Mereka adalah anak-anak yang butuh perhatian dan kasih sayang layaknya keluarga yang utuh.
---
Sarah terus tersenyum setelah menutup rapat pintu kamarnya. Tangannya masih menempel pada papan kayu jati yang sudah dipahat indah itu. Damai yang dia rasa dalam pelukan Renata masih menyelimutinya. Dia merasa keputusannya untuk membuka hati pada Renata adalah hal yang tepat. Renata dan Dinda adalah dua orang yang harus dia sambut dan buat nyaman dalam rumah yang jauh dari kesan bahagia ini.
Bentakan Andra membuatnya sadar, untuk merasakan kembali kehangatan sebuah keluarga yang utuh, harus dimulai dengan interaksi yang baik. Sarah menarik napas dalam-dalam, cukup hubungan dengan ayah dan adik kandungnya yang tidak menemukan kata baik. Bersama Renata dan juga Dinda, dia berharap dapat mencipta kembali suasana nyaman dalam lingkup keluarganya.
"Mama ... Sarah rindu," lirihnya lalu berbaring dan terlelap sambil tersenyum.
***
Jam baru menunjukkan pukul 06.10 pagi, tapi Andra sudah duduk manis pada pos satpam sekolah. Mengabaikan tatapan heran dari Pak Satpam yang duduk di sampingnya, dia terus memukul pelan meja di depannya, mengikuti irama musik yang dia dengarkan melalui headset. Hari ini dia memilih melewatkan sarapan demi menghindari bertemu muka dengan semua penghuni rumah, tidak bisa dia bayangkan rasa canggung sedahsyat apa yang akan tercipta jika dia turut menikmati roti bakar atau nasi goreng ciptaan Renata.
"Sial," Andra memegang perutnya yang berbunyi karena memikirkan makanan.
"Nggak sempat sarapan, ya?" Pak satpam menyodorkan minuman kemasan untuk Andra, "Cuma ada ini," ucapnya.
"Nggak usah, Pak," tolak Andra, "Nanti sarapannya di kantin aja. Saya di sini lagi nunggu orang."
Pak Satpam mengangguk lalu kembali duduk dan mengamati penghuni sekolah yang mulai berdatangan, rutinitas paginya.
Andra langsung bangkit saat menangkap sosok Dinda melewati gerbang. Dengan langkah panjang dia bergegas menghampiri dan mencegat Dinda. "Sini hape lo," perintahnya saat berdiri tepat di depan Dinda.
Dinda yang terkejut mendongak menatap Andra dengan kening berkerut. "Untuk apa?"
Andra mendengkus kesal. "Cuma sebentar," ucapnya dengan tangan terulur di depan Dinda.
Meski bingung, Dinda mengeluarkan ponsel dan menyerahkannya pada Andra.
Andra menerima dengan tergesa, mengetikkan sesuatu lalu berhenti sesaat, seolah menunggu hal lain terjadi.
Dinda tersentak saat mendengar dering ponsel di kantong seragam Andra berbunyi.
"Simpan nomer gue. Lain kali kalo ada apa-apa, langsung hubungi gue dulu," ucapnya mengembalikan ponsel Dinda. "Jaga baik-baik barang lo, jangan sampai tercecer lagi. Terus nanti nggak usah nunggui gue pas pulang," lanjutnya lalu melangkah menuju gedung sekolah. Dalam hati dia meyakinkan diri jika semua yang dilakukannya ini demi menebus kesalahannya kemarin. Tidak lebih.
Dinda mengerjap lalu tertawa kecil, merasa terkesan dengan perhatian kecil saudara tirinya.
***
Malam semakin larut, Dinda masih belum bisa tidur. Tubuhnya dia miringkan ke kanan lalu ke kiri, mencari posisi terbaik agar dia mampu terlelap. Dia akhirnya bangun sambil mengerang frustrasi, keinginan untuk mengabaikan Andra yang belum juga pulang harus dia hentikan.
Dinda meraih ponsel lalu mencari kontak Andra yang baru disimpan pagi tadi. Dia menarik napas dalam-dalam lalu mengetik satu kata, menanyakan posisi Andra. Terkirim.
Belum satu menit sejak laporan pesan terkirim, ponsel Dinda berbunyi. Ada panggilan masuk.
"Lo nyasar lagi?"
Raut khawatir dari wajah Dinda kini digantikan ekspresi kesal. "Nggak!" jawabnya ketus.
"Lah? Terus ngapain nanyain posisi gue?"
"Saya cuma khawatir, sudah larut malam dan kamu belum pulang. Ya, sudah, maaf mengganggu." Dinda segera mengakhiri panggilan. Dia membanting ponsel ke atas kasur. "Tuh, kan, ngapain harus khawatir sama Andra," ucapnya bermonolog.
***
Andra menatap ponselnya dengan senyum kecil. Untuk pertama kalinya, dia merasa kehadirannya di rumah terasa penting. Dia menyimpan ponsel lalu turut bergabung dengan teman-temannya yang sedang seru bermain game.
"Siapa?" tanya Randy saat Andra duduk di sampingnya.
"Pacar gue," jawab Andra menaikkan sebelah alisnya.
Randy memutar bola mata malas. "Oh, ya, kemarin ada cewek nanyain lo. Lucu aja, sih, gue pikir seantero sekolah udah hafal sama sosok Andra Mahesa Iryawan, cowok gagah anak pemilik yayasan dan bla bla bla," celotehnya setelah menyerahkan stick game pada temannya yang sudah menunggu giliran sejak tadi.
"Dan jangan lupa barisan penggemar yang rela melakukan apapun demi mendapat perhatian dari seorang Andra Mahesa Iryawan," tambah Andra dengan ekspresi angkuh yang dibuat-buat.
"Cih." Randy membalas dengan tatapan sinis yang menggelikan. "Tapi, gue serius. Bahkan dia nanyain lo pakai ekspresi khawatir atau apalah itu. Gue lupa nanyain namanya, tapi, kayanya anak baru deh."
Andra langsung paham, cewek yang dibahas Randy pastilah Dinda. "Gue, kan, emang punya banyak fans," ucapnya, "Lo mau nginap di sini juga?"
Randy menggeleng. "Nggak lah. Gue nggak mau bikin mami gue tercinta makin khawatir. Bye," ucapnya lalu mengambil ransel kemudian berjalan keluar rumah sambil melambaikan tangan. "Duluan, gaes."
Andra mengangkat tangan dengan helaan napas. Dia merasa iri pada Randy yang masih mampu merasakan perhatian dan kasih sayang dari sosok seorang ibu. Dia melirik pada teman-temannya yang lain, beberapa dari mereka memiliki masalah yang tidak jauh beda dengannya, hingga memutuskan mencari tempat pulang selain rumah.
"Gue tidur duluan, ya." Andra memberitahu temannya lalu berjalan menuju kasur lipat pada sudut ruangan. Meski berbanding jauh dari kamar tidur mewah miliknya, tapi rasanya lebih nyaman tidur diiringi suara riuh teman-teman yang senasib dengannya.
"Selamat tidur, Andra," lirihnya lalu memejamkan mata.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/219447424-288-k52142.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Home
General Fiction[TAMAT] Tentang rumah yang (harusnya) menjadi tempat nyaman untuk pulang