Mendung-40

87 25 1
                                    

Pagi ini Bona membolos sekolah. Bona memang sudah terbiasa berangkat ke sekolah saat orang tuanya sudah berangkat kerja, jadi tidak ada yang curiga ketika gadis itu keluar rumah hanya mengenakan celana training beserta kaos putih polos. Tanpa rintangan berarti pada akhirnya Bona berhasil sampai pada tempat yang sejak awal ingin ia tuju.

Dengan menumpangi ojek online, Bona sampai di sebuah perkampungan kumuh yang berjarak cukup jauh dari pusat kota. Sebuah bentuk kesenjangan sosial yang sangat kontras jika dibandingkan dengan gedung-gedung tinggi penghias ibu kota lainnya. Perkampungan yang dihuni oleh beberapa kaum dibawah garis kemiskinan ini tidak banyak berubah, masih diisi oleh gubuk-gubuk semi permanen yang bisa digusur kapan saja pemerintah mau, mungkin yang membedakan hanya botol-botol bekas tidak jauh lebih berserakan ketimbang sebelumnya.

Ditemani langit pagi yang kelabu, Bona menapaki tanah yang becek akibat sisa hujan deras semalam. Mata Bona jelalatan memperhatikan pemandangan sekitar. Perkampungan ini begitu senyap, siapa sangka dibalik gubuk-gubuk reot ini, tersembunyi rumah mewah yang kalau dijual bisa mensejahterakan seluruh penduduk kampung ini.

"Neng."

Bona terkesiap tak kala seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Bona menoleh, dan langsung bersyukur ketika ia sadar seseorang memanggilnya bukanlah penjahat.

"Eneng yang pas itu nanyain aden Hujan, kan?"

Seseorang yang baru saja bertanya adalah orang yang waktu itu pernah Bona kira sebagai ibunda Hujan. Tak disangka ternyata perempuan berdaster itu masih mengenali wajah Bona, padahal pertemuan keduanya hari itu terbilang singkat. Bona menatap wanita itu sebentar, ia terlihat mengangkat dua buah karung berisi kaleng dan botol bekas, Bona merasa iba. "Mau saya bantu bu?" Tawarnya.

"Ah nggak usah, neng."

Bona tetap mengambil alih satu karung yang ibu tersebut bawa.

"Ya Allah, neng, ibu jadi gak enak."

"Nggak pa-pa, bu. Ini mau dibawa kemana ya?"

"Ke rumah ibu. Itu tuhhh deket." Ibu tersebut menunjuk pada sebuah gubuk triplek yang pernah Bona kira sebagai rumah Hujan.

Bona mengangguk lantas melangkah seraya menggotong karung menuju rumah ibu setengah baya tersebut. Sesampainya di sana, Bona langsung meletakan karung tersebut di tanah.

"Duduk dulu neng, ibu bikinin teh."

Bona sebetulnya ingin menolak, tapi ibu tersebut sudah terlanjur masuk ke dalam bilik rumahnya. Alhasil karena tidak enak hati, Bona memutuskan untuk duduk sejenak di sebuah kursi panjang.

Tak lama, ibu itu kembali muncul dengan secangkir teh hangat di tangan. "Buat eneng, itung-itung tanda makasih dari ibu."

Bona mengangguk, menyesap teh yang ibu itu berikan.

"Mau ke rumahnya tuan Haris yang neng?"

Bona nyaris tersedak ketika ibu tersebut tiba-tiba bertanya. Ia terbatuk-batuk sejenak, kemudian menaruh cangkir teh tersebut di kursi. "Ibu kenal pak Haris?"

"Atuh kenal, neng... ini kan tanah beliau." Dengan enteng ibu tersebut menjawab, tanpa pernah ia tahu Bona dibuat kehabisan kata-kata karena jawabannya. "Ibu udah belasan tahun tinggal di sini tanpa pernah digusur ya karena tuan Haris. Padahal sebelumnya mah boro-boro bisa tinggal belasan tahun neng, baru bangun gubuk aja langsung digusur."

"Satu kampung ini tahu soal pak Haris?"

"Ya iya neng, mereka semua kan sama kayak ibu. Kalau nggak ada tuan Haris mah, mungkin ibu sekarang tinggal di kolong jembatan. Beliau teh orang baik, suka nolong, walau jarang kelihatan. Anak-anaknya juga sopan, mana ganteng neng. Coba kalau ibu bukan pemulung, ibu mah ngotot mau jodohin anak ibu sama aden Hujan!"

Narasi Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang