Bab VII : Insiden Kotak Makanan

22 4 0
                                    

Apapun yang berasal dari hati, akan dirasakan sampai ke hati pula.

---

Sudah empat hari sejak Andra tidak pulang ke rumah. Dinda memutuskan untuk abai pada kelakuan saudara tirinya itu, tapi, sikap Renata yang terus menanyakan perihal Andra membuatnya jengkel. Terlebih hari ini, Dinda diminta untuk memberikan kotak bekal untuk Andra. Ada rasa marah dan cemburu saat melihat kotak yang dia pegang berisi masakan khusus dari ibunya untuk Andra.

Dinda mengerang jengkel setelah panggilannya yang ketiga ditolak Andra bahkan pada dering pertama. Setelah menarik napas menenangkan diri, dia mengetik pesan, menyampaikan keinginan untuk bertemu.

"Menunggu seseorang?"

Suara itu mengalihkan perhatian Dinda dari ponselnya. Dia berusaha mengulas senyum meski perasaannya sangat tidak baik. "Begitulah," ucapnya.

Ray menghampiri Dinda lalu duduk di samping teman masa kecilnya itu. "Mau kutemani."

"Terserah," jawab Dinda lalu kembali fokus pada ponselnya.

Ray baru akan membuka mulut ketika Dinