Mendung-26

103 31 5
                                    

Sebetulnya Indira bukan gadis yang lahir dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Meski nggak sampai jadi crazy rich asian, orang tua Indira nggak pernah yang namanya mengalami kantong kering setiap kali hilal tanggal tua datang menyapa. Ayahnya seorang pengusaha dan ibunya manejer di salah satu perusahaan, setidaknya uang jajan Indira dapat digunakan untuk nongkrong di Mc.D tiap sore atau nontonin film di bioskop sepulang sekolah. Akan tetapi karena Indira lama berteman dengan penikmat jajan serba goceng seperti Bona, alhasil Indira kecipratan aura-aura kaum fakir.

Seperti saat ini, tanpa rasa malu Indira duduk di depan alf*mart sambil menikmati bakso geprek serta wifi gratis yang menemaninya berselancar di sosial media. Membaca cuitan-cuitan nyeleneh dari penghuni twitter.

Berbeda dengan Indira, Bona hanya termenung menatap hiruk-pikuk jalan raya sambil mengigit sedotan es cekek sampai gepeng. Sejak tadi pagi Bona tidak banyak bicara, padahal biasanya ocehan gadis itu lebih panjang daripada tol Cipali. Namun hari ini beda, Bona lebih mirip seperti kambing yang frustasi menghadapi hari raya kurban.

Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel berkamera tiga milik Indira, menimbulkan sekeping bunyi yang menarik perhatian Indira dan Bona yang langsung tertuju pada titik yang sama.

Indira membuka layar ponsel, mengecek sebuah pesan yang baru saja masuk. Raut wajahnya nampak masam. Dengan tanpa selera Indira kembali mematikan ponsel dan menjejalkan benda itu ke dalam tas.

"Dari siapa?" Tanya Bona dengan secuil ekspresi penasaran. Hanya secuil karena raut muka tanpa gairah hidup masih lebih mendominasi.

"Jancuk Human."

"Apaan tuh? Sejenis Jelly?"

"Ya menerut lo siapa lagi manusia jancuk yang sangat haram dibudidayakan keberadaannya kalau bukan Julian!" Indira emosi abis. Membahas Julian hanya akan menggiringnya menuju kejadian saat Indira memergoki Julian mencium mesra gadis lain di depan matanya. Kalau saja Indira tahu dimana itu Palung Mariana, mungkin Indira sudah menarik Julian dan mendorongnya jatuh ke dalam sana.

"Baru juga ciuman, belum sampe memproduksi generasi penerus bangsa."

Kadang Indira ingin menjual Bona di OLX supaya bisa ditukar tambah dengan teman yang jauh lebih bermanfaat. "Lo bisa ngomong kayak gitu karena lo nggak ada di posisi gue. Coba lo bayangin cowok yang pernah cium lo justru ciuman sama cewek lain di depan mata lo!"

"Kalau gue jadi lo malahan bakal gue rekam hehe." Bona melemparkan cengiran lebar. Kini tabiat aslinya yang nyaris saja tertutup selama seharian kembali muncul ke permukaan.

"Salah gue ngomong sama lo, jangankan ciuman sama cowok punya pacar aja udah bertahun-tahun yang lalu."

Bona melotot, tidak terima dengan ucapan Indira yang secara tidak langsung menilainya tidak laku. "Ngeremehin lo! Gini-gini gue juga per..." Bona membelalakan mata, sadar akan omongannya yang kelewat batas. "...nah..." Bona mengigit bibir bawahnya, merasa ngeri melihat aura muka Indira yang kini berubah. Terlihat seperti seorang algojo yang menunggu pengakuan dari tersangka maling sandal.

Saat ini Bona ingin pingsan saja.

"Jadi elo..." Indira menatap wajah Bona lekat mulai dari kedua mata hingga jatuh pada bibir berlapis liptint miliknya. Tanpa pedulikan jantung Bona yang mudah terkejut, Indira menggebrak meja di depannya hingga dada Bona cenat-cenut macam lagu milik Smash. "...ELO PERNAH GITU DAN NGGAK KASIH TAHU GUE?!"

Bona memejamkan mata, tak kuat dan tak tahu ingin melontarkan pembelaan macam apa. "Ng...nggak gi-gitu...gitu..." Tolong beri tahu Bona mengapa dirinya yang bisa melafalkan secara fasih part rap Nicki Minaj dalam lagu Plain Jane, bisa berubah menjadi gagap hanya karena disentak Indira.

Narasi Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang