Sedikit demi sedikit, pondasi rumah telah dibangun dengan baik.
---
Ray menatap Dinda tak percaya, untuk kedua kalinya dia menjitak kepala temannya yang terus tersenyum seorang diri itu. "Lo bikin weekend gue nggak tenang, ya," ucapnya jengkel.
"Iya, maaf. Hapeku juga baru kembali kemarin." Dinda memamerkan ponselnya yang sempat hilang.
Ray menghela napas dan mengambil langkah tepat di samping Dinda. "Jadi, ada Andra yang bantu lo?"
Dinda mengangguk memberi jawaban. "Ada Kak Randy juga, kok," tambahnya.
Ray tersenyum tipis. "Kemarin gue kayak orang gila karena nggak dapat kabar dari lo," lirihnya.
Dinda menoleh dan mengulas senyum. "Terima kasih, ya," ucapnya, "Sudah khawatir sama saya."
Ray menghela napas. "Lo sama Andra udah mulai akrab, ya?"
Dinda kembali mengangguk. "Ayo ke kantin, saya traktir," ajaknya lalu berjalan lebih dulu meninggalkan Ray.
Ray menyusul riang dengan senyum cerah. "Cie ... enaknya punya teman anak orang kaya," godanya lalu menarik Dinda untuk berjalan lebih cepat.
Dinda sangat sadar, langkahnya yang dengan santai memasuki kantin diikuti dengan pantauan sinis dari orang-orang yang sempat membuat masalah dengannya tempo hari. Tapi, dia sudah bertekad untuk mengabaikan dan menjalani masa sekolahnya dengan tenang dan damai. Dinda memilih fokus menikmati semangkuk bakso bersama Ray yang selalu berisik saat makan.
"Jangan protes atau minta gue pergi dari meja ini. lanjutkan saja makan kalian."
Kegiatan dua sahabat itu kompak terhenti lalu beralih pada sosok yang baru duduk dan bersuara di depan mereka.
Dinda hanya bisa menghela napas pasrah, merasa hilang selera untuk menghabiskan makanan kesukaannya.
"Lo masih nggak mau kalau satu sekolah tahu kita ini saudara?" tanya Andra lalu meraih botol minuman di depannya.
Dinda hanya menatap tanpa minat saudara tirinya.
"Kenapa?" Andra mengangkat sebelah alis menunggu jawaban.
"Hanya tidak ingin," jawab Dinda seraya mengaduk isi mangkuk baksonya.
Andra mendengkus lalu meraih mangkuk di depan Dinda. Dia menyendoknya santai dan mulai menikmati sisa makanan saudara tirinya itu. "Atau mau gue kenalin sebagai cewek gue, bagaimana?" selorohnya setelah menelan satu biji bakso.
"Uhuk!" Ray memukul-mukul dadanya karena tersedak. Dia yang berusaha bersikap tenang santai sejak Andra duduk di depannya akhirnya kehilangan kendali. "Maaf," ucapnya setelah meneguk air demi meredakan sakit di kerongkongannya.
Andra menahan tawa. "Hari ini gue bakal ke makam Mama bareng Sarah, jadi nggak usah tunggu gue pas pulang nanti." Dia melanjutkan suapan dan menghabiskan bakso yang tersisa. "Thanks, ya, buat yang kemarin," lanjutnya dengan tatapan fokus pada mangkuk di depannya.
Dinda tersenyum tipis, merasa terhibur akan pola tingkah Andra yang masih merasa malu untuk menunjukkan rasa senang atas membaiknya hubungan dirinya dengan Sarah. "Baiklah."
"Oke, gue cuma mau bilang itu." Andra bangkit lalu menatap lekat Ray. "Bantu gue jaga dia di sekolah, ya," ucapnya dengan gerakan kepala menunjuk Dinda.
"Eoh?" kejut Ray mendapat tatapan intens dari kakak kelas yang diseganinya itu, "Pasti," balasnya sambil mengangguk dengan senyum tulus.
"Apa sih? Saya bukan barang, ya." Dinda memanyunkan bibir menatap punggung Andra yang menjauh.
