Sedikit cerita tentang Kak Brian dan sumber masalahnya. Kak Brian itu super baik hati, ramah, dan friendly.
Kayak, senyum dia benar- benar menggambarkan bahwa Kak Brian merupakan sosok yang mudah bergaul dan punya segudang teman. Well, senyumnya itu memang candu, nggak sih?
Tapi, inilah sumber masalahnya. Banyak perempuan yang dekat dengannya—ya termasuk aku— dan aku takut kalau selama ini hanya dianggap teman biasa. Apalagi sejak kemarin chat sama Kak Brian. Itu bukanlah sebuah ide yang baik, malah memperburuk insomnia ku.
Nih yaa. Ini yang jadi pertimbangan. Mana ada teman yang sering mampir ke apartemen dan gitarin kamu semalaman? Mana ada teman yang selalu diusap pucuk kepalanya sebelum mau pergi? Mana ada pertemanan yang dianggap hanya teman setelah dia mati- matian jemput kamu selesai kelas?
Nggak ada, kan? Ya kan? Please yakinin aku.
Mungkin ada, tapi bukan keadaan aku sekarang. Iiih.
Aku udah cerita sama Mina tentang ini dan tahu responnya apa?—Kan! Anak band brengsek. Lo sih ngeyel.
Sama sekali tidak membantu.
"Averina?"
"Eh, Kak Jae. Sendiri aja Kak?"
Ia mengangguk. Kami ada di kedai kopi milik kampus. Sendiri, dan itu cukup melegakan sekaligus menyebalkan. Melegakan karena aku gak perlu gengsi kalau ada Kak Brian, menyebalkan karena aku sangat ingin bertemu Kak Brian.
"Lo sendiri juga?"
Gantian aku mengangguk.
"Mau langsung cabut Kak."
"Eeeh. Jangan dulu. Gue mau ngobrol bentar."
"Ooh oke."
"Lo lagi kenapa sama Brian?"
"Hee? Nggak kenapa- kenapa."
"Kemarin—"
"Itu siapa sih, Kak?"
"Kan. Kepo kan lo? Itu Abel, anak arsitektur. Anak BEM sih."
Aku mengangguk kecil.
"Lo nggak cemburu gitu?"
"Hm. Mana bisa Kak?"
"Hah?"
"Gak berhak, nggak berstatus."
"Bukan masalah status ih, Ve. Gue nanya perasaan lo."
Ekspresi ku berubah menjadi merengut, seolah menahan air mata.
"Banget. Cemburu banget—"
"—Kak, mau tanya."
"Jangan. Gue belum belajar."
"Kaaaak."
"Iyaaa, apa?"
"Aku dianggap teman doang kali ya, sama Kak Brian?"
Kak Jae menatapku sendu, seolah bingung mau menjawab apa. Namun setelahnya, ia sedikit tersenyum simpul.
"Mungkin iya, mungkin enggak."
Aku menghela nafas panjang.
"Kaaan."
"I think, kayaknya lo harus mikirin respon lo deh."
"Apa? Gimana?"
"Antara lo jual mahal, atau lo terus baikkin dia, terserah kamu. Tapi ya, kalau lo terus baikin dia, malah dianya yang merasa bersalah. Iya nggak?"
"Masuk akal. Eh, kalau aku udahin—"
"jANGAAAN."
"Kenapa?"
"JANGAN. NANTI GAK ADA YANG BAWAIN DONAT LAGI."