Mendung-10

151 34 1
                                    

Bona yakin bahwa kecantikannya adalah bawaan lahir, takdir mutlak yang akan ia bawa sampai mati bahkan mungkin hingga Bona masuk surga firdaus dan menjelma menjadi bidadari. Namun entah mengapa malam ini Bona semakin merasa bahwa dirinya adalah perempuan paling cantik di muka bumi, mengalahkan kecantikan Lisa Blackpink.

Gadis itu cekikikan seraya menatap pantulan wajahanya dicermin. Untuk kesekian kalinya Bona memoleskan loose powder di atas pipinya yang sudah dilapisi berbagai macam jenis kosmetika. Mulai dari 7 tahapan skin care hingga bb cushion dan kawan-kawannya.

Ponsel Bona berdering menampakan sebuah panggilan masuk dari kusir kuda Princess Cindebona.

"Hallo kusir kudaku," sapa Bona menyambut perbincangan.

"Cepetan keluar."

"Okey..." Bona mematikan sambungan telepon sepihak.

Sebelum keluar menghabiskan malam di pesta ulang tahun Mayoret, Bona terlebih dahulu mewarnai bibirnya dengan sebuah lip gloss berwarna peach coral. Setelah dirasa siap, perempuan itu bergegas keluar rumah dan menghampiri Hujan yang sudah berdiri di depan rumahnya.

"Woi!" Bona menepuk bahu Hujan yang nampak berkutat dengan ponselnya di atas motor. Nampak seperti sopir ojol yang tengah menunggu penumpang.

Hujan mengangkat kepalanya, menatap Bona yang malam ini nampak jauh lebih waras daripada aslinya. Di sekolah Hujan tidak bisa menampik kenyataan bahwa Bona buluknya minta ampun, namun malam ini Hujan juga tidak bisa menyangkal bahwa Bona nampak manis dengan polesan make up serta rambut yang ia tata dengan gaya twisted crown braid.

Menyadari bahwa tatapan Hujan tidak beranjak darinya, Bona langsung terkekeh geli. Gadis itu memutarkan badannya, membuat gaun biru yang ia kenakan mengembang bagaikan gaun para Princess Disney. "Gue tau malem ini gue cantik," ujar Bona dengan penuh percaya diri.

"Iya, lo cantik kayak SPG rokok." Hujan membalas dengan senyuman tidak ikhlas.

"Ya elah jujur aja sih, gue tahu dalam hati lo mengagumi tampilan gue malam ini."

"Sangat disayangkan gue sama sekali nggak mengagumi tampang lo sekarang." Hujan menyerahkan helm pada Bona. "Pake nih biar kita cepet berangkat."

Bona tidak langsung memakai helm yang Hujan berikan, gadis itu terdiam sejenak seraya memandangi kendaraan yang Hujan gunakan untuk membawanya ke pesta. Bona berdecak kesal. "Lo tuh ya, mau bawa cewek cantik ke pesta kok pake vespa," cibir Bona sambil menendang ban motor Hujan.

Hujan membelalakan matanya usai memergoki ulah Bona, spontanitas cowok itu langsung menginjak kaki Bona yang sudah tega menendang motor yang ia beli dengan harga 40 juta. "Woi! Kaki lo jahanam banget!" Hujan memekik kesal. "Masih untung gue mau nemenin lo ke acara ulang tahunnya Mayoret walaupun gue nggak diundang. Tahu gitu mending gue tidur aja di rumah."

"Lo itu orang kaya, mobil juga banyak tapi kenapa naik nih vespa mulu sih!"

"Kalau lo mau pergi sama cowok bermobil, kenapa lo nggak naik angkot aja?! Kenapa harus maksa gue buat ikut."

Bona terdiam, ia sendiri tidak tahu mengapa memilih Hujan sebagai pasangannya ke pesta. Padahal Bona bisa saja memilih orang lain untuk menjadi teman berangkatnya. Tentu saja jawabannya karena Hujan lah teman baik Bona, namun lidah Bona bisa keseleo jika mengungkapkan kenyataan itu pada Hujan. "Ya—ya maaf." Bona menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Sebelum Hujan kembali mengamuk, Bona langsung memakai helm dan naik ke atas motor Hujan. Berbeda dari sebelum-sebelumnya, kali ini Bona duduk menyamping.

"Lo yakin duduk kayak gitu?" Tanya Hujan seraya melirik Bona lewat kaca spion.

"Udah lah nggak usah banyak cincong, berangkat cepetan. Berangkat..." Bona menepuk bahu Hujan dengan menirukan gaya Tisna—tokoh sinetron Tukang Ojek Pengkolan.

Narasi Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang