Mendung-28

90 34 0
                                    

Meski hanya pernah mengenyam pendidikan formal sampai kelas tiga sekolah dasar, setidaknya ada sebuah pepatah dari guru bahasa Indonesia Frieden yang hingga kini masih teringat jelas di kepala. Katanya, semakin tinggi sebuah pohon, maka kian kencang pula angin yang menerpa. Saat masih berseragam merah putih Frieden hanya melongo tidak paham mendengar pepatah tersebut, namun kini di usianya yang sudah jauh dari kata anak-anak, Frieden memahami dengan baik maksud yang sebelumnya tak ia pahami.

Semakin besar cakar kekuasaan Lubdaka di dunia gelap ini, rumor-rumor kian deras berseliweran menemani langkah para anggotanya. Rumor-rumor tidak berdasar yang tumbuh subur sebab dipupuk oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah dapat ditemukan jawabannya. Seolah sengaja dibiarkan menjadi misteri agar orang-orang terus dibuat berasumsi. Dibiarkan terus berkembang sampai akhirnya melayu dengan bergulirnya masa.

Pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana bisa sosok Haris yang dulunya begitu mengabdi pada negara kini justru bermetamorfosa menjadi manusia abai hukum. Dimana lima laki-laki serta pria paruh baya itu berlindung selama bertahun-tahun bersama dibiarkan menjadi pertanyaan tanpa jawaban. Semua pertanyaan itu terus menggelayut di kepala orang kurang kerjaan yang lama kelamaan berbuah sepenggal rumor, mulai dari yang mungkin saja benar adanya hingga terdengar begitu tidak masuk akal.

Salah satu rumor paling masuk akal yang orang-orang gunjingkan adalah soal Haris yang mereka sebut sudah meninggal sejak dua tahu lalu. Masih masuk akal mereka berasumsi demikian karena Haris memang tidak pernah muncul di muka umum sejak dua tahun silam sejak didiagnosa menderita stroke. Namun dari semua rumor itu yang paling gila adalah rumor yang menyebutkan bahwa anggota Lubdaka-kecuali Frieden-mengidap penyimpangan seksual atau lebih tepatnya memiliki ketertarikan pada sesama jenis.

Yah, megecualikan Frieden karena dengan jajaran gadis yang pernah ia goda menjadikan pria itu tidak punya alasan untuk disebut seorang penganut paham ketertarikan sesama jenis.

Ini pertama kalinya Frieden menginjakan kaki di diskotek setelah sekitar satu bulan bertaubat menghabiskan malam dengan hura-hura. Namun malam ini rasa rindu akan gemerlap lampu lantai dansa serta bunyi dentingan gelas yang saling diadukan begitu menyeruak di kepala Frieden, menggoda pria itu untuk kembali bersulang dengan gemerlapnya hiburan malam.

Frieden turun dari motor seharga ratusan juta miliknya. Kemudian dengan penuh aura seorang penakluk wanita Frieden melepaskan kepalanya dari helm, membiarkan ukiran wajah bak dewa Yunani-nya dilihat secara gratis oleh siapapun yang lewat. Aroma maskulin menguar begitu kuat dari jaket kulit yang Frieden gunakan, siap membuat gadis manapun mabuk hanya dengan satu kali tarikan napas.

Frieden tersenyum menggoda pada kaca spion, rambutnya disisir dengan lima jari ke belakang. "Ganteng banget gue," puji Frieden pada dirinya sendiri dengan penuh percaya diri.

"Najis."

Senyuman Frieden mendadak luntur saat sebait komentar nyinyir terdengar meluncur dari seseorang di belakang Frieden. Kontan pria itu menoleh, mendapati Alffy memasang raut wajah mual dengan sebotol yakult di tangan. Kalau saja Frieden tidak kenal belas kasihan saat melihat anak anjing satu itu duduk tanpa kerjaan di depan teras, mungkin Frieden akan menolak dengan keras ide Abi untuk mengajak Alffy ke diskotek. "Lebih najis lagi elo! Bawa yakult ke bar. Malu-maluin aja." Frieden membalas sengit.

Abi baru datang ketika Frieden dan Alffy saling pandang dengan raut muka tidak mengenakan, namun dari kejauhan Abi sudah bisa mendengar dan menebak kalau mereka sedang meributkan hal tidak berguna. "Tapi gue setuju sih sama Alffy, lo najis banget." Abi ikut menimpali.

Narasi Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang