BAB I : Penghuni Baru

103 6 0
                                    

Rumah adalah tempat untuk selalu kembali dan berkumpul bersama keluarga. Tapi, masihkah dia menjadi tempat pulang saat penghuninya bahkan saling tak menyapa?

---

Sebuah mobil melaju pelan memasuki pekarangan rumah mewah. Setelah berhenti tepat di depan teras berlantai marmer, seorang perempuan muda keluar dari mobil, disusul oleh perempuan lebih tua yang mengulas senyum pada lelaki paruh baya yang sedang berdiri menunggu di depan pintu kayu yang megah.

"Selamat datang di rumah, Dinda," ucap lelaki yang tampak masih gagah pada usianya yang hampir setengah abad itu.

Dinda membalas dengan senyum segaris. Dia menoleh dan memilih menunggu ibunya yang baru saja menutup pintu mobil. Raut wajahnya tampak tidak bersemangat untuk memulai langkah pada kehidupan baru yang akan dia jalani setelah pernikahan ibunya.

Ya, Ibu dari Dinda—Renata, telah melangsungkan pernikahan dengan Iryawan, seorang pengusaha kaya yang tampak baik dan menerima latar belakang Renata dan Dinda yang biasa-biasa saja.

Dinda mengembuskan napas saat Renata mengenggam erat tangan kanannya. Keduanya berjalan menuju pintu diiringi senyum cerah Iryawan yang mengikuti langkah mereka.

Tatapan takjub tidak bisa disembunyikan Dinda melihat interior ruang tamu yang begitu mewah baginya. Pandangan dia edarkan ke sekeliling, mengabsen setiap sudut rumah yang dihiasi dengan barang yang tampak begitu mahal.

"Kamarmu di lantai atas," bisik Renata mengusap punggung Dinda. Dia undur diri pada Iryawan lalu menarik lembut Dinda untuk mengikuti langkahnya sambil menjelaskan setiap bagian dari tempat tinggal baru mereka.

Dinda mendengarkan tanpa minat. Pikirannya masih berputar pada kemampuannya yang harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang terlalu asing untuknya.

Tepat saat keduanya menginjakkan kaki pada anak tangga teratas lantai dua, pintu ruangan terdekat terbuka. Dinda berdiri kaku, menyadari jika laki-laki yang baru keluar itu adalah Andra, anak laki-laki Iryawan, dan kini berjalan ke arahnya. Dinda masih ingat betul, tatapan tajam nan dingin yang dia dapatkan ketika mencoba melempar senyum untuk Andra saat pernikahan kedua orang tua mereka.

Andra melangkah malas, tanpa melirik pada dua orang yang baru saja bergeser dan memberinya ruang untuk menuruni tangga.

Dinda berdecih pelan ketika punggung Andra tidak tampak lagi.

Renata menepuk pelan punggung anaknya. "Kamarmu tepat di depan kamarnya Andra, ini satu-satunya kamar kosong. Nggak apa-apa, kan?"

Dinda mengangkat bahu. "Aku protes minta pindah pun, tidak akan ada pengaruhnya, kan?"

Renata menghela napas, dia sadar betul, perubahan sikap anaknya juga karena masih belum menerima keputusannya untuk tinggal dan menetap di rumah ini. "Kamar Ibu tepat di sana," tunjuknya pada pintu di sebelah kamar Andra, "Kalau di depannya itu kamar Sarah, kalian sempat ketemu juga, kan, kemarin?"

Dinda mendengkus, "Tentu saja. Dia yang mukanya masam sepanjang pesta, kan?" sinisnya.

Renata berusaha tersenyum. "Suasana hatinya hanya sedang tidak baik. Aslinya ramah, kok, orangnya," ucapnya membenarkan poni anaknya.

"Wow ... Ibu bahkan sudah kenal baik dengan sifat anak-anak Om Iryawan," ucap Dinda dengan menekankan kata Om.

"Kamu istirahat, ya. Nanti Ibu panggil kalau sudah waktunya makan malam." Renata mengelus puncak kepala Dinda yang memasang tampang cemberut, lalu membukakan pintu untuk anak kandungnya itu.

Dinda memilih masuk lalu menutup pintu kamar tanpa menunggu arahan ibunya lagi. Tanganya masih memegang handle pintu, dia sadar, sikapnya sejak meninggalkan rumah lama mereka sudah terbilang keterlaluan kepada perempuan yang telah melahirkannya itu. Dinda mengembuskan napas lalu menempelkan kepala pada pintu. "Maaf, Bu," lirihnya.

***

Dinda menatap malas pantulan diri pada cermin dengan bingkai ukiran kayu di depannya. Seragam sekolahnya yang baru sudah dikenakan. Mulai hari ini, dia kembali harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan juga orang-orang baru. Dan dia benci untuk merasa asing dan memulai semua hal dari awal.

Dinda mengempaskan diri pada kasur empuk yang membuat tidurnya nyenyak tadi malam. Dia meraba kasur yang membuatnya lupa akan suasana canggung nan asing saat makan malam. Dengkusan napas Dinda mengiringi pikirannya yang kembali memutar insiden itu. Andra yang masuk rumah tanpa suara terus berjalan menuju kamar, mengabaikan panggilan ramah ayahnya yang mengajak bergabung untuk makan bersama dan sukses mencipta canggung untuk Dinda, Renata dan Iryawan setelahnya. Sedang Sarah, bahkan tak perlu repot menampakkan diri semenjak Dinda menginjakkan kaki di rumah ini.

"Dinda, ayo turun, Nak, kita sarapan." Suara lembut Renata terdengar setelah mengetuk pintu kamar.

Dinda menarik napas, memberi semangat pada dirinya lalu beranjak keluar kamar. Dadanya bergemuruh saat menangkap tiga sosok yang sudah menunggunya di meja makan. Untuk pertama kalinya, dia akan berhadapan dengan kedua saudara tirinya. Dengan langkah pelan, Dinda mendekati meja makan dan duduk tepat di samping ibunya. Pandangannya terus saja dia fokuskan pada makanan yang terhidang.

Sarapan berlangsung dalam hening. Dinda lebih sering mengaduk nasi gorengnya dibanding memasukkan suapan ke mulut. Sesekali dia melirik pada Sarah dan Andra yang tampak sudah biasa dengan senyap saat menikmati sarapan. Dinda mengembuskan napas pelan, dia merindukan saat-saat bermanja pada ibunya di waktu pagi.

"Bagaimana tidurmu semalam, Dinda? Nyenyak?" Iryawan bersuara memecah hening.

Dinda mengulas senyum segaris lalu mengangguk.

"Semoga betah, ya," ucap Iryawan lalu membersihkan mulutnya. "Sekolahmu sama dengan Andra, jadi, berangkatnya harus bersama. Kalau bisa, kalian juga pulang bersama, ya," lanjutnya lalu bangkit meninggalkan meja makan.

Renata menyusul Iryawan sambil menenteng tas kerja suaminya. Dia tersenyum pada Dinda, seolah berucap semuanya akan baik-baik saja.

Dinda meneguk dan menandaskan air putih di depannya. Dia bahkan malas untuk sekadar melirik pada dua orang yang tertinggal bersamanya.

"Aku, bersikap seperti ini bukan karena aku tidak suka padamu, hanya saja aku tidak terbiasa dengan orang baru." Suara Sarah memecah kesunyian diantara mereka. "Dan juga, aku tak akan memperlakukanmu dengan buruk hanya karena kau muncul secara tiba-tiba dan berstatus sebagai anggota keluarga baru," lanjutnya dengan tetap fokus pada roti bakarnya. Dan setelah sarapannya selesai, Sarah berdiri lalu menatap Dinda. "Selamat datang di rumah," ucapnya dengan senyum tipis dan berjalan meninggalkan meja makan.

Dinda menanggapi dengan senyum miring.

"Jangan banyak tingkah kalau di sekolah nanti." Andra bersuara lalu berdiri sambil mencangklong ranselnya.

"Ya?" Dinda mengerjap, tidak menyangka jika Andra akan membuka suara.

Andra melemparkan tatapan jengah untuk Dinda. "Dan gue nggak suka ngulang kalimat yang baru gue ucapin," ucapnya lalu balik kanan meninggalkan Dinda.

Dinda memandang kesal punggung Andra yang menjauh. Dia mengambil tasnya lalu turut melangkah menuju luar rumah. Percakapan menarik untuk interaksi awal mereka sebagai keluarga, pikirnya. Harinya sudah dimulai dengan berat di sini, entah berapa lama dia akan bertahan.

***

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang