Aku berkutat dengan ponsel berlogo apel yang aku genggam sekarang. Pasalnya, Kak Brian sama sekali enggak membaca puluhan pesan yang aku kirim. Yaa walaupun isinya hanya 'p', tapi hari ini lelaki itu janji mau mengantarku pulang karena aku membawa banyak perlengkapan praktikum.
Aku memutar otak, mencari cara menghubungi lelaki itu.
"Ah, Darren," ujarku bermonolog.
Darren itu anak bandnya Kak Brian juga yang seumuran denganku. Ia anak fakultas sebelah, alias fakultas kedokteran. Mungkin itu alasan kami dekat, karena sering bertemu.
"Darren, lo sama Kak Brian?"
"Latihannya masih satu jam lagi. Kenapa, Ve?"
"Gue gak tahu Kak Brian dimana."
"Mau samperin ke FT?"
"Ren, bisa bantuin gue nggak? Gue bawa alat praktikum banyak."
"Oke. Sebentar yaa."
🍙🍙
Entah apa yang dipikirkan mereka saat melihat dua orang asing di fakultas ini. Yang bikin makin mencolok adalah, Darren masih membawa stetoskop di tangan kanannya.
Ayolah, itu keren banget.
"Maaf ya, Ren."
"Kenapa tuh?"
"Yaa jadi repot bantuin gue."
"Santai, sih. Sekalian aja gue numpang ke studio bareng Brian."
Aku mengangguk setuju, lalu terus berjalan sampai ke gedung teknik mesin.
Di kantin, meja ketiga dari kanan. Itu spot favorit Kak Brian. Senyumku mengembang saat melihat punggung lelaki dengan kemeja motif stripes yang familiar.
"Kak Bri-"
Percaya apa yang aku lihat?
Di depannya ada seorang perempuan.Iya, mereka hanya berdua.
Apa aku hancur?
Aku harap bukan hari ini.Kak Brian menengok dan ekspresi wajahnya sedikit terkejut.
"Loh, Ve? Darren?"
"Ganggu ya?"
"Ah, enggak. Kenapa Ve?"
"Pulang."
"Oh iya. Barang praktikum ya?"
Aku mengangguk pelan. Alih- alih beranjak pergi, ia menyodorkan kunci ke Darren.
"Ren, lo bisa nyetir kan?"
"Eh, iya."
"Anterin Ave dulu ya? Nanti ketemu di studio."
Sungguh, hari ini seorang Kak Brian berhasil memecahbelahkan perasaanku.
🍙🍙
"Jangan sedih yaa."
"Nggak sedih kok. Toh gue sama Kak Brian gak ada hubungan apa- apa," ujar gue ke Darren sembarang.
"Hmm."
"Sedih sih, sedikit."
Darren menengok ke arahku.
"Gapapa lah sekali- sekali pulang sama gue. Emang lo gak enek pulang sama Brian mulu?"
Aku terkekeh pelan. "Iya, ya. Kapan lagi disupirin calon dokter."
"Lo juga calon dokter."
"Bedaa."
"Ve, gue mau nanya."
"Ren, gue mau jawab."
"Bener ya? Jawab yang serius."
"Iyaaa."
"Lo gak bosen digantungin Brian mulu? Maksud gue, mau sampai kapan?"
Aku meneguk saliva sebelum menjawabnya.
"Sedikit."
"Sedikit tapi lama- lama jadi bukit."
"Gimana, Ren?"
"Menurut gue, lo harus kasih kesempatan ke yang lain sih."
"Gitu ya?"
"Hmmm."
Aku memperhatikan air hujan yang mulai turun—iya, ini gerimis.
"Ren. Gue mau ikut kalian latihan dong. Mau bawa donat."
"Oke."
🍙🍙