Mendung-18

166 35 2
                                    

Gadis itu terduduk di sudut ruangan, memeluk kakinya yang terasa menggigil karena hembusan angin malam yang menerobos masuk lewat ventilasi. Bona memejamkan mata, bibirnya komat-kamit membaca berbagai surat yang ia hapal, mulai dari al-fatihah hingga ayat kursi. Semua itu Bona lakukan agar segala bentuk makhluk astral baik itu kuntilanak sampai babi ngepet sekalipun tidak berani mendekatinya.

Bona menangis sesenggukan menahan rasa frustasi yang memenuhi pikiran. Satu jam yang lalu gadis itu terbangun dari tidur dan mendapati kenyataan bahwa sekelilingnya gelap gulita. Awalnya Bona kira ini masilah dunia mimpi, namun ketika kaki Bona terantuk ke meja saat mencoba melangkah, ia sadar ini bukanlah mimpi.

Bona sudah menggedor pintu lab komputer berulang kali sambil berteriak meminta tolong. Namun hingga suaranya serak, tidak juga ada orang yang datang. Dengan pulsa sembilan ratus perak yang tersisa Bona mencoba menelpon ibu agar ayahnya bisa datang menjemput gadis itu. Namun alih-alih menjemput ibu malah mengomeli Bona dan mengatakan bahwa ayahnya sedang ada di acara akikahan anak tetangga.

Alhasil tanpa mau mendengar ocehan ibu yang hanya akan membuat pulsa Bona kian sekarat, ia memutuskan untuk mematikan sambungan telepon.

"Siapapun tolong gue... hiks," lirih Bona seraya mengusap ingusnya dengan telapak tangan. "Gue janji kalau yang nolong gue itu cewek bakal gue jadiin sahabat, kalau yang nolong gue itu cowok ganteng gue jadiin pacar, dan kalau yang nolong gue itu cowok buluk gue jadiin babu. Tapi kalau bisa sih cogan aja." Bona melemparkan sebuah sumpah yang membuat gadis itu terkesan tidak tahu diri. Masih untung kalau ada yang nolong, lah ini pakek request segala.

Tapi semua itu Bona lakukan dengan alasan ia tidak ingin menjadi seperti Dayangsumbi yang harus rela menikahi seekor anjing. Kan gawat kalau yang nolong Bona itu ternyata pak Sobirin-satpam SMA Diponegoro-mana sudi Bona pacaran sama bapak-bapak.

"Woi!!! Bukain kek!!!" Bona menggedor-gedor pintu lab dengan segenap tenaga yang masih tersisa. Jujur saja selain kesulitan bernapas akibat lubang hidungnya tersumbut ingus, saat ini Bona juga merasa lapar bukan main.

Bona mendengus kesal, ia mengacak rambut frustasi. Gadis itu memilih untuk menyandarkan kepala di dinding, kemudian memejamkan mata sambil berharap Tuhan mengirimkannya penyelamat.

Setelah kejadian ini Bona memetik hikmah yang sangat dalam dan begitu bermanfaat bagi hidupnya. Jangan tidur di lab komputer, kalau mengantuk mending cabut ke UKS.

Terdengar suara derap langkah seseorang yang terkesan terburu-buru. Tidak berselang lama suara kunci dimasukan ke dalam lubang pintu pun menyusul.

Sadar akan kehadiran seseorang yang akan menolongnya, Bona langsung membuka mata dan bangkit dengan penuh gairah. Bona menghela napas lega, siap menyambut siapapun yang menolongnya dengan senyuman lebar.

"Bon-"

Dhuk!

Boro-boro memberikan senyuman termanis pada orang yang menolongnya. Bona justru mendapatkan kenyataan bahwa pintu yang dibuka dengan sekuat tenaga oleh orang itu justru menghantam jidat Bona tanpa kenal belas kasihan.

"Sakit!!!" Bona berteriak sembari mengusap keningnya yang terasa nyeri dengan rambut. Ia mengangkat kepala, menatap tajam ke arah dua orang baru saja datang ke lab komputer.

Yang pertama pak Sobirin dengan secangkir kopi hitam di tangannya, dan yang kedua adalah Hujan yang menjadi tersangka dari benjolnya kening Bona.

"Eh... ngh... e-elo gak pa-pa?" Tanya Hujan ragu-ragu usai melihat air muka berang Bona.

"Ya nggak lah! Jidat gue benjol gara-gara lo!" Bona memukul bahu Hujan keras, hingga jika diterawang melalui kacamata tembus pandang maka bisa dilihat bekas merah di kulit cowok itu.

Narasi Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang