Selalu ada sisi lain yang tersembunyi dari tampilan luar yang tertangkap mata.
---
Hari beranjak sore. Andra dan Dinda kini memilih duduk pada sebuah bangku di luar area pemakaman, keduanya mengembuskan napas bersamaan. Andra tersenyum kecil menyadari kekompakan mereka itu.
"Terima kasih untuk hari ini." Andra membuka suara.
Dinda hanya tersenyum kecil, masih larut dalam perasaan haru setelah percakapan di depan makam ibu Andra.
"Pulang saja duluan, gue masih mau di sini."
"Kita pulang bersama saja," ucap Dinda cepat.
Andra terkekeh melihat reaksi Dinda. "Bilang aja lo takut pulang sendiri," balasnya lalu bersandar pada bangku taman. Dia mengedarkan pandangan pada area sekitar tempat mereka berdua duduk, sepi. Tatapan Andra akhirnya terhenti pada Dinda yang duduk di sampingnya sambil menunduk.
"Sebenarnya Sarah perhatian sama kamu." Dinda berucap lalu beralih menatap Andra.
Andra segera mengalihkan pandangannya. "Begitukah?"
Dinda mengangguk. "Dan juga, sebenarnya Sarah yang meminta saya untuk menemani kamu hari ini."
Andra menarik napas sambil melipat tangan di depan dada. "Jadi, lo ngelakuin semua ini hanya karena diminta Sarah?" tanyanya menatap tepat pada mata Dinda, sedikit mengintimidasi.
"Tidak juga." Dinda menjawab dengan tenang.
"Lalu?"
"Ini hari spesial untuk kamu."
"Lo kasihan sama gue?"
"Kenapa berpikir begitu?"
"Jawab aja!"
"Untuk apa kasihan pada orang arogan dan selalu bertingkah sesuka hati seperti kamu?" Dinda menaikkan nada suaranya.
Andra terdiam, menatap Dinda lekat dan akhirnya tertawa. "Terima kasih," ucapnya.
"Jadi?" Dinda bertanya pelan.
"Jadi apa?" Andra balik bertanya dengan satu alis terangkat.
Dinda mendengkus, jengkel. "Jadi apa yang akan kamu lakukan untuk Sarah?"
Andra mengerutkan kening, "Gue harus ngapain?"
"Setidaknya ajak Sarah bicara, kalian harus baikan."
"Baikan? Kami nggak pernah bertengkar."
"Dan juga tidak pernah saling bicara," seloroh Dinda cepat, "Kalian itu sebenarnya saling perhatian dan menyayangi, hanya saja gengsi untuk mengakuinya."
"Sok tau," ucap Andra lalu berdiri, "Ayo pulang."
Dinda memanyunkan bibir melihat reaksi Andra, merasa usahanya ditolak mentah-mentah. Dia bangkit lalu mengikuti langkah Andra.
Mereka berdua melangkah dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Andra terus melangkah, sesekali dia mencuri pandang ke belakang, memastikan Dinda masih ada dalam jangkauannya. Dia tersenyum kecil, menyadari Dinda kini mulai nyaman berbicara dengannya.
Suara ponsel yang berdering mengalihkan perhatian Andra. Satu pesan dari Renata yang menanyakan posisi dirinya. Andra membalas pesan sekaligus mengabarkan jika Dinda juga bersamanya. Dia tahu, ibu tirinya itu kesulitan menghubungi anak kandungnya, mengingat ponsel Dinda yang mungkin saja tertinggal di gudang sekolah saat insiden kemarin.
Andra menghela napas, menahan langkah untuk memperpendek jarak dengan Dinda.
Dinda terus berjalan dengan langkah kecil sambil menunduk.
"Bagaimana rasanya punya ibu?" tanya Andra saat menyadari jika Dinda sudah berada tepat di belakangnya.
"Hah?" Dinda mengangkat kepala, mendapati punggung Andra tepat di depannya, "Tentu saja menyenangkan," jawabnya. Tapi, dia segera memukul mulutnya sendiri saat melihat Andra tiba-tiba berhenti.
"Benarkah?" Andra kembali melangkah tanpa menoleh.
"Sekarang kamu juga sudah punya ibu," ucap Dinda hati-hati.
"Tapi bukan ibu yang melahirkanku."
Dinda memilih diam, kembali menunduk dan melanjutkan langkahnya.
"Bagaimana reaksimu saat tahu kalau ibumu mau menikah lagi?" Andra bertanya lagi.
"Tentu saja setuju. Jika tidak, ya, kita tidak akan bertemu, kan?"
Andra berbalik, melihat Dinda sambil berkacak pinggang, "Hanya itu? Maksud gue, lo nggak melawan atau apa?"
Dinda ikut berhenti, menatap Andra dengan kening berkerut. "Kenapa harus melawan? Asalkan ibu bahagia, maka saya juga akan bahagia."
"Cih, naif sekali." Andra mencibir.
"Kamu sendiri, bagaimana reaksimu saat ayahmu ingin menikah lagi?"
Andra hanya mengangkat bahu tanpa menjawab.
"Kenapa tidak menjawab?"
"Maksud gue, ya, jawaban gue kayak gini," jawab Andra sambil mengangkat bahunya lagi, "Gue protes pun nggak ada gunanya."
"Jadi, kamu tidak suka ayahmu menikah lagi?"
"Tidak juga."
"Kamu tidak suka ibuku?"
"Tidak juga."
"Jadi?"
Andra menatap Dinda jengkel, "Gue capek, ayo naik taksi," ucapnya lalu menyetop taksi dan naik lebih dulu.
Dinda hanya mampu berdecak jengkel melihat kelakuan Andra. Dia ikut melangkah masuk ke taksi, memilih duduk di samping sopir, enggan duduk di dekat saudara dirinya.
***
Renata menyambut kedua anaknya yang baru saja masuk ke rumah. Dia berjalan mendekati Dinda yang mengulas senyum untuknya. "Sudah makan?" tanyanya ramah.
Dinda mengangguk sedang Andra terus berjalan menuju kamarnya.
Pandangan Renata mengikuti langkah Andra yang mulai menapaki tangga. "Andra juga ada kelas tambahan?"
"Ya?" Dinda sedikit bingung, lalu mengingat ketika Andra mengatakan jika ibunya baru saja mengirim pesan saat mereka dalam perjalanan pulang. "Mungkin," jawab Dinda hampir seperti bergumam sambil menggaruk pipinya.
"Besok ada kelas tambahan lagi?" Renata masih mencoba menggali informasi.
"Entahlah, Bu," jawab Dinda masih dengan suara bergumam.
"Ya, sudah, ganti baju sana. Kenapa kamu bau keringat begini?" Renata mencubit gemas pundak anaknya.
Dinda tersenyum—lebih tepatnya meringis, lalu meneruskan langkah menuju kamarnya sambil berusaha menciumi bau badannya sendiri.
"Hei." Sarah menghampiri Dinda yang terlalu fokus memeriksa bau tubuhnya, "Terima kasih," ucapnya dengan senyum lalu menepuk pelan bahu Dinda.
Dinda mengerjapkan mata lalu mengulas senyum. Hari ini, dia mendapatkan sisi lain dari dua saudara tirinya. "Sama-sama," balasnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Home
Fiction générale[TAMAT] Tentang rumah yang (harusnya) menjadi tempat nyaman untuk pulang