Mendung-11

137 34 0
                                    

"Totalnya semua jadi tiga juta enam ratus ribu." Bu Nanti—staf tata usaha SMA Diponegoro—memberikan selembar kertas berisikan rincian biaya sekolah Hujan selama 6 bulan.

Hujan membaca rincian tersebut, tidak lama cowok itu membuka dompetnya dan mengeluarkan sejumlah uang dalam pecahan seratus ribuan. "Ini bu, bisa ibu hitung sendiri."

Bu Nanti meraih uang yang Hujan berikan dan menghitungnya. Ia tersenyum seraya mengembalikan buku SPP Hujan. "Orang tua kamu kerjaannya apa sih? Kok kalau bayar uang bulanan nggak nanggung."

Hujan terdiam sejanak, matanya berusaha menangkap senyuman dari janda tiga anak satu itu. Ia tidak suka bila ada orang mengorek lebih jauh tentang kehidupannya, apalagi mengenai orang tua. "Buruh," jawab Hujan singkat sebelum akhirnya memilih melangkah pergi.

Satu-satunya alasan mengapa Hujan selalu membayar SPP-nya sekaligus adalah guna mencegah kelupaan membayar yang berisko membuat salah satu di antara empat laki-laki lain yang tinggal di rumahnya dipanggil ke sekolah. Karena jika hal itu sampai terjadi, maka bencana akan menimpa seluruh penghuni rumah gedong itu.

Mata Hujan memandang lurus pada koridor sekolah yang cukup ramai, dan dari sekian banyak siswa yang ada di sepanjang koridor tak ada satu pun yang memerhatikan Hujan. Kecuali saat kaki Hujan mulai memasuki gedung kelas 12, dari kejauhan dua orang gadis nampak memerhatikan langkah cowok itu. Salah satu di antaranya nampak merapikan rambut, seolah tidak ingin nampak kusut di hadapan Hujan.

Tidak lama si gadis yang baru saja merapikan rambut berjalan ke arah Hujan. Kemudian saat keduanya berada di posisi bersebelahan, gadis itu mempersempit jarak, membuat bahunya dengan keras menghantam bahu Hujan hingga terjatuh ke lantai.

"Awh..." Mayoret melenguh kesakitan seraya mengusap bahunya yang tidak lecet seinci pun. Tentu saja tindakan Mayoret hanyalah akting yang ia lakukan agar bisa bicara dengan Sang Pujaan Hati.

Hujan membalikan badan, menghampiri gadis yang baru saja menghantam bahunya. Jika dihitung menggunakan akal sehat Hujan yang masih sangat waras, koridor sekolah ini cukup lebar bahkan untuk dilalui lima orang sekaligus. Namun ia tidak tahu mengapa gadis ini memilih untuk menyulitkan diri sendiri, dengan mempersempit jarak saat melangkah. "Eh sorry," ucap Hujan sebagai bentuk formalitas, karena ia tidak mau disebut watados alias wajah tanpa dosa.

"Bahu gue sakit banget, pasti lebam nih..." Mayoret meringis sambil mengusap-usap bahu.

"Kayaknya nggak sampai lebam deh." Hujan memicingkan mata, ia rasa hantaman bahunya tidak lah sedahsyat itu hingga sanggup membuat bahu seseorang membiru.

"Lo tuh nggak ngerasain!" Air mata Mayoret mulai menitik, sebuah senjata apik untuk menarik simpati Hujan agar mau mengantarnya ke UKS.

Hujan memutar bola mata malas, entah mengapa gadis ini nampak menggelikan di matanya. "Sekali lagi gue minta maaf." Hujan mengulurkan tangan, berharap dengan ini gadis itu berhenti merengek.

Mayoret tidak bisa menahan senyum bahagianya, dengan sukarela ia menyambut uluran tangan Hujan dan bangkit dari posisinya. "Iya gue maafin kok."

Hujan mengangguk sambil tersenyum paksa. "Lain kali kalau jalan jangan mepet-mepet, koridor masih luas," cibir Hujan sebelum akhirnya melenggang meninggalkan gadis yang tidak ia kenali itu.

Sementara itu Mayoret hanya bisa terdiam karena ucapan Hujan berhasil membuat jantungnya terasa salto ke lambung. Tidak tinggal diam, gadis itu langsung berlari menghampiri Hujan, tangan Mayoret terulur mencekal lengannya. "Tarjo!"

Meski yang disebut bukanlah namanya, Hujan memutuskan untuk tetap menoleh ke arah Mayoret. Perlahan Hujan menepis cekalan Mayoret dari lengannya. "Lo manggil gue?" Tanya Hujan dengan dahi berkerut.

Narasi Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang