Layang-Layang Abbas

97 3 0
                                    

Langkah kakinya pasti dan tak gentar walaupun reruntuhan yang diinjaknya beberapa kali luruh jatuh ke bawah. Sebuah kertas tipis berbentuk segienam beraturan, disandang di bahu sebelah kiri. Helai benang menjuntai dari dalam kantong celana jeans biru berwarna biru pudar. Sorot mata berapi terpancar dari bola mata biru tajam bocah delapan tahunan itu. Terlihat jelas semangat dalam diri ketika kedua tangan meraih sesuatu untuk dijadikan pegangan agar tidak terjatuh.

Reruntuhan bangunan berlantai tiga di mana ia dan keluarganya pernah tinggal, hancur luluh. Hanya gundukan berupa bukit yang menjadi sejarah bahwa di tempat itu ia dilahirkan dan dibesarkan. 

Didongakkan kembali kepalanya setelah yakin bahwa batu-batu yang dipijaknya sudah cukup kuat untuk dilangkahi. 

Puncak bukit buatan yang sedikit landai adalah tujuan ia berada di zona tidak aman ini. Di sana ia dapat bergerak cukup bebas, terlebih angin siang  ini cukup kencang. Dan satu lagi, pergerakan angin akan membawa benda tipis segienam yang dibawanya mengarah ke Masjid Al Aqsa. 

Jauh di belakangnya, terlihat dua orang temannya berusaha melewati reruntuhan puing bangunan. Membungkuk, merangkak, menggenggam apa saja yang ditemui untuk menjaga keseimbangan tubuh. 

“Aku sampai!” Serunya sambil mengangkat kedua tangan terkepal ke atas dengan wajah merah karena sengatan matahari dan peluh membasahi wajah berkulit putih bersih itu.

Melihat Abbas kegirangan senang, Mohammed dan Siraj pun ikut tertawa. Mereka mempercepat langkah kaki agar bisa berdiri di puncak reruntuhan bersama Abbas. 

Layangan yang dihimpit di ketiaknya itu diletakkan di depan sepatu ketsnya. Tidak lupa gulungan benang dikeluarkan dari saku celananya. Abbas bersiap untuk menerbangkan layangan yang berwarna bendera negaranya itu. 

Diulurkan benang secukup mungkin agar ia dapat menerbangkan layangan itu. Abbas memperkirakan awan putih tebal di sebelah selatan dari ia tempat berdiri. Di sanalah masjid Al Aqsa berada.

“Abbas!” seru Mohammed membuat Abbas menoleh ke arah temannya tersebut.

“Jangan kau terbangkan dulu layangan itu. Tunggu sampai keadaan aman dulu,” lanjut Mohammed.

Abbas melihat pesawat tempur melintas terbang melewati kawasan di mana dulu ia dan dua temannya tinggal. Rumah, toko, sekolah, rumah sakit, tempat bermain, kini hanya menyisakan puing yang membentuk bukit-bukit. Mungkin banyak tubuh yang terkubur dan tidak dapat ditemukan karena keterbatasan alat atau mungkin keadaan yang tidak memungkinkan. Seperti Abbas yang harus merelakan ayah dan ibunya yang sedang hamil terkubur di dalam reruntuhan rumah. 

Namun nasib Abbas lebih beruntung dibandingkan Mohammed dan Siraj. Ia adalah anak tunggal, sehingga tidak mempunyai beban. 

Orang tua Siraj meninggalkan seorang adik untuknya. Ketika itu tim evakuasi hanya berhasil menyelamatkan dirinya dan sang adik. Orang tua mereka memeluk ia dan adiknya demi melindungi mereka dari reruntuhan bangunan apartemen. Padahal mereka hampir mencapai pintu keluar ketika reruntuhan bangunan menghentikan langkah mereka. 

Mohammed. Ia tidak lebih beruntung dari Abbas dan Siraj. Ia tinggal bersama ibunya yang selamat dari pemboman. Tapi kondisi tubuh sang ibu tidak sempurna lagi. Mohammed menjadi mata dan kaki sang ibu. 

Abbas tidak mengindahkan peringatan yang diteriakkan Siraj dan Mohammed. Baginya angin yang bertiup saat itu sayang untuk dilewatkan. Ia yakin layangan yang akan diterbangkan tersebut dapat menjangkau apa yang akan dirasakannya nanti. Kebebasan. Ya, melalui layangan itu ia dapat bebas melihat dari kejauhan Masjid Al Aqsa. Masjid impian ketika ayahnya pernah menjanjikan Abbas untuk salat di sana.

“Ayah, kapan kita akan salat Jumat di Al Aqsa?” Abbas menagih janji sang ayah. Ayah Abbas pernah berjanji untuk mengajaknya salat di masjid Al Aqsa. Sebuah janji sebagai kado ulang tahun ketika ia berusia delapan tahun yang baru dilewatinya beberapa minggu yang lalu.

Sayang, sang ibu tidak mengijinkan Abbas untuk pergi bersama sang ayah. Menaiki tangga penjara terbesar di dunia, bukanlah hal yang mudah bagi anak seusia Abbas. Penjagaan di sekitar penjara sangat ketat. Terlebih saat itu tentara Israel sedang menguasai Al Aqsa. Pastilah sangat berbahaya. 

Sebagai pengganti karena tidak dapat salat Jumat di Al Aqsa. Maka ayah Abbas mengajak dirinya bermain layang-layang. 

“Kau dapat merasakan ketika layangan ini terbang tinggi di sekitar Al Aqsa. Memang Al Aqsa jauh. Kita akan terbangkan layangan ini dari atas atap apartemen kita.”

Kemudian ayah membawa Abbas ke atap apartemen. Dia menunjukkan arah di mana Al Aqsa berada. Mengajarkan cara menerbangkan layangan, membaca angin, agar layangan tersebut dapat terbang ke arah dimana Al Aqsa berada. 

Ayah berucap, “Kau dapat merasakan Al Aqsa lewat layangan ini. Saat kau percaya bahwa layangan ini dapat melihat Al Aqsa. Disitulah kau akan merasakan seakan kau berada di sana.” 

Dan itu adalah percakapan terakhir Abbas dengan sang ayah. 

Esoknya pada hari Jumat, ibu menyambut warga yang menggotong tubuh sang ayah di rumah. Warna merah mendominasi baju putih yang dikenakan sang ayah untuk melaksanakan salat. Ayah Abbas tertembak seusai salat Jumat ketika sedang menggelar aksi protes atau demonstrasi menentang berbagai kebijakan Israel yang membatasi warga Palestina atau umat Muslim masuk ke masjid Al-Aqsa.

Dengan lincah Abbas membentangkan layangan, menghadang angin agar kertas segienam tersebut dapat melayang tinggi. 

*

Siraj dan Mohammed membawa tubuh Abbas pulang ke pengungsian. 

Tubuh Abbas jatuh terguling ketika sebuah peluru yang ditembakkan dari atas pesawat menembus tubuhnya. Pihak zionis begitu takut bila layang-layang itu akan membakar perkebunan dan ladang mereka.

*

Dan layang-layang Abbas pun terbang tinggi jauh melintasi awan putih. Menuju Al Aqsa di mana ia sangat menginginkan salat Jumat di sana. 
















Aneka Cerita AnakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang