Brian sudah sepuluh kali lebih memperhatikan ponselnya. Belum ada kabar dari Ave. Ini udah jam empat sore, dan chat terakhir mereka tadi pagi. Itu pun singkat banget, isinya cuma Brian nanya Ave udah bangun apa belum.
Ia bingung. Ave marah kali, ya? Tapi perasaan Brian nggak ngapa- ngapain.
Lelaki itu menuruni tangga perlahan sambil perlahan mengingat kalau- kalau ada sesuatu yang membuat Ave kesal.
"Oy. Nebeng studio."
"Oh? Yaudah," jawab Brian asal.
"Kenapa lo?"
"Tumben Ave belom ngabarin gue."
Jae berdecak.
"Telpon lah! Ribet amat jadi cowok."
"Oke."
Iya, akhirnya Brian telepon dan nurutin perintah 'kakaknya' itu. Di loud speaker, karena Brian nyetir.
"Halo? Kenapa?"
"Kamu dimanaa?"
"Udah di apartemen."
"Bukannya kelas kamu sampe jam lima?"
"Gak jadi."
"Loh? Kok gak bilang?"
"Iya maaf."
Brian mengernyit. Nada bicara Ave yang sedikit asal- asalan membuatnya sedikit curiga.
"Mau ikut ke studio?"
"Enggak."
"Tumben? Gak bisa lihat pacarmu ganteng ini looh."
"...."
Kan. Biasanya Ave pasti marah- marah, atau salah tingkah kalau Brian super pede kayak gini.
"Serius nggak mau?"
"Enggak, Kak. Aku lagi gak mood."
"Kamu... kenapa?"
"Enggak, gak papa. Udah ya, Kak? Aku takut kelepas marah."
"O..ke? Ya udah kalau butuh apa- apa bilang aja ya?"
"Gak butuh apa- apa. Udah ya, Kak."
Ave mematikan teleponnya sepihak. Jae ngeliatin Brian heran.
"Konflik rumah tangga apalagi?"
"Kaga ada konflik- konflikan."
"Lah itu cewek judes amat brou?"
"Makanya."
"Lo deketin cewek siapa lagi?" tanya Jae sambil makanin permen kopiko yang ada di sisi pintu mobil.
"Ngaco lo."
"Tumbenan Ave kaya gitu."
"Lagi badmood kali?"
"Ya udah. Nanti tanya Darren abis ini," sahut Jae.
Brian nggak bisa apa- apa selain mengangguk. Tapi jujur, dia sebenarnya agak bingung. Kan yang pacarnya Ave dia, tapi kenapa Darren yang seolah lebih tahu banyak hal tentang Ave?
🍙🍙