Lagi- lagi aku menyusuri fakultas yang paling aku hindari. Kalau bukan karena diiming- imingi diantar pulang oleh manusia ini, aku gak bakal mau kesini. Apalagi di gedung jurusan ini. Bau rokok.
"Kak."
"Eh Ve. Cepet banget."
Aku menggulirkan mata kian kemari. Mendapati mata beberapa mahasiswa menatap ke arahku seolah aku ini Miss Indonesia. Rasanya risih, tapi mungkin karena aku bukan mahasiswa fakultas ini jadi aku yang orang asing disini.
"Asapnya," ujarku pelan sambil mengibas- ibaskan asap yang berasal dari rokoknya Kak Brian.
"Eh iya, sorry."
Aku segera duduk di sebelahnya. Di meja ini ada Kak Jae, sama Kak Samuel. Aku kenal keduanya, ya karena pria yang tadi membuatku kesal dengan asap rokoknya.
"Udah gak ada kelas, Ve?" tanya Kak Jae.
Aku mengangguk. "Iya. Makanya aku kesini, Kak, hehe."
"Masih lama nggak? Aku ada paper," protes ku ke Kak Brian yang masih asyik dengan rokoknya. Sumpah, rasanya aku mau melarangnya buat merokok, buat selamanya.
"Yuk."
Kami berjalan keluar kantin dengan tangan Kak Brian yang masih mengenggap benda berasap itu. Aku, dengan buku- buku ku, dan Kak Brian dengan tas ranselnya yang sudah lemas.
"Udah ih Kak, ngerokoknya."
"Iyaa, udah."
"Yaaaa matiin dong, jangan dihisap lagi."
Kak Brian menatapku lalu membuang rokoknya asal. Tangannya yang bebas lalu mengambil buku ku yang sedari tadi aku tenteng.
"Kamu jangan bawa buku berat- berat. Nanti makin nggak bertumbuh."
"Bawel."
"Dih, serius."
"Aku juga serius."
"Serius apa?"
"Serius kalau Kakak bawel."
"Ooh. Kirain."
"Apa?"
"Kirain aku mau diseriusin."
"Loh, kok aku sih?"
"Emansipasi pria."
Aku berdecak kesal, sekaligus menahan tempo jantung yang tidak karuan.
"Silahkan masuk, tuan putri," ujar Kak Brian sambil membukakan pintu mobilnya.
"Makasih."
Setelahnya, Kak Brian masuk ke kursi pengemudi.
"Eh, Ve."
"Hmm?"
"Serius deh, kamu mau kapan seriusin aku?"
"APASIH? KOK AKUU?"
🍙🍙