Ray mengacak pelan rambut Dinda. "Gue, kok, seneng, ya, liat sikap Andra sama lo?"
Dinda mendengkus malas lalu meraih botol minuman di depannya.
***
Sarah menatap tangan yang digenggamnya penuh rasa haru, dia tidak menyangka jika saat yang dipikirnya hanya angan belaka akan benar-benar terjadi. Dia menarik napas lalu mengalihkan pandangan pada gundukan tanah di depannya. "Ma, kami datang bersama sekarang," lirihnya.
Andra mengulas senyum tipis mendengar kalimat saudarinya. Dia mengelus punggung tangan Sarah lalu ikut memandang makam ibunya. Andra menutup mata, membayangkan jika sosok ibunya datang dan merangkul dirinya penuh kasih sayang. Satu hal yang sering dia lakukan jika berkunjung ke tempat itu.
"Kau sering ke sini sendirian?"
"Kadang sama Pak Ikin," jawab Andra polos.
Sarah terkekeh pelan. Dia menoleh menatap lekat adiknya. "Semoga kita bisa berkunjung ke sini bersama papa juga."
Andra menghela napas. "Semoga," harapnya. Dia lantas memikirkan penolakan yang sempat dilakukan ayahnya pada masa lalu.
"Kau kenapa sering melawan Papa?"
"Lo percaya kalau gue bilang papa menyesal karena gue lahir?"
Kening Sarah mengkerut. "Kenapa kau bilang begitu?"
"Sudahlah." Andra mengalihkan pandangannya. "Rasanya malas membahasnya."
"Hei," ucap Sarah lalu menarik wajah Andra kembali menghadapnya, "Mulai sekarang, jangan ada rahasia lagi antara kita."
Andra menarik napas dalam. "Papa sendiri yang bilang, katanya dia menyesal kasih izin ke Mama buat pertahanin gue."
Sarah menghela napas, pikirannya tidak menerima pernyataan Andra, tapi dia juga tidak mau mendebat adiknya. Dia merangkul Andra lalu menepuk pundak saudaranya itu. "Papa sering mengikuti kita saat berkunjung ke sini."
Andra mengembuskan napas berat. "Gue tau. Mungkin sekarang Papa ada disuatu tempat di dekat sini dan memantau kita," ucapnya dengan senyum miring.
Sarah terkekeh lalu mengelus kepala Andra. "Kau suka dengan hadirnya Tante Renata sama Dinda di rumah?"
Andra mengangguk cepat. "Rasanya rumah sedikit lebih hidup," jawabnya.
Sarah tersenyum. "Aku juga berpikir begitu," ucapnya, "Rumah terasa lebih nyaman," lanjutnya lirih.
"Di sini juga nyaman." Suara Andra terdengar serak. "Rasanya tenang."
"Mau dengar kisah indah tentang Mama kita?"
Andra menggeleng pelan. "Bi Nah udah cerita banyak sama gue. Bagaimana kalau kita mulai kisah sepasang bersaudara yang lebih indah?" usul Andra, "Setidaknya ada hal yang bakal bikin Dinda iri sama kita," lanjutnya dengan cengiran.
Sarah menjitak pelan kepala adiknya. "Kau ini sungguh tidak tau terima kasih, ya. Kalau bukan karena dia, mana bisa kau memikirkan rencana iseng itu," ujarnya.
Andra hanya menanggapi dengan kekehan.
Sarah bangkit dan mengulurkan tangan untuk Andra. "Ayo, pulang. Setidaknya kita punya alasan yang bagus untuk tetap pulang ke rumah."
Andra menggenggam erat uluran tangan saudarinya. "Rumah yang gue pikir cuma bakal ada dalam mimpi selama ini."
Sarah tersenyum lembut dan beralih menggandeng manja lengan adiknya. "Kau lumayan tinggi, ya," komentarnya.
"Dan tampan," tambah Andra dengan kekehan renyahnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Home
General Fiction[TAMAT] Tentang rumah yang (harusnya) menjadi tempat nyaman untuk pulang