Mendung-21

138 36 0
                                    

Ps: siapkan napas, karena part ini cukup panjang. Dan tolong sisihkan waktu buat baca author note karena gue bakal ngasih kalian catatan penting.

-happy reading-

Usai menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam, mobil itu berhenti di pelataran lapak penjual bunga yang berdiri tak jauh dari sebuah area pemakaman umum. Hujan menghela napas berat, setelah tiga tahun akhirnya Hujan memiliki keberanian untuk menghadapi hari ini.

Laki-laki itu melepaskan sabuk pengaman. Lantas menoleh ke samping, tepatnya pada seorang gadis yang tengah tertidur pulas dengan kepala bersandar pada jendela mobil. Hujan menarik seutas kecil senyuman, jika sedang terlelap seperti ini, fakta bahwa Bona adalah gadis paling tidak punya malu yang pernah Hujan temui hilang entah kemana. Yang ada justru hanyalah ukiran manis di wajah gadis itu, yang menimbulkan kesan lugu.

Perlahan Hujan menepuk bahu Bona beberapa kali, tidak berselang lama Bona pun membuka mata. Ia menggosok-gosok matanya, kemudian menengok ke arah Hujan. Bona terdiam sesaat, memandangi sekeliling tempat dimana ia berada saat ini. Dan ketika melihat sekumpulan gundukan tanah bernisan tak jauh dari tempat mobil Hujan terparkir, Bona langsung terperanjat.

Hujan ternyata sudah menyiapkan kuburan untuk dirinya.

"Lo mau kubur gue hidup-hidup?" Tanya Bona dengan bibir tertekuk ke bawah. Gadis itu menatap Hujan melas, layaknya calon ahli kubur yang meminta kesempatan kedua pada malaikat pencabut nyawa.

Hujan berdecak malas, setelah melewati perjalanan panjang yang diisi dengan dengkuran dari Bona, ternyata gadis itu tetap menganggap Hujan akan menghabisinya. "Apa untungnya gue ngubur lo hidup-hidup? Nggak usah ditimbun di tanah aja lo udah kesusahan napas gara-gara hidung lo yang pesek ini." Hujan menjawil hidung Bona gemas, hingga ia meronta kesal.

"Ini kuburan ya! Jangan mancing keributan!"

Hujan tertawa geli melihat mimik muka sebal Bona, kemudian melepaskan seat belt yang mengikat gadis itu. "Ikut gue."

"Kemana?!" Bona meraung galak.

"Somewhere only we know." Hujan membuka pintu mobil dan keluar dari sana. Tidak lama kemudian Bona menyusul langkah cowok itu. "Lo tunggu di sini sebentar," pinta Hujan sebelum akhirnya bergegas menghampiri lapak penjual bunga.

Bona memerhatikannya dari kejauhan, Hujan nampak membeli dua buket bunga anggrek berwarna putih. Bona mengernyitkan dahi, berusaha menebak alasan Hujan membeli bunga itu. Namun Bona justru menemukan jawaban ngaco yaitu; Hujan akan mengajak Bona pacaran dan memberikan gadis itu karangan bunga.

Bona bergidik geli membayangkan kemungkinan itu. Jika itu benar terjadi maka Bona akan menendang kaki Hujan keras sambil berkata bahwa ia tidak suka bunga anggrek dan Hujan.

Sesuai perkataannya, setelah membeli dua buket bunga Hujan kembali menghampiri Bona yang berdiri seperti orang hilang. Gadis itu masih memasang tampang ketus, seakan Hujan adalah manusia yang paling ia benci sejak kemarin malam. "Muka lo udah cukup jelek, nggak usah lo bikin makin jelek dengan masang tampang jutek," cibir Hujan.

"Terus gue harus masang muka ramah gitu sama lo? Lo pikir lo siapa?"

"Hujan." Hujan menjawab singkat. Ia meraih tangan Bona kemudian mengenggamnya erat agar gadis itu tidak kabur seperti yang Hujan khawatirkan.

"Woi nggak usah pegang-pegang napa!" Bona berusaha menepis tangan Hujan.

"Kalau lo banyak protes gue patahin tangan lo."

Saat itu juga Bona berubah menjadi gadis penurut.

Hujan membawa Bona pada dua buah makam yang berdampingan satu sama lain. Laki-laki itu mematung beberapa saat seraya menatap hampa ke arah dua nisan yang mematrikan nama orang yang paling Hujan cintai di dunia ini. Kaki Hujan melemas, seolah jiwanya terbang meninggalkan tubuhnya di hadapan dua gundukan tanah itu.

Narasi Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang