Sepulang gue dari Bogor hampir nggak ada yang berubah, kecuali mungkin gue di jam malam sama Bapak, dan Deka sekarang memandang gue dengan hormat ("Wah anjir laki juga lo, bayik. Pake nekad kabur-kaburan ke Bogor, rokok lo ganti Dji Sam Soe apa gimana nih?"). Serah lo anjir, Deka.
Dan gue hampir gak merasakan perbedaan ataupun konsekuensi gue ngeblok Olivia.
Bener gue masih main sama anak-anak Cherry Bomb, begitupun Olivia. Doi pun masih main bareng sama anak-anak. Bedanya, gue sama Olivia nggak pernah ada di satu ruangan yang sama. Gue sama Olivia tuh kaya dua orang korengan yang nggak bisa ketemu.
Iya gue tau perumpamaannya payah, tapi itu udah yang paling bagus yang bisa gue bikin.
Dan nggak ada yang nyadar, maybe kecuali Johnny, mungkin dia tau tapi nggak peduli. Emang Johnny tuh masalah beginian cool abis, "masalah lo sama dia ya masalah lo sama dia, ga ada hubungannya sama gue." Kecuali 'dia'nya bernama Kaladasa, dan masalahnya lo mau pacaran sama Kaladasa.
Abang-abang gue juga ngga nanya-nanya, tapi dari awal juga mereka ga pernah komen-komen sih masalah hubungan gue. Kecuali kalau gue minta petuah, baru dah tu bapak Bian dan bapak Jaenal buka suara.
Dan selama beberapa bulan gue selalu bisa bikin alasan untuk menghindari tatap muka dengan Olivia, begitupun dengan Oliv yang selalu ada acara sama bokapnya tiap ada gue di tempat nongkrong. Sampai akhirnya kita berdua bertemu dalam sebuah kebetulan.
Gara-garanya sih Kakak minta ditemenin ke mall, mau cari cat air katanya. "Kenapa ga beli di fotokopian depan komplek sih?"
"Kaga ada Cotman di sana, goblok."
Siapa itu Cotman dan kenapa gue digoblok-goblokin juga gue ga paham. Yang penting gue dijajanin sih.
Begitu nyampe di toko buku kakak udah lari duluan ke bagian alat-alat gambar, ribut sendiri di sana, sementara gue nungguin di deket tumpukan best seller sambil chatting sama Devi. Di tengah gue komplen-komplen manjah sama mba pacar ada yang nepuk pundak gue dan bilang permisi gitu di belakang gue, pas gue nengok.
Olivia.
Gue kaget.
Dia kaget.
Dari kejauhan gue denger kakak ngejerit tertahan. Belakangan gue tahu dia ngejerit karena ada diskonan kuas, bodo amat anjir.
Mata Oliv membulat besar, terus dia buru-buru pergi sebelum otak gue kelar ambil keputusan, antara:
A. Gue jerit banci kaya liat kecoa
B. Gue baca ayat kursi sapa tau Olivia ilang
C. Gue sapa kaya ga ada masalah apapun
Atau ,D. Gue kabur
Gue cuma bisa liat punggung Olivia menjauh, ada perasaan sedikit sedih, tapi kalau mau jujur? Banyakan lega. Karena gue gak mau jadi orang yang memalingkan wajah dan pergi. Gue belum sebrengsek itu.
Gak berapa lama kakak balik dengan sekeranjang penuh belanjaan dan minjem duit gue buat bayar.
"Lah anjing kenapa gue yang keluar duit jadinya?"
"ATM gue ketelen, lusa gue balikin duit lo, hadeh."
Terus kita berantem, dan akhirnya gue lupa pertemuan gue dengan Olivia.
Tapi begitu nyampe rumah, gue rebahan di kasur, gue keinget Olivia lagi. Gue keinget gimana wajah Olivia, selain kaget gue berani sumpah gue bisa liat ada rasa seneng, yang setelah sepermilisekon berubah jadi sedih. Kalau mau jujur sih gue sebenernya juga sedih, gue kehilangan salah satu teman baik gue, tapi ya gimana lagi.
Gue sih yakin, atau percaya? Entahlah, mungkin sedikit berharap, suatu saat gue bisa berteman lagi sama Olivia. Mungkin saat dia udah gak ada lagi rasa sama gue, atau mungkin nanti saat perasaan gue udah gak gampang goyah. Buat sekarang gue cukup diingetin kalau pilihan gue yang manapun yang mau gue ambil, endingnya tetep gue jadi cowok brengsek di salah satu cerita.
--
Malam itu ponsel Olivia menerima satu pesan. Dari Bayu.
"Gue cowok paling brengsek yang gue tahu. Sebenernya gue harus ngomong ini ke elo dari kapan lalu, tapi karena gue brengsek gak gue lakuin. Sorry, Liv, gue ga bisa bales perasaan lo. Gue ga bisa bilang kita masih bisa jadi teman, gak adil buat lo, gak adil buat Devi. Gue minta maaf sebesar-besarnya. Wish you all the best. -Bayu."
Berkali-kali Olivia mengulangi pesan itu dan Olivia masih tidak paham mengapa jantungnya berdegup jauh lebih cepat dari sebelumnya.
'Ada gitu orang yang ditolak tapi makin jatuh hati?' Batinnya aneh.
Mungkin Olivia masochist. Entahlah, tapi instingnya untuk mengejar kepastian dari keputusan Bayu terhenti pada centang satu kelabu. Kontak Olivia diblokir. Harusnya ada hati yang retak, memang sedikit perih, tapi apa yang terpikir dalam benak Olivia alih-alih sumpah serapah, tapi malah,
"What a gentleman." bisik Olivia pada dirinya sendiri, "Dan itu yang gue suka dari lo, Bay."
Berbulan-bulan Olivia memainkan peran dalam permainan kucing-kucingan, hanya untuk menjaga perasaan Bayu. Kalau mau menuruti hatinya sendiri Olivia ingin selalu berada di dekat Bayu, tapi Bayu punya komitmen yang harus dihormati.
Kesempatan bagi Olivia datang beberapa hari memasuki bulan Juni. Olivia bukan tipe orang yang bakal masuk ke toko buku, meski harus dipaksa sekalipun. Tapi hari ini perkecualian. Figur yang berdiri membelakanginya di dekat tumpukan pintu masuk utama terlihat begitu familiar, meskipun rambut sosok itu lebih cepak dari yang Olivia ingat. Jantung gadis itu berderap cepat. Tanpa pikir panjang Olivia menepuk bahu laki-laki itu, berucap permisi, seperi seorang asing yang tidak punya motif lain.
Bayu menoleh, dan nafas Olivia terhenti.
Ada kekagetan di mata Bayu, dan baru Olivia menyadari posisinya sebagai tamu yang tidak pernah diharap kedatangannya. Ada rasa malu menyergap Olivia tiba-tiba, sebelum Bayu membuka mulut, sekedar untuk bertanya mengapa, Olivia pergi. Dalam hatinya sebuah janji untuk menunggu ia simpan untuk Bayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayu
FanfictionEHEM. Halo, nama gue Bayu... Eh anjir, nyetrum kalo kedeketan. Bisa ulang lagi ga, Mba?