Komunikasi adalah kunci untuk mengurai benang kusut yang membelit suatu perkara.
---
"Sepertinya kamu suka tempat ini." Iryawan melangkah mendekati Dinda yang duduk sambil memeluk lutut pada kursi panjang taman belakang rumah.
Dinda menoleh dan tersenyum. "Anda baru datang?" tanyanya lalu menurunkan kakinya dari kursi.
Iryawan mengangguk. "Terima kasih untuk semua yang kamu lakukan hari ini," ucapnya lalu duduk di samping Dinda.
"Ya? Maksudnya?" Dinda mengernyit bingung.
"Andra yang sedang duduk di samping makam mamanya, Sarah yang melihatnya dari balik pohon dan saya yang memantau mereka dari dalam mobil, itulah yang kami lakukan setiap hari ulang tahun Andra beberapa tahun belakang ini." Iryawan berbicara dengan tatapan lurus ke arah kolam, "Tapi, hari ini, yang saya lihat adalah Andra dan Dinda yang duduk bersama terlihat saling menguatkan, Sarah yang duduk tergugu di dekat pohon dan saya yang merasakan haru tak terhingga di dalam mobil."
Dinda menatap Iryawan yang sedang tersenyum dengan mata berkaca.
"Terima kasih telah menyatukan hati kami."
"Begitukah?" Dinda mengalihkan pandangan ke depan.
Iryawan bergerak mendekat lalu mengelus pundak Dinda. "Ibumu meminta saya untuk menjelaskan alasan membawa kalian dalam keluarga ini."
Dinda tak bereaksi, memilih diam dan menunggu kisah yang sangat ditunggunya.
"Hari ini, tepat lima tahun sejak pertemuan pertama kita, ah, tepatnya saya yang melihat kamu bercerita di samping ayahmu yang terbaring sakit." Iryawan menghentikan elusan pada pundak Dinda dan beralih menggenggam tangannya sendiri. "Saat itu, saya merasa iri dengan sosok ayah yang terbaring itu, dia begitu beruntung memiliki anak perempuan penuh semangat yang setia menemani di sampingnya. Berbagi cerita dan setiap hal yang dia alami sepanjang hari.
"Untuk beberapa waktu, saya ikut larut dalam cerita kamu. Tentang semangat belajarmu yang bertambah, kamu yang semakin rajin hingga menjadi satu-satunya siswa yang mendapat nilai seratus dalam ulangan bahasa," kisah Iryawan dengan senyum kecil diakhir ceritanya.
"Anda mengingat semua itu?" Dinda bertanya setengah takjub dengan ingatan lawan bicaranya.
Iryawan tersenyum. "Tentu, tingkah kamu waktu itu sangat membekas dipikiran saya. Ada rasa hangat yang saya rasakan saat melihat semua yang kamu lakukan hari itu."
"Lalu, bagaimana anda bertemu ibu saya?"
Iryawan menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan kemudian memberi jawaban. "Dia mendapati saya yang sedang mengintip di depan ruang perawatan ayah kamu. Dan percakapan kami mengalir begitu saja."
"Dan anda mulai menyukainya?" Dinda bertanya hati-hati.
Iryawan terkekeh, "Tidak secepat itu. Kami hanya berbincang sebentar dan tidak pernah bertemu lagi setelahnya."
Dinda mengerutkan kening, "Jadi, bagaimana bisa..."
"Beberapa tahun setelah pertemuan itu, saya mendapati Ibu kamu di sebuah bank, melihat dari berkas yang dibawanya, saya yakin dia akan mengajukan pinjaman. Mengingat pengalaman saya yang pernah terlilit hutang saat masa awal membuka usaha, saya berinisiatif untuk membantunya. Sungguh, niat saya murni untuk membantu kehidupan kalian.
"Tapi, seiring seringnya kami berkomunikasi, saya mulai kagum dengan kepribadiannya. Melihat tangguhnya dia untuk tetap menjalankan toko buku dan merawat kamu yang mulai beranjak remaja. Sekitar satu tahun, saya memperhatikan kehidupan kalian. Bisa dibilang saya terkesan dengan kehidupan kalian berdua, hingga setelah memikirkan dengan matang, saya mengajak Renata menikah."
"Ibu saya langsung setuju?"
Iryawan menggeleng pelan. "Dengan tegas dia menolak. Bahkan menganggap saya memanfaatkan keadaan kalian dan berniat segera mengembalikan uang pinjaman dari saya. Tapi, setelah saya jelaskan semua yang saya alami, tentang keadaan keluarga dan anak-anak saya, akhirnya dia meminta waktu untuk berpikir lebih dahulu."
Dinda merenung mendengar cerita Iryawan.
"Terima kasih telah memberi izin kami untuk menikah." Iryawan tersenyum tulus menatap pada Dinda.
"Lalu, bagaimana dengan Sarah dan Andra? Maksud saya, bagaimana reaksi mereka?"
Iryawan kembali menarik napas dalam, pandangannya menunduk, "Sarah hanya mengatakan terserah, sedang Andra tidak berkata apa-apa saat saya utarakan niat menikah lagi pada mereka. Saya bahkan merasa asing dengan sikap anak sendiri."
"Anda tidak pernah bertanya kenapa mereka bersikap begitu?"
Helaaan nafas berat Iryawan kembali terdengar. "Sarah merasa cemburu pada Andra. Menurutnya, perhatian saya terlalu fokus pada Andra yang waktu itu masih bayi. Hanya Bi Nah yang membantu saya mengurus keperluan Sarah. Saya mencoba mendekatinya kembali setelah mendengar cerita dari Bi Nah jika Sarah mendatangi kamar Andra dan meluapkan semua perasaannya pada Andra yang waktu itu mungkin saja belum mengerti akan keadaan keluarga kami. Tapi, Sarah memilih menjaga jarak, melanjutkan setiap kegiatan dalam hidupnya sendirian." Iryawan mendongak lalu mengembuskan napas keras mengingat kembali kejadian yang disebutnya sebagai kesalahan.
"Dan Andra?"
"Dia tumbuh menjadi anak yang ceria dan penuh semangat." Iryawan menjeda lalu menghela napas lagi, "Tapi, entah kenapa, tepat dihari ulang tahunnya yang kesepuluh, dia berubah. Masih saya ingat dengan jelas, Andra terisak di dalam kamarnya yang berantakan. Kesimpulan saya saat itu adalah dia baru bisa mencerna setiap kalimat dari Sarah. Sejak hari itu, saya memilih untuk berada di luar saja saat ulang tahun Andra."
"Anda tidak bertanya padanya?"
Iryawan tersenyum lalu mengelus kepala Dinda, "Jangankan bicara, melihat saya saja Andra memilih membuang muka lalu berlalu begitu saja."
"Apa anda membenci Andra?"
Kening Iryawan mengkerut menatap Dinda. "Tidak ada orang tua yang membenci anaknya, Dinda," jawabnya.
"Tapi, kata Andra ...." Dinda menjeda, masih mempertimbangkan untuk melanjutkan kalimatnya. Dia menatap ayah sambungnya yang tampak menunggunya menuntaskan ucapan. "Anda menyesal menuruti keinginan mamanya yang memilih tetap menyelamatkan Andra disaat kritis." Dinda melanjutkan dengan sangat hati-hati.
Gerakan Iryawan yang mengelus kepala Dinda terhenti, keningnya berkerut memikirkan kalimat yang dilontarkan Dinda. Dan matanya seketika tak berkedip saat potongan kejadian dalam pikirannya tiba-tiba terputar kembali.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Home
General Fiction[TAMAT] Tentang rumah yang (harusnya) menjadi tempat nyaman untuk pulang