Mendung-31

92 26 1
                                    

"Ayah... ibu...naik perahu...
Kakak adik, berguling-guling
Tiga empat, tiga dan satu
Satu, satu, satu dan titik."

Penggalan lagu dengan lirik terkesan absurd, mengusik indra pendengaran Hujan. Laksana seorang petualang yang kembali pulang ke rumah setelah semalaman menjelajah, kesadaran kembali bersandar pada raga Hujan. Hingga perlahan tapi pasti kelopak matanya yang semula terpejam mulai memancarkan sinar gelap yang bersumber dari bola mata Hujan.

Hujan bisa melihat dengan jelas betapa putih warna yang terlukis pada langit-langit kamarnya. Hujan juga masih bisa merasakan rasa nyeri yang mengungkung sekujur badannya namun terpusat pada sebuah titik luka di bagian perut.

Hujan masih bisa terbangun dari tidur tanpa mimpinya. Seperti biasa. Sekalipun ajal sudah berkali-kali menyerempetnya, namun tetap saja kematian tidak betul-betul mampu Hujan gapai.

Dengan sedikit kepayahan, Hujan menolehkan kepala ke samping. Dari balik tirai putih yang menutupi balkon kamarnya, Hujan bisa melihat seorang gadis tertawa lepas bersama seorang anak kecil. Keduanya terlihat bahagia, seakan mereka lupa bahwa tempat mereka berpijak saat ini adalah neraka dengan taburan ilusi bak nirwana.

Sang objek perhatian Hujan mulai sadar bahwa dari kejauhan ada sosok yang memperhatikannya. Tawa gadis itu melenyap, seiringan dengan matanya dan Hujan yang bertemu pada satu titik yang sama. Gadis itu tersenyum simpul, membuat Hujan tersadar bahwa ia membutuhkan birunya senyum gadis itu untuk melukis hitam di dunianya.

Sementara itu di tempatnya Bona tak kuasa melayangkan rasa syukur tak kala melihat Hujan dapat kembali membuka mata, sesuai dengan apa yang dijanjikan. Sebab kalau sampai Hujan mati, Bona akan menjadi orang yang setia mendo'akan Hujan untuk mendapat siksa kubur sebab sudah mengingkari janjinya pada Bona.

"Kak... babi Luna bagus gak?"

Bona tersadar dari kediamannya tak kala Luna buka suara seraya menunjukan hasil coretan babi yang Bona ajarkan di buku gambar. Bona tersenyum lebar melihat hasil karya Luna, seolah ia baru saja disuguhi hasil karya seorang Pablo Picasso. "Bagus banget... kayak babi asli." Bona memuji. "Coba kasih tunjuk Hujan, pasti dia bangga sama Luna."

Luna mengangguk patuh, kemudian dengan kegirangan anak itu melesak masuk ke dalam kamar Hujan, menghampiri lelaki yang bahkan tidak tahu apa yang Luna lakukan dengan Bona di kamarnya. "Hujan!!! Luna bisa buat babi!!!"

Hujan tidak langsung menyahuti ucapan Luna, ia lebih dulu memandangi coretan Luna kemudian mengalihkan pandangan pada Bona secara bergantian. "Siapa yang ajarin?"

"Kak Bona!!!"

"Jelek banget."

Senyum Luna seketika luntur. "Kok Hujan jahat?!"

Sama halnya dengan Luna, Bona pun ikut merengut mendengar celaan Hujan terhadap gambar yang secara tidak langsung lahir dari ajaran Bona. "Asal lo tau gambar lo waktu itu lebih jelek!"

Hujan melirik Bona sekilas, kemudian menatap Luna lembut seraya mengusap pipi anak itu. "Luna gak boleh gambar kayak gini, ini gak bagus."

"Tapi ini bagus Hujan, gambarnya sambil nyanyi-nyanyi!"

"Pokoknya kalau diajarin apa-apa sama Bona jangan mau ya."

"Emangnya gue kenapa?!" Bona memekik tidak terima.

Narasi Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang