Seburuk apapun komunikasi antara saudara, tetap ada alasan yang membuat hati mereka saling tertaut.
---
Dinda menghela napas menatap Andra yang terisak dalam pelukan ibunya. Meski ada cemburu, tapi haru lebih mendominasi perasaannya. Dia memilih berjalan kembali menuju dapur untuk mengembalikan minuman yang hendak dia nikmati bersama dengan ibunya di taman belakang.
"Jangan ke taman belakang dulu." Dinda meletakkan bawaannya ke atas meja lalu duduk di depan Sarah yang baru saja menandaskan minumannya.
"Entah kapan terakhir kali aku melihat Andra menangis," ucap Sarah dengan tatapan fokus pada gelas kosong di depannya.
"Kamu juga lihat?" Dinda menuang jus untuk dirinya. "Sebenarnya nggak suka kalau ada orang lain yang peluk Ibu. Tapi, melihat Andra yang menangis, rasanya kasihan juga."
"Lusa," Sarah menarik napas panjang, "Tujuh belas tahun kepergian mama," lanjutnya sendu.
Kening Dinda mengkerut, berpikir. "Artinya ulang tahun Andra juga, kan?"
Sarah menggerakkan tubuhnya menempel pada sandaran kursi. "Aku selalu ingat sama tanggal itu, tapi hal pertama yang kupikirkan adalah kematian mama, bukan ulang tahun Andra," ucapnya mendongak menatap langit-langit dapur dengan helaan napas. "Kadang kasihan juga sama Andra," lirihnya.
"Kamu menyayangi adikmu, kan?"
Sarah terkekeh lalu melihat Dinda. "Entahlah," jawabnya lalu bangkit, "Besok, papa nggak bakal ada di rumah dengan alasan dinas keluar kota," ucapnya lalu melangkah menuju tangga.
Dinda menatap punggung Sarah bingung. Sepertinya dia juga butuh waktu khusus untuk mengenal lebih jauh saudara tertuanya itu.
***
Sarapan pagi berlangsung dalam hening. Seperti ucapan Sarah, Iryawan yang biasanya hadir dan menjadi pembuka topik tidak ada diantara mereka. Hanya suara Renata yang sesekali terdengar, sekadar menanyakan hal yang dibutuh tiga orang lainnya yang memilih fokus menikmati sarapan dalam diam.
"Bu, Pak Ikin belum siap?" Dinda bertanya setelah menuntaskan sarapan dan tidak mendapati mobil yang biasanya terlihat dari jendela besar yang tidak jauh dari tempatnya duduk.
"Astaga, Ibu lupa. Semalam Pak Ikin izin, mertuanya harus dibawa ke rumah sakit."
"Pesan taksi aja. Kita nggak searah dan aku harus bimbingan pagi ini juga." Sarah memberi saran.
"Saya bisa berangkat sendiri."
"Yakin?" Kompak Renata dan Sarah, mengingat Dinda yang lemah dalam mengingat arah.
"Iya. Sebelumnya Pak Ikin sudah menjelaskan rute kalau naik angkutan umum." Dinda menjawab yakin.
"Ayo pergi," Andra yang sejak awal hanya diam menyaksikan percakapan tiga wanita di depannya berdiri lalu menatap pada Dinda. "Bagaimanapun tujuan kita sama, kan?" lanjutnya lalu berjalan meninggalkan meja makan.
"Hah?" Dinda mengerjap menatap punggung Andra yang sudah menjauh.
Renata dan Sarah saling tatap, sama terkejutnya dengan Dinda.
"Ayo, ikuti Andra. Hati-hati di jalan, ya, Nak." Renata mengelus puncak kepala Dinda.
Dinda bergegas melangkah keluar rumah.
"Terbentur di mana kepala anak itu?" komentar Sarah sambil menopang dagu menatap Renata.
Renata mengangkat bahu. "Apa karena kemarin kotak makanan yang dilempar Dinda mengenai kepala Andra?" ucapnya dengan senyum tertahan.
Sarah melongo. "Hah? Serius?" ucapnya lalu terkekeh.
***
Andra menatap ponselnya untuk memastikan berapa lama dia sudah menunggu Dinda di pos satpam. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu. Dia kembali mencoba menghubungi Dinda, sayang hanya suara operator yang menyatakan nomor yang dia tuju sedang tidak aktif yang terdengar.
"Sepuluh menit lagi," ucapnya lalu duduk kembali dengan melipat tangan di depan dada.
"Hei, Tuan Muda Andra menunggu jemputan?" Randy yang baru selesai latihan basket menghampiri Andra.
Andra hanya menaikkan sebelah alisnya.
"Sopirmu minta dipecat rupanya," canda Randy.
"Pak Ikin nggak masuk hari ini." Andra menjawab lalu kembali menengok ke gedung sekolah.
"Jadi ... adik barumu?" Randy menahan tawa.
Andra mendelik, merasa kesal karena Randy yang terus menggodanya.
"Sial." Ekspresi Randy berubah serius, "Apa ada hubungannya dengan kejadian kemarin?"
Andra membulatkan mata menatap Randy. Tidak perlu dijelaskan lagi, dia paham betul maksud sahabat karibnya itu. Andra berdiri lalu berjalan cepat menuju gedung sekolah. Raut cemas tercetak jelas pada wajahnya.
Randy mengekor. Dia turut berjalan sambil melihat ke arah kanan dan kiri.
Andra berjalan lurus dengan napas memburu. Sungguh, awalnya dia merasa senang mengetahui ada kelompok siswi yang menyatakan diri sebagai penggemar dan memberi semangat setiap hal yang dia lakukan.
Tapi, sejak insiden perundungan pada seorang siswi yang tidak sengaja membuatnya jatuh, Andra mulai muak dan tidak suka pada barisan pengagumnya itu. Andra terus saja mengintip setiap ruangan yang dia lewati, berharap segera menemukan Dinda dan menyelamatkannya sebelum terlambat.
Randy menepuk pundak Andra dengan mata membola. "Gudang belakang, Ndra. Terakhir kejadian di sana kalo nggak salah. Ayo, cek ke sana."
Andra segera berlari. Ya, gudang belakang adalah tempat yang sering menjadi pilihan para perundung bar-bar itu untuk menjalankan aksinya. Dia terus mengumpat dan bersumpah tidak akan memaafkan para pelaku yang melukai adik tirinya.
'Braakk!'
Daun pintu gudang langsung terlepas menerima tendangan Andra. Matanya menyala marah melihat Dinda duduk terpojok yang sudah dikepung beberapa siswi. Andra berjalan mendekat dan berdiri di depan Dinda.
"Apa yang kalian lakukan padanya?!" teriaknya marah.
"Dia berani melukai Kakak, kami harus memberinya pelajaran," ucap siswi yang berdiri paling depan.
"Dengar, gue nggak selemah itu, dan juga gue nggak pernah meminta perlindungan kalian," ucap Andra yang mampu membuat lawan bicaranya membisu. "Segera tinggalkan tempat ini, gue akan anggap ini nggak pernah terjadi. Tapi, ingat kalau kejadian seperti ini terulang, nama kalian akan dicoret dari daftar pelajar di sekolah ini," titahnya sambil menunjuk siswi yang mematung di depannya.
Gerombolan siswi itu memilih mundur dan meninggalkan tempat. Randy yang berdiri di pintu gudang kembali mengingatkan mereka.
"Lo nggak apa-apa?" Andra berbalik pada Dinda, membantu saudarinya itu untuk berdiri dan mengamati baik-baik keadaannya.
Dinda tersenyum tanpa menjawab, membuat Andra mengerutkan kening.
"Lo baik-baik aja, kan?"
"Seperti katamu tadi, anggap ini tidak pernah terjadi," ucap Dinda lalu berjalan ke luar gudang. "Ayo pulang."
Andra menghela napas menatap kedua tangan Dinda yang mengepal dan gemetar. "Sial," lirihnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Home
Ficción General[TAMAT] Tentang rumah yang (harusnya) menjadi tempat nyaman untuk pulang