya ini mau ngerusak pintu apa.

"Iya mah, Rara udah bangun!" teriaknya sembari berjalan menuju kekamar mandi.

Anis yang hendak kembali menggedor pintu kamar Rara pun lantas menggelengkan kepalanya mendengar teriakan Rara, yang menyatakan bahwa anaknya itu sudah bangun. Anis berdecak kemudian berlalu meninggalkan kamar Rara, berjalan kearah ruang makan menghampiri Ansar-suaminya.

"Udah bangun Rara, sayang?" tanya Ansar sambil menatap Anis yang sudah duduk di sampingnya dengan cemberut.

"Kenapa kamu cemberut gitu?"

"Ck, pah Rara itu seharusnya udah dewasa pah, umurnya udah lewat 15 tahun, liat kelakuan dia masih kayak anak-anak umur 10 tahun. Mamah capek pah," keluh Anis dengan menggenggam tangan Ansar manja.

"Ya kamu sabar lah, mah. Mungkin Rara kayak gitu karena kemauan dia ada yang nggak kamu turutin makanya dia kayak gitu, disengaja itu.."

"Apa lagi, rasa mamah semuanya kemauan Rara udah mamah turutin kok."

"Tapi mamah nggak turutin kemauan Rara buat dilamar sama Ginda,"




















Lanjut-lanjut, lanjut ga ini?
Berikan pendapat anda sekalian tentang awalan cerita GIRA ini?

GIRA (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang