Mendung-19

130 34 0
                                    

Hampir satu tahun yang lalu doktet mendiagnosa Haris mengalami kelumpuhan di bagian kaki, membuat pria itu hanya bisa berbaring di ranjang layaknya sampah yang tidak berguna lagi.

Namun di tempat ini, Haris mendapati dirinya bisa berdiri tegak dengan kedua kaki. Tubuhnya yang mulai renta justru segar dan gagah kembali. Dan yang lebih membuat Haris tercengang adalah kenyataan bahwa kakinya dapat digunakan melangkah di tempat gelap nan sunyi ini.

Haris memandangi sekeliling tempat ini dengan perasaan bingung bergelayut di kepala. Tidak ada seorang pun di sini, bahkan Haris sendiri tidak tahu mengapa ia bisa sampai di sini.

Belum juga terjawab semua kebingungan Haris, sesorot cahaya tiba-tiba muncul menyilaukan mata. Haris terdiam sejenak memandang bingung ke arah cahaya itu, sebelum akhirnya meyakinkan diri untuk melangkah mengikuti arah datang cahaya.

Semakin jauh Haris melangkah mendekati arah datangnya sinar, suara tawa perempuan semakin menyeruak di telinga. Bukan, suara tawa itu tidak terdengar seperti suara kuntilanak di film Suzana, tapi lebih nampak seperti tawa riang perempuan yang sedang asyik bercengkrama.

Telapak kaki itu berhenti berjalan tak kala sampai pada ujung arah datangnya sinar. Haris menengadahkan wajah, menyapukan pandangan ke arah taman indah yang menyambut mata. Tempat ini terasa asing, belum pernah Haris sambangi seumur hidup.

Samar-samar terdengar derap langkah kaki dua orang yang saling berlarian diiringi dengan gelak tawa yang terdengar begitu renyah.

Haris langsung menoleh ke arah datangnya suara dan mendapati dua orang perempuan bergaun putih tengah berlarian di sekeliling taman. Haris mengenal siapa dua perempuan rupawan itu. Tak hanya kenal, Haris selalu mencintai keduanya bahkan hingga akhir hayat. "Ratna... Renjana..." Dengan lembut Haris memanggil nama kedua perempuan itu.

Seketika dua perempuan itu berhenti tertawa dan berlari, mereka menoleh ke arah Haris kemudian memberikan senyuman lebar. Mereka berlari menghampiri Haris yang hanya bisa memaku di tempat.

Bertahun-tahun Haris menantikan pertemuan ini. Haris begitu merindukan senyuman indah istri dan anaknya seperti saat ini. Karena pada pertemuan terakhir bukan senyuman yang Haris lihat dari Ratna dan Renjana, melainkan tubuh bermandikan darah beserta raut wajah ketakutan.

Tanpa bisa ditahan Haris langsung menarik lengan istri dan anaknya, kemudian menautkan mereka dalam sebuah pelukan hangat. "Saya kanget banget sama kalian," curah Haris seraya menangis tersedu-sedu dalam dekapan anak istrinya.

Baik Ratna maupun Renjana tidak ada yang menyahuti ucapan Haris. Keduanya hanya memberikan pelukan hangat pada pria itu, membiarkan Haris menumpahkan segala bentuk kerinduan yang selama ini ia dekap sendirian.

Haris melepaskan pelukan, ia menatap wajah Ratna dan Renjana yang nampak jauh lebih baik ketimbang beberapa tahun silam. Tidak ada lagi air mata yang membasahi pipi atau darah segar yang membanjiri badan, yang ada hanyalah kebahagian yang terpatri jelas. Seolah Renjana dan Ratna tidak pernah mengingat bagaimana cara keduanya menemui ajal.

"Maafin saya yang nggak bisa jaga kalian... harusnya saya saja yang mati waktu itu..." Haris membuncahkan segala rasa sakit yang mendesak di hati. Rasa sakit yang tidak pernah padam hingga Haris terkubur di dalam tanah.

Ratna menatap suaminya lekat. Perempuan anggun itu mengusap air mata Haris lembut, lantas menarik seulas senyuman tulus. "Nggak ada yang bisa diubah dari masa lalu. Selesaikan semua hal yang harus kamu selesaikan, kami tunggu kamu di sini."

"Maksud kamu apa?" Tanya Haris bingung.

Alih-alih mendapat jawaban Ratna, Haris justru memperoleh kecupan hangat dari Renjana. Tidak berselang lama Haris merasa ada sebuah gaya tarik yang membawa paksa dirinya menjauh dari sisi Ratna dan Renjana. Haris berusaha meronta sekuat tenaga, ia tidak henti meneriaki nama anak istrinya seraya mencoba berlari melawan takdir.

Narasi Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang