Maafkan Aku, Bu!

245 8 0
                                    

Bocah kecil kurus berkulit hitam legam berusia tujuh tahun itu, duduk terdiam di emperan sebuah mini market. Baju yang dikenakannya mungkin saat dia berusia lima tahunan.  Terlihat begitu memaksakan walaupun tubuhnya tidak terbalut lemak daging. Mengenakan celana tiga perempat berwarna hitam pudar, mungkin itu dulu celana panjang. Tinggi badannya tidak serta merta diiringi dengan berat badan.

Wajah bocah kecil dengan berwajah tirus itu terlihat sedih.  Air matanya tersamar oleh basah air hujan. Sebuah kantong plastik transparan berisi beberapa lembar uang ribuan dan koin dipegang dengan erat. Giginya bergemeretak menggigigil kedinginan.

*

“Bu, Fadil ngojek payung dulu yah?” ucap Fadil sambil menyuapkan satu suap nasi terakhir ke dalam mulut ibunya. 

Ibunya menatap Fadil dengan lemah. Sudah satu minggu ini ibunya sakit. Sepulang mencuci dari perumahan komplek sebelah, tiba-tiba saja tubuh ibunya lemas. Diagnosa Pak Mantri puskesmas di kampung di mana Fadil tinggal, kadar kalium ibunya di bawah <3.5 mEq/L. 

Ibu Fadil berusia empat puluh tahun. Tapi, karena beban hidup yang dijalaninya, membuat wajah ibu Fadil terlihat lebih tua dari usianya.  Kehidupan Fadil berubah drastis ketika ayahnya meningggal karena kecelakaan. Sehingga Ibu Fadil yang semula hanya melayani mencuci pakaian didua rumah, sekarang harus memegang empat rumah sekaligus dalam satu hari. Ibu Fadil harus menghidupi dirinya dan kakak nomor dua. Sedangkan kakak nomor dua Fadil mempunyai kekurangan, yaitu bertingkah seperti anak kecil berusia lima tahunan. Padahal usianya akan menginjak angka dua belas dibulan depan. Karena keadaan inilah, akhirnya Fadil memutuskan untuk membantu ibunya mencari tambahan nafkah. 

“Lebih baik kau di rumah saja, Nak! Tidakkah kau lelah sepulang sekolah tadi berjualan Koran?” Pinta ibunya pada Fadil agar mengurungkan  niat pergi mengojek payung.

“Kan Fadil tidak setiap hari ngojek payung, bu. Hujannya juga nggak sering,” ucap Fadil.

Fadil pun mencium tangan ibunya. Dengan berat hati Ibu Fadil hanya melihat kepergiannya dengan membawa payung yang disewa oleh Fadil.

*

“Fadil menyesal tidak mendengar kata-kata ibu. Harusnya Fadil tidak pergi tanpa ijin dari ibu,” Fadil berkata pelan sambil menggigil kedinginan. Jemarinya saling bertaut di bawah dagu dengan bibir gemetar. Ditengadahkan kepalanya ke langit.  Awan gelap masih bergulung memuntahkan air dengan derasnya. Belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti. 

Bulir-bulir air mata yang turun dari sudut mata Fadil, sama derasnya dengan air hujan. 

“Maafkan Fadil, bu. Fadil tidak dapat membawa uang hasil ngojek payung ini.” Fadil berkata lemah pada dirinya sendiri. Matanya menatap uang dalam kantong plastik yang digenggamnya.

Payung sewaan yang Fadil pakai untuk mengojek payung, secara tidak sengaja terbawa oleh seorang gadis. Gadis yang belum sempat memberikan upah dan menyerahkan payungnya pada Fadil. Gadis itu baru keluar dari mini market di mana Fadil duduk sekarang. Dia memakai jasa Fadil untuk mencapai halte bus yang tidak jauh dari mini market tersebut. Belum juga sampai di halte bus, sebuah metromini lewat. Dan gadis itu dengan reflek menjulurkan tangannya memberhentikan metromini. Karena bukan halte bus, metromini tersebut tidak dapat berhenti lama. Berhenti sebentar saja, kendaraan di belakang akan terhambat. Alhasil, kaki gadis itu baru naik sebelah, metromini tersebut sudah tancap gas lagi. Fadil hanya menatap tak berdaya, sewaktu melihat gadis itu melambaikan payungnya di pintu metromini dengan ekspresi wajah memohon maaf.

Dengan tubuh terguyur air hujan, Fadil mematung di pinggir jalan. Sesaat dia bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Dan ketika klakson panjang sebuah motor berbunyi karena jalan yang akan dilewatinya terhalang angkot yang berhenti, Fadil tersadar. Dia pun melangkahkan kaki dengan gontai menuju mini market dan terduduk kembali dengan lemas di emperannya.

Hujan memang belum berhenti. Tapi gerimis cukup membuat Fadil memutuskan untuk meninggalkan mini market tersebut. Magrib akan segera menjelang. Dia harus segera pulang dan tiba di rumah. Kasihan ibu dan adiknya menunggu. Lagipula, dia harus membeli makan malam untuk mereka. Fadil pun membeli tiga bungkus nasi. Dan sebagian uangnya lagi akan digunakan untuk membeli payung yang terbawa gadis tadi. 

Fadil mempercepat langkah kakinya agar segera tiba di rumah. Ketika hampir sampai, langkah Fadil terhenti karena melihat sebuah mobil parkir di pinggir jalan depan rumahnya. ‘Siapakah gerangan yang berkenan bertamu ke sebuah rumah kecil di perkampungan ini?’ Guman Fadil dalam hati. Diucapkannya salam kepada ibu dan kakaknya ketika tiba di pintu depan rumah. Dan Fadil pun terkejut ketika siapa yang menjadi tamunya.

“Sini Fadil, masuk! Kok, malah bengong di pintu seperti itu?” ucap ibunya tersenyum.

Dengan ragu Fadil pun masuk ke dalam rumah, mencium tangan ibu dan tamunya.

“Lekas! Kau ganti baju basahmu dulu. Setelah itu kita makan bersama. Kita kedatangan tamu agung yang membawa makan malam,” lanjut ibunya lagi. 

Fadil tidak membantah perintah ibunya walaupun sebenarnya dia ingin bertanya pada gadis itu. Mengapa dia bisa tahu tempat tinggal Fadil dan kenal dengan ibunya? Dibawanya tiga bungkus nasi itu ke dalam. Untung lauk pauk dibungkus terpisah, sehingga bisa dihangatkan sebelum tidur dan bisa dimakan untuk esok hari. Rumah Ibu Fadil hanya terdiri dari dua ruangan yang hanya disekat oleh sebuah bilik bambu sebagai pemisah. Ruangan depan sekaligus tempat mereka tidur. Sebuah dipan yang dialasi kasur tipis yang cukup untuk ibunya sendiri. Sedangkan Fadil dan kakaknya tidur dengan beralaskan tikar di bawah. Sedangkan ruangan yang lain adalah dapur dan toilet.

Tidak lama kemudian Fadil pun bergabung dengan ibu, kakak dan sang gadis yang masih menjadi pertanyaan di dalam  hatinya. Mereka duduk di atas lantai berplester semen beralaskan tikar. 

“Mbak ini adalah anak majikan ibu di mana ibu bekerja mencuci pakaian mereka setiap hari. Namanya Sinta. Mbak Sinta datang ke sini untuk mengantarkan payung itu,” Ibunya menunjuk sebuah payung yang diletakkan berdiri di salah satu sudut rumah.

Sinta menggangguk senyum padaku yang hanya terdiam karena sedang mengunyah nasi berlauk ayam goreng.

Fadil tak mengira keberuntungan yang telah dia dapatkan. Dia bahagia karena uang hasil dari mengojek payung tidak jadi melayang untuk mengganti payung yang disewanya itu.

Apakah ini pertanda kalau dia hanya mendapat peringatan karena tidak menuruti nasihat ibunya untuk tidak mengojek payung? 

Fadil pun mengepal nasi hangat dengan potongan daging ayam dengan semangat. Dia berjanji akan selalu menuruti perintah ibunya. Walapun terhimpit dengan kebutuhan hidup, tetap restu ibu harus didapat bila ingin berkah disetiap usahanya.











































Aneka Cerita AnakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang