Mendung-05

193 42 0
                                    

Siang itu Hujan duduk di atas mimbar seraya memandangi teman-temannya yang sibuk berebut bola di lapangan. Bukan taktik bermain yang Hujan perhatikan atau gol yang telah dicetak dalam pertandingan itu, melainkan kebersamaan dari para pemain yang tidak lain adalah teman sekelasnya. Mereka semua melebur satu, dalam kehangatan dan kegembiraan masa remaja.

Hujan tersenyum getir, munafik rasanya jika laki-laki itu berkata ia tidak ingin ikut bermain bersama mereka. Namun bagi kehidupan Hujan, lebih baik tidak punya teman daripada punya musuh. Karena semakin banyak Hujan memiliki teman, maka akan semakin banyak pula yang akan membenci Hujan jika hari itu datang. Hujan memejamkan matanya, menikmati desiran angin yang menerpa tubuhnya yang banjir keringat usai mengambil penilaian lari.

"Lo merem pasti lagi mikirin hal-hal jorok."

Mata Hujan yang terpejam perlahan terbuka, ia berdecak malas saat mendapati seorang gadis tengah berkacak pinggang di sampingnya. "Mau apa lo?" Tanya Hujan ketus. Kemudian kembali memejamkan mata.

"Mau Abi..." Bona menjawab sambil tertawa geli, dan tanpa persetujuan Hujan gadis itu langsung ambil posisi duduk di samping Hujan. "Kemarin Abi pulang jam berapa?"

Hujan tidak menjawab, ia tetap bertahan dalam posisi memejamkan mata.

Sadar akan kehadirannya yang tidak diacuhkan Bona pun mendengus kesal. Dan tanpa perasaan gadis itu menarik kedua kelopak mata Hujan, membuat cowok itu langsung melotot dan menarik jarak dari Bona. "Padahal gue baru pengen colok mata lo," cerca Bona sambil tertawa usai melihat ekspresi terkejut Hujan.

Hujan meremas tangannya kesal, ingin rasanya ia memecahkan kepala Bona, dan memeriksa isi kepala gadis itu yang semakin lama makin kelihatan seperti psikopat. Namun tentu saja Hujan tidak sekeji itu, ia berusaha meluapkan kekesalannya lewat geraman kesal. Hujan bangun dari posisinya. "Sebelum gue makin kesel, mendingan lo pergi."

"Kemana?" Sahut Bona dengan polosnya.

"Kemana aja terserah!" Hujan mengacak rambutnya frustasi, hari ini ia sangat tidak ingin diganggu dengan kehaluan tingkat dewa Zeus dari Bona. "Sana ke kantin sama Indira! Biasanya lo berdua ngejogrok di sono sejam cuma buat liatin Badai!"

Bona menggeleng mantap. "Maaf Adik Ipar, aku tidak bisa menuruti perintahmu. Aku sudah melupakan Badai dan memutuskan untuk mencintai kakakmu dengan sepenuh hati."

"LUPAIN ABI!" Tanpa bisa Hujan tahan, bentakan meluncur begitu saja dari bibirnya. Bona terdiam usai Hujan bentak. Saat itu juga Hujan sadar bahwa cara bicaranya pada Bona sudah salah. Hujan menarik napasnya panjang, kemudian menghembuskannya berat. "Mending lo balik lagi jadi penggemar Badai," ucap Hujan dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya.

"Nggak!" Sergah Bona dengan penuh keyakinan. "Lo kenapa sih nggak suka banget kalau gue naksir sama Abi?!"

"Karena lo makin nyusahin sejak naksir Abi."

Mendengar jawaban Hujan yang terkesan tajam, mata Bona membulat tidak percaya bahwa Hujan punya hati sekejam itu hingga tega menyebut dirinya menyusahkan. "Apa sih susahnya ngedekitin gue sama Abi?! Lagian lo cuma harus kasih tahu info tentang Abi ke gue, tapi lo-nya aja yang ngotot nggak mau kasih tau."

"Abi udah punya pacar."

"Agama melarang pacaran!"

"Lah lo sendiri ngapain ngedeketin Abi?!" Hujan pusing sendiri berdebat dengan Bona.

"Udah berapa kali sih gue bilang, gue mau jadi Umi dari anak-anaknya Abi."

Hujan memutar bola matanya jengah, baginya ucapan Bona tidak lebih dari omong kosong yang terlontar dari ABG yang sedang mengalami cinta monyet. "Cih, pungguk merindukan bulan," cibir Hujan, kemudian pergi meninggalkan Bona yang tidak terima dengan cibirannya.

Narasi Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang