PART 4

4.1K 217 10
                                    

Ginda berjalan keluar dari dalam toilet, pria itu membasuh tangannya di kran air yang ada disamping toilet dengan tak lupa ia memakai sabun agar tangannya bersih serta higenis. Ginda mengernyitkan dahinya, mendengar suara gaduh dari luar kantornya.

"Pak, pak ada apa ini pak?" tanya Ginda pada bapak security yang sedang berada diluar.

"Ini Pak Ginda, ada dua orang cari bapak, badannya besar-besar, lengannya berotot. Mereka cari bapak, tapi mereka sekarang lagi diruangan bapak, saya suruh tunggu bapak disana."

"Oh ya sudah pak, saya ke ruangan dulu. Makasih pak."

"Iya Pak Ginda sama-sama."

Ginda berlari kecil menuju kearah ruangannya, sembari ia memikirkan siapa yang kini sedang menunggunya, dua orang? Badannya besar? Berotot? Lebih mirip seperti preman ya. Tak mau ambil pusing memikirkan hal yang belum pasti, maka dengan cepat Ginda memasuki ruangannya. Ginda terkejut saat tubuhnya langsung dihadang oleh dua orang yang ciri-cirinya persis dibilang oleh pak security.

"Dengan Ginda?" Ginda mengernyit menganggukkan kepalanya.

"Kalian ini siapa? Mau apa?" tanya Ginda waspada, siapa tau maling yang menyamar baik.

"Kami disuruh oleh Tuan Ansar untuk menjemput anda, sekarang kita berangkat.." Ginda melebarkan kedua matanya, kedua tangannya langsung digaet oleh dua orang pria bertubuh besar tadi.

"Tunggu tunggu tunggu! Kalian siapa? Saya nggak kenal siapa Ansar. Saya akan lapor polisi, ini namanya kalian menculik saya, ini kasus penculikan."

"Maaf, kami diperintahkan untuk menjemput anda Ginda, sekarang jangan banyak bicara, ikut saja anda pasti akan senang." Ginda benar-benar tidak paham dengan situasi yang terjadi. Kepalanya tiba-tiba berdenyut, tak mau melawan Ginda pun hanya pasrah saat dua pria tadi membawanya keluar dari area perkantoran.

Ginda berdecak saat mobil yang membawanya pergi sudah berhenti tepat didepan sebuah rumah besar dan mewah. Ginda menatap kearah dua orang pria tadi, yang diam tidak bergerak, hanya berdiri menatap lurus kedepan.

"Kapan masuknya? Kenapa kita cuman berdiri disini,"

"Sabar. Tuan Ansar masih belum memperbolehkan anda masuk."

"Ck, siapa sih Ansar itu." gumam Ginda. Setelah menunggu kurang lebih satu jam akhirnya ia kembali diseret oleh dua orang tadi, Ginda mengedarkan pandangannya saat ia sudah masuk kedalam rumah besar tersebut.

"Selamat datang calon mantu saya, bagaimana rumah saya besar kan?" Ginda tersentak mendengar suara besar menggema itu, Ginda tersenyum tipis saat seorang pria tua mendekatinya dengan membawa gunting. Gunting?

"B-bapak mau ngapain?" ucap Ginda saat pria tua itu hendak menggunting rambutnya. Pria tua itu tersenyum lembut mengusap pelan rambut Ginda.

"Tenang saja camen, saya cuman mau gunting rambut kamu sedikit sebagai tanda bahwa kamu sudah resmi diterima dirumah saya, hm."

"Hah? Tapi..."

Belum sempat Ginda merangkai protes, dengan cepat pria tua itu langsung menggunting ujung rambutnya lalu dimasukkan lah kedalam wadah tertutup. Ginda benar-benar bingung dibuat, bolehkah ia gila dan amnesia beberapa detik.

"Ayo ikut saya keruang kerja saya," Ginda tidak menjawab, ia hanya diam dan mengikuti langkah pria tua itu.

Didalam ruang kerja pria tua itu, Ginda hanya diam sambil mengamati gerak-gerik si pria tua. Pria itu tersenyum lalu kemudian meletakkan buku diatas meja dan pulpen ditangannya.

"Saya Ansar, dan saya sudah tau siapa kamu. Kamu Ginda calon mantu saya, dan kamu tau..." Ginda menggelengkan kepalanya.

"Putri cantik saya, Rara sangat mencintaimu, dan nanti setelah makan malam kalian akan saya tunangkan."

"Tunangan? Bbb ... bapak serius, saya bahkan nggak kenal bapak, anak bapak atau ... apa-apaan ini."

"Wanita yang kamu temui di pasar senen kemaren itu putri saya, Rara."

"Hah?"

"Iya putri saya, cantik kan." Ginda mengernyitkan dahinya, bukan melupakan wajah yang baru kemaren sore ia lihat, hanya saja ini terlalu cepat bahkan Ginda belum siap untuk membina rumah tangga.

"Pak, saya nggak bisa menerima pertunangan ini. Saya rasa ini terlalu cepat bagi saya pak, saya bahkan baru mengenal Rara kemarin sama ibunya, hari ini baru kenal sama bapaknya."

"Jadi kamu menolak," Ginda menggelengkan pelan kepalanya.

"Saya tidak menolak pak, saya hanya belum bisa bertunangan dengan Rara."

Ansar menggaruk kepalanya, tiba-tiba rasa gatal mengerumuni ubannya, pria itu berdiri dari duduknya, lalu menepuk bahu Ginda.

"Nanti makan malam, kamu bicarakan ini semua sama Rara." Ginda mengerut namun juga menganggukkan kepalanya.

Malam pun tiba, Rara yang baru saja pulang dari eskul tambahan disekolah pun lantas mengernyit dalam saat matanya melihat punggung seseorang yang duduk membelakangi nya. Rara merasa seperti tertarik dan sampai didepan seseorang itu Rara langsung berteriak dengan kencang.

"Aaaaah, Ginda!"

"Ouch. Rara?" Rara tersenyum lebar mengangguk manja, Rara merebahkan kepalanya dibahu Ginda dengan posisinya yang kini sedang berpangku pada Ginda.

"Ginda kesini mau lamar aku?"

"Lamar?"

"Iya, aku udah bilang sama mamah. Dan Ginda datang, mau lamar aku."

"Tapi..."

Cup

"Rara terima dibayar tunai."




















GIRA (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang