Mendung-15

142 30 1
                                    

Bona berjalan dengan lunglai di koridor sekolah yang cukup ramai. Dari balik kacamata, gadis itu menyembunyikan garis mata yang menghitam dan sembap karena menangis semalam. Hari ini Bona datang kelewatan siang, untung saja ia lolos dari dampratan guru kesiswaan yang biasanya nangkring di depan gerbang sambil makan gorengan.

Bona benar-benar tidak bersemangat pagi ini, apalagi mengingat kejadian semalam, rasanya Bona hanya ingin mengunci diri di kamar sambil menonton drama Korea.

Ia melangkahkan kaki menuju kelas, kemudian sesampainya di sana Bona langsung melempar tas ke kursi dan duduk sembari menyandarkan kepala di meja. Mulai hari ini Bona bertekad untuk menarik jarak dari Hujan, dimulai dari hal kecil yaitu berhenti menoleh ke belakang, atau lebih tepatnya melirik ke arah meja cowok itu. Bona hanya ingin hidupnya kembali tentram, tanpa ada bayang-bayang ngerinya senjati api.

Bona memejamkan mata, hendak melanjutkan tidurnya yang kurang nyenyak semalam. Namun rencananya batal karena Indira datang menghampirinya dengan mode grasak-grusuk, membuat Bona terperanjat dan menatap Indira sengit. "Bisa nggak sih santaian dikit," keluh Bona seraya berdecak kesal.

"Setelah seribu purnama kutunggu akhirnya kamu datang juga Bona." Indira berbicara dengan gaya melankolis, laksana pujangga yang keracunan tinta pena.

"Kalau kayak gini biasanya lo ada maunya." Bona menatap Indira curiga.

"KOK LO TAU? Jadi selama ini apa yang lo bilang tentang lo bisa baca pikiran orang itu bener? Hebat..." Indira berdecak kagum seraya bertepuk tangan, namun sedetik kemudian tanpa bisa diprediksi cewek itu tiba-tiba mencengkram kerah kemeja Bona hingga membuat Bona merasa tercekik.

"Woi lo apaan sih?! Lepas!" Bona memberontak, namun alih-alih melepaskan Indira justru kian mengencangkan cengkauannya.

"Jawab pertanyaan gue dengan jujur baru gue bakal lepas tangan gue dari kemeja lo." Indira menatap Bona tajam seolah ia adalah polisi yang sedang mengintrogasi maling sandal saat bulan ramadhan.

"Pertanyaan apaan sih..." Bona melenguh kesal, ia heran mengapa dirinya harus punya teman tanpa akal seperti Indira.

"Gue temen lo apa bukan?!"

"Tergantung, kalau lo lagi waras udah pasti lo temen gue. Tapi kalau keadannya kayak gini, gue ragu."

Indira melepaskan cengkraman dari kerah kemeja Bona, memberi kesempatan pada gadis itu untuk kembali bernapas normal. "Lo bilang kita temen?!" Kini raut wajah Indira kembali berubah, ia memasang tampang melas layaknya gembel yang terlalu sering didzalimi di sinetron azab.

"Sebenernya sih gue ngerasa lo rival gue—"

"Oh jadi gitu." Indira manggut-manggut kemudian kembali menarik kerah kemeja Bona hingga gadis itu langsung terbatuk-batuk. "Pantes aja selama ini lo nggak pernah cerita kalau lo punya pacar yang gantengnya nggak jauh beda sama bintang iklan kopi! Ternyata emang selama hampir enam tahun temenan lo nggak pernah anggap gue ini teman lo. Salah apa gue Bon... padahal gue selalu ada kalau lo butuh pulsa." Indira menitikan air mata lebay, membuat bulu roma Bona merinding melihatnya.

"Bisa nggak sih nggak usah lebay? Lo yang gitu gue yang geli."

"MAKANYA JAWAB DULU PERTANYAAN GUE KENAPA LO SELAMA INI NGGAK NGASIH TAHU GUE KALAU LO PUNYA PACAR GANTENG DAN TAJ—"

"Stop, Ra!!!" Bona membekap mulut Indira yang berhasil membuat seisi kelas menoleh ke arah mereka berkat mendengar jeritan Indira. "Mulut lo tuh ember banget tau gak."

Indira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia terkekeh geli. "Hehe maaf, gue kelepasan. Abisnya elo sih pake ngerahasiain hal besar sama gue."

"Rahasia apaan sih?"

Narasi Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang