Mendung-22

128 31 2
                                    

Jika ditanya makanan apa yang paling Bona cintai saat dompetnya yang minim isi mengalami kekeringan tingkat lanjut, maka Bona akan dengan lantang menjawab indomie. Apapun yang terjadi, sekalipun Mc.D menjamur di pinggiran jalan seperti alfamart dan indomaret yang bisa ditemui dimana-mana, Bona akan tetap mencintai indomie dengan segenap hati. Karena bagaimana pun, Indomie adalah makanan ramah kantong yang mengenalkan Bona dengan seluruh kuliner nusantara. Mulai dari rendang, ayam geprek, sampai soto lamongan.

Pokoknya Bona fans indomie garis keras deh! Samyang hot spicy tidak bisa menggusur rasa cinta Bona pada panganan cepat saji satu itu. Dan rasa cinta Bona kian menjadi ketika Bona diizinkan menikmati mie instan satu itu tanpa harus mengeluarkan selembar uang lima ribu ke ibu kantin. "Anjir, ini mie enak banget." Bona berkacak pinggang usai menghabiskan satu mangkok mie instan yang Hujan belikan untuknya.

Hujan deras mengguyur di luar lapak warung pinggir jalan tempat Hujan dan Bona berteduh sore ini, memaksa Hujan untuk memberi makan pada monster babi yang ia bawa dari Jakarta ke Tangerang. Hujan hanya memesan segelas teh hangat, karena hanya dengan melihat Bona menyantap semangkok mie dengan penuh semangat kemerdekaan, rasanya Hujan sudah ingin sendawa. Hujan merogoh saku celananya, mengulurkan sapu tangan pada Bona. "Lo manusia apa babi sih? Makan nggak ada adab sama sekali," cibir Hujan.

Bona menarik sapu tangan pemberian Hujan kasar, lantas menghapus sisa kuah mie di sekitaran mulutnya dengan benda itu. "Komen aja lo netijen." Bona membalas tajam. Pada kenyataanya sekalipun Bona sudah menjadi pundak tempat Hujan menangis sesenggukan, lelaki itu tetap memperlakukan Bona secara tidak manusiawi. Jika tidak ingat betapa rapuhnya Hujan beberapa jam yang lalu, mungkin saat ini Bona sudah menyiramnya dengan sisa kuah mie instan.

Hujan memutar bola mata jengah, lantas pandangan matanya tertuju pada ibu pemilik warung yang tengah menonton TV bersama anaknya di dalam warung semi permanen itu. Hujan terhenyak sejenak, hanya dengan melihat seorang anak berada di dalam dekapan ibunya, Hujan mulai merasakan kembali rasa sakit atas kerinduannya pada sosok ibu. "Bu..." Hujan memanggil ibu itu perlahan.

Ibu pemilik warung tersadar akan suara seseorang yang memanggilnya, perempuan itu menengok ke arah Hujan dan tersenyum. "Iya ada apa mas?"

"Total semuanya berapa ya?"

"Mie semangkok lima ribu, sama teh angetnya dua gelas empat ribu. Jadi sembilan ribu, mas."

Hujan mengangguk, lantas mengeluarkan selembar uang berwana ungu dari dalam sakunya. "Ini bu, kembaliannya anggap aja uang neduh."

"Makasih ya mas." Ibu itu menerima uang pemberian Hujan. "Udah neduh aja dulu sampai Hujannya reda, nggak baik nyetir pas hujan deres. Kasihan pacarnya kalau sampai kenapa-kenapa di jalan."

Mendengar apa yang baru saja ibu warung katakan, Bona yang sedang meneguk segelas teh pun tak kuasa menyemburkan kembali minumannya. Ia terbatuk-batuk sejenak, sebelum akhirnya memandang ibu pemilik warung dengan mimik muka terintimidasi. "Bu, bukan cuma makan yang nggak boleh sembarangan, bicara juga bu. Mana bisa dua makhluk yang berbeda alam bersatu. Nggak ada ceritanya manusia kayak saya menjalin tali kasih dengan dajjal—mmphhh..." Belum tuntas Bona mengucapkan omongan tidak bermoralnya, Hujan sudah lebih dulu membungkam mulut gadis itu.

Hujan melempari Bona dengan pelototan tajam, sepertinya Bona harus kembali ke sekolah dasar untuk dapat kembali diajarkan cara beretika dengan baik. "Mending lo diem daripada bikin gue malu," bisik Hujan tajam.

Bona menyampuk tangan Hujan dari bibir berharganya, buru-buru ia kembali meneguk air teh guna menetralisir rasa asin dari telapak tangan Hujan.

Hujan menggarukan tengkuknya yang tidak gatal, kemudian sedikit membungkukan badan pada ibu pemilik warung. "Maafin temen saya, Bu. Dia emang suka ngomong ngelantur."

Narasi Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang