Mendung-33

76 28 0
                                    

Bona baru sadar setelah tidak sadarkan diri selama kurang lebih enam jam. Ia langsung terkesiap mengangkat badannya setelah ingat kejadian yang membuat gadis itu hilang kesadaran. Gerakan Bona yang terkesan banyak dan mendadak, membuat seorang anak berusia sekitar sebelas tahun yang tidak lain adalah adiknya terbangun dari tidur.

Nafisa tersenyum menyambut kakaknya yang kini telah sadarkan diri. "Alhamdulillah lo udah bangun, Kak."

"Gue dimana?" Bona memberikan pertanyaan yang sebenarnya sudah ia tahu jawabannya. Namun Bona hanya ingin memastikan apa kejadian bak film action itu nyata atau sekadar mimpi belaka.

"Kita lagi di pasar kak, jualan jengkol." Nafisa menjawab asal. Jika saja manusia di depannya ini halal untuk ditampol, mungkin Nafisa sudah menjawab pertanyaan kakaknya itu dengan geplakan di kepala. "Jelas-jelas lo di rumah sakit, pake nanya lagi."

Nafisa sedang santai bersama ayah dan ibu ketika tiba-tiba ponsel ibu mendapat sambungan telepon dari polisi yang mengatakan bahwa Bona sedang tidak sadarkan diri di rumah sakit usai nyaris mendapatkan pelecehan seksual. Dengan penuh rasa cemas, satu keluarga Bona langsung meluncur ke sebuah rumah sakit yang terlalu mewah untuk mereka tanggung biaya rumah sakitnya. "Lo gak pa-pa, kan? Polisi bilang bakal sebisa mungkin cari pelakunya."

"Polisi?" Bona terhenyak, dahinya berkerut tidak mengerti dengan maksud ucapan Nafisa. Mengapa tiba-tiba Nafisa membicarakan polisi? Sedangkan Bona yakin Hujan tidak akan membawa kasus penyerangan ini ke ranah hukum karena itu sama saja seperti mendorong diri sendiri ke penjara. 

"Lo baru pingsan enam jam tapi langsung lupa ingatan. Lo di sini karena hampir dibungkus sama orang jahat, kak, masa lupa sih. Untung lo gak kenapa-napa."

Bona terdiam mendengar ucapan Nafisa. Kini ia sadar, anggota Lubdaka sudah menjalankan skenario selagi gadis itu tidak sadarkan diri.

"Lo sendiri ke sini?"

Nafisa menggeleng. "Sama ayah ibu juga. Tapi mereka lagi cari makan. Laper, nungguin lo gak bangun-bangun."

Tangan Bona bergerak menyentuh lehernya. Masih ada sedikit rasanya nyeri tertinggal di sana, bahkan sepertinya jejak merah dari jemari lelaki yang mencekik Bona masih terlukis jelas. Bona tidak menyangka ia punya keberuntungan yang begitu melimpah, hingga punya kesempatan berulang kali lolos dari dekapan maut.

Inikah alasan mengapa Hujan tidak ingin Bona terlibat lebih jauh?

Bona seketika teringat akan Hujan.

"Gue mau pipis sebentar."

"Itu toiletnya di sebelah." Nafisa menunjuk pada toilet yang memang disedikan pada setiap ruang rawat.

"Gue mau ke toilet luar."

"Jauh amat. Yang di situ juga ada."

"Udah lo diem aja. Komen mulu."

Nafisa kadang heran mengapa kakaknya selalu menjadi pihak yang benar. Tak peduli apa yang gadis itu lakukan salah atau benar, kenyataannya Nafisa tidak bisa memperingatkan Bona setiap kali kakaknya kekeh mengambil keputusan.

Tak ingin berdebat dengan seseorang yang selalu ditakdirkan menjadi pemenang debat, Nafisa membiarkan kakaknya melangsek keluar seraya mendorong tiang infus.

Sebetulnya Bona tidak benar-benar ingin buang air. Gadis itu hanya ingin memastikan keadaan luar setelah kekacauan yang terjadi beberapa jam sebelumnya. Dan alangkah terkejut Bona kala kakinya melangkah keluar dan mendapati keadaan rumah sakit yang berjalan normal.

Tidak ada kerusakan sama sekali. Terlihat beberapa dokter dan perawat yang lalu lalang seperti biasa, tak jarang Bona mendapati pasien keluar berjalan-jalan seperti dirinya, bahkan banyak dari keluarga pasien yang menunggu di depan bangsal. Seakan situasi mencekam sebelumnya, tak lebih dari fatamorgana belaka.

Narasi Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang