Gue cuma khawatir!

13 1 0
                                    

       Sudah sekitar tiga minggu Natra menghilang. Demi banyaknya benda-benda berwarna biru milik Kila dan demi apapun Kila benar-benar menjadi pribadi yang berbeda. Kila bingung. Apakah dia secinta itu dengan Natra?. Kenapa dia terus memikirkan Natra disaat selama tiga minggu itu Varo begitu perhatian padanya. Menyedihkan. Via yang melihat sahabatnya sedih pun duduk sebangku dengan Kila. Mimi mengiyakan karena juga tahu Kila butuh teman.

       Kila sedang menyantap sotonya, sebulan Natra menghilang Kila sudah mulai terbiasa. Mimi menambah perasan jeruk kedalam sotonya setelah memisahkan daun-daun berwarana hijau dari mangkok cap jagonya. Via melirik kesana kemari membuat dua sahabatnya ini bingung.

"Kamu ngapain Via celingukan kaya mau maling" Mimi memasukkan suapan pertama kedalam mulutnya. Mengecapnya beberapa kali. Pas.

"Kok gue galiat Varo Cs ya" Via beralih ke mangkok sotonya.

"Dih yang lagi renggang sama pacar malah nyariin cowok lain" Kila tersenyum sambil menggoda Via.

"Heleh enggak, masalahnya gue denger katanya Varo lagi sakit"

"Sakit? Sakit apa?. Mimi terlihat penasaran, sedangkan Kila masih masa bodoh.

"Kecelakaan".

Kila meletakkan sendoknya, melihat Via penasaran, maniknya melotot meminta penjelasan.

"Kalem cuyy, gue aja gajelas soalnya baru kemarin gue dikasih tau sama si Yoga" Via masih memakan sotonya. Membuat kedua temannya menyerngit.

"Jadi kan rumah gue sama Yoga deket kan, sekompleks. Gue liat kemaren sore Yoga kaya pincang. Lah gue tanya ke Yoga kenapa. Dia jawab kecelakaan sama si Varo" Via berubah serius.

"Lah tapi tadi Mimi liat si Yoga sama Firman bareng kok, berangkat mereka"

"Laiya makanya gue bingung kenapa tuh si cowok badung berangkat. Eh si Varo malah nggak. Jangan-jangan parah"

"Yaudah nanti gimana kalau kita jenguk?" Mimi memberi saran.

"Yaudah nanti gue coba tanya si Yoga mau nemenin nggak, gimana La, lo mau ikut?" Via menatap Kila penuh harap.

"Gue si bebas. Ikut nggak apa-apa" Kila masih memakan sotonya.

"Kali aja langsung sembuh lo dateng" Kila menjitak kepala Via membuat Via mendengus sebal.

       Setelah menghabiskan sotonya mereka bertiga kembali ke kelas. Ada perasaan khawatir terhadap Varo yang tiga minggu ini menjadi orang paling perhatian terhadap dirinya. Tapi entah, perasaan kangen terhadap cowok yang mampu menggetarkan hatinya hanya lewat mata itu mengurungkan niatnya untuk lebih dekat dengan Varo.

       Rumah dua lantai yang didominasi warna putih itu kelihatan begitu segar. Tanaman hias dan kolam ikan didepan rumah menambah suasana asri. Kila, Via, Mimi, Yoga dan Firman melangkah masuk menuju rumah tersebut setelah dipersilahkan masuk oleh Anna, Mama Alvaro.

"Lu udah baikan bro?" Yoga duduk disofa kamar Varo yang terlihat rapi. Banyak poster bertema motor, khas anak cowok.

"Baik kok, lagian lu kemaren udah liat gue kan. Ehmm Kila maap ngerepotin" Varo terduduk di ranjangnya lesu. Tangannya digips, kakinya bahkan di perban.

"Enggak kok, ini temen-temen yang bawa. Bukan gue" Kila masih mengupas jeruk dan memberikannya pada Varo.

"Manis" Ucap Varo tetap memandang wajah Kila yang sudah memerah.

"Halah malah mesra-mesraan. Eh bro kaki lu patah lagi. Bekas yang dulu aja belum sembuh lu tambahin lagi" Firman ikut mengambil jeruk.

"Iya gue inget. Lu kan pernah jatuh dari motor sampe mau ma-" Omongan Yoga terpotong setelah melihat Varo melotot ke arahnya.

"Lo pernah jatoh ya?" Kila nampak penasaran.

"Iya, tapi gamasalah" Varo melahap jeruknya dengan tetap memandang sinis kepada kedua sahabat laki-lakinya.

     Jam ditangan kiri Kila sudah menunjukkan pukul 17.03. Sudah setengah jam sejak dirinya pamit pulang karena takut sang Mama khawatir. Kila melihat sekeliling. Menengok kekanan dan kekiri berharap ada taksi yang lewat. Namun nihil, harusnya Kila tidak menolak saat Yoga memaksa untuk mengantar pulang karena Varo menyuruhnya. Kila hanya tidak enak sebab Via sudah menyanggupi akan makan bersama dirumah Varo. Tidak mungkin gara-gara Kila, Yoga jadi tidak ikut makan bersama.

       Kila masih memandang sekeliling hingga matanya membelalak melihat seseorang yang selama kurun waktu sebulan ini dicarinya. Matanya menatap seorang cowok yang berada diseberang tempatnya berdiri. Menatapnya dengan senyum tipis. Cowok yang masih tetap terlihat tampan dengan kulit putih pucat dan rambut hitamnya. Perlahan cowok tersebut berjalan menyeberang dan melirik kekanan dan kekiri. Takut ada mobil atau motor yang lewat. Kila masih mematung. Tubuhnya bangkit perlahan dari posisi duduk. Di halte tempat Kila menunggu taksi memang hanya ada satu wanita yang sepertinya sedang menunggu bis.

"Gak kangen?" Cowok berirish coklat itu menunjukkan senyum terbaiknya setelah berdiri dekat dengan Kila.

Kila yang mendengar Natra berbicara pun mulai sadar. Ini bukan mimpi. Diraihnya tubuh dingin Natra kedalam pelukannya hingga menghangat. Dirinya tidak peduli menjadi tontonan wanita yang kini geleng-geleng sambil berlalu. Bisnya sudah datang.

"Udah. Lo gak malu dilihat orang?" Natra melepaskan pelukannya, beberapa detik kemudian Kila kembali menautkan tangannya di tubuh Natra.

"Gue mau nangis sekarang, tapi gak bisa. Diem dulu. Gue lagi berusaha buat nangis" Jawaban kekanakan Kila malah membuat Natra semakin gemas. Didudukkannya tubuh mungil Kila di tempat duduk halte bis.

"Tali sepatu lo lepas." Natra berjongkok dan membetulkan tali sepatu Kila. "Gue gamau bidadari gue jatoh".

Kila tersenyum mendengarnya. Dia hanya terdiam, dipikirannya banyak sekali pertanyaan yang ingin ditanyakan. Tapi dia urungkan karena rasa senangnya mengalahkan rasa penasarannya.

"Lo utang banyak cerita ke gue Nat". Kila masih menatap Natra.

       Disepanjang jalan kompleks rumah Kila. Tangan Natra menggenggamnya erat. Seakan dia tidak mau kehilangan bidadarinya. Kila memang sudah minta ijin telat dengan Mamanya. Dengan alasan masih menjenguk Varo. Selepas shalat maghrib Natra mengajak Kila pulang dengan naik bis. Dan sampailah sekarang dirinya dan Natra berjalan masuk kedalam kompleks.

"Lo kemana aja Nat?" Kila membuka pembicaraan.

"Gak kemana-kemana. Tidur, main" Natra menatap lurus ke depan.

"Kok nggak sekolah?" Kila ikut memandang ke depan. Seolah didepan mereka sedang ada hal menarik yang sayang kalau dilewatkan.

"Males La" Natra tetap datar.

"Gue kangen, Gue cuma khawatir" Natra yang mendengar hal itu lalu menghentikkan langkahnya. Membuat sang pemilik tangan yang sedari tadi digandeng ikut berhenti.

"Kenapa?" Kila bertanya sambil memonyongkan bibir. Natra yang gemas langsung menarik bibir Kila.

"Gak usah monyong monyong" Kila mendengus kesal. Menampik tangan Natra kasar. "Gue gak ngilang La, gue ada terus disamping lo" Natra tersenyum. Kila ikut tersenyum.

"Janji ya jangan ngilang lagi. Gue berasa jomblo kaya Mimi tauk. Galau terus" Kila kembali berjalan. Disusul Natra.

"Iya, siap bu bos" Natra meletakkan tangannya di pelipis. Hormat kepada Kila.

"Iya, kalau lo mau pergi, bilang dari awal. Biar gue bisa siap-siap ngerasain sakit" Kila berkata dengan tanpa beban.

"Gue nggak akan pergi, biar lo nggak khawatir" Natra menatap pucuk rambut gadisnya dan mengacaknya pelan.

"Bukan mukhrim!" Kila membentak Natra membuat keduanya tertawa.

NATRA (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang