Mendung-03

229 37 0
                                    

Tadi siang Bona mendatangi wali kelasnya, berusaha mencari alamat rumah Hujan. Namun yang Bona dapatkan adalah kenyataan bahwa Hujan tinggal di kota Tangerang, sebuah hal yang tidak mungkin karena Hujan aktif menempuh pendidikan di Jakarta.

Sejak bel pulang sekolah belum berdering, Bona sudah mengambil ancang-ancang untuk membuntuti Hujan. Mata gadis itu tidak henti menoleh ke belakang, memastikan Hujan masih duduk di kursinya. Jika Hujan bersikukuh tidak akan membantu Bona untuk mendekati Abimanyu, maka Bona akan mengorek informasi tentang Abimanyu dengan caranya sendiri.

Mata Indira menatap heran ke arah Bona yang tidak henti menoleh ke arah Hujan. "Lo ngapain sih? Masih dendam sama Hujan?" Tanya Indira yang pegal melihat Bona menoleh ke belakang.

"BANGET!" Bona menjawab mantap tanpa menatap wajah Indira.

Indira berdecak. "Lagian lo dapet wangsit darimana sih sampe sok tahu kalau Hujan itu tajirnya bukan main."

Menyadari kenyataan bahwa temannya sendiri tidak mempercayai ucapan Bona, gadis itu langsung menatap Indira nanar. Dengan emosi yang menggebu gadis itu menggebrak meja. "KARENA GUE LIHAT SENDIRI!" Bona berteriak kesal. Jika terus begini bisa-bisa semua orang akan mendiagnosa Bona overhalu usai membaca novel karangan Kevin Kwan.

Satu kelas semula hening, memperhatikan guru BTQ menerangkan tengang ikhfa syafawi dan kawan-kawannya, namun langsung dibuat menoleh ke arah Bona tak kala gadis itu tiba-tiba berteriak seperti orang kerasukan. Pak Muslim selaku guru BTQ pun langsung melipat tangan di dada, matanya menatap sinis ke arah muridnya yang kini berdiri kebingungan karena semua orang menatap gadis itu heran.

"Hadeuh, Bona..." Indira hanya bisa tepuk jidat meratapi mulut temannya yang tidak bisa terkontrol dengan baik hingga sering kebablasan.

"Kesurupan setan apa kamu, Nak?" Cibir Pak Muslim seraya membenarkan kacamatanya yang melorot.

Bona hanya bisa menunduk sambil menahan rasa malu yang mulai menyesaki aliran darahnya. "Ngghhh... a-anu, Pak..."

"Sudah sana duduk, jangan lupa baca istighfar biar nggak kesurupan beneran."

Bona mengangguk gugup, lantas kembali duduk di kursi. Hanya dalam satu hari Bona sudah berhasil mempermalukan dirinya sendiri dua kali.

Gadis itu kembali menoleh ke belakang, dan pada saat itu juga matanya dan Hujan bertemu. Lewat sorot mata Bona berteriak mengancam pada Hujan. "Gue bakal ancurin hari-hari lo!"

Sementara itu Hujan tidak mau kalah, ia balik melempari Bona dengan pelototan sengit sambil berujar dalam imaji. "Lo nggak akan bisa!"

Bona mendengus kesal, lantas membuang muka. Tidak akan ada yang bisa menghalangi Bona meraih Abimanyu. Jangankan Hujan, gledek saja bisa Bona buat tunduk dan menyerah untuk membantunya.

Setelah ditunggu-tunggu akhirnya bel pulang sekolah berbunyi nyaring hingga ke tiap-tiap sudut sekolah. Tanpa mau menyia-nyiakan waktu, Bona langsung membereskan buku dan memasukan ke dalam tas cokelatnya. Ia berdiri tegak, siap mengobrak-abrik semua hal tetang Abi yang berusaha Hujan tutupi.

Tubuh Hujan yang menjulang tinggi melintas di hadapan Bona, buru-buru gadis itu memblokade langkah Hujan. "Lo pulang sama siapa? Abi?" Tanya Bona dengan tatapan mengintrogasi.

Hujan menatap malas ke arah Bona beberapa saat, kemudian geleng-geleng kepala melihat tingkah aneh Bona sebelum akhirnya melenggang pergi.

Bona menjejakan kakinya di tanah dengan kesal, jika saja Bona tidak ingat bahwa sepatu sekolahnya hanya satu pasang, mungkin ia sudah melemparkannya ke kepala Hujan. Tak mau kehilangan jejak Hujan, Bona langsung berlari mengejar cowok itu.

Narasi Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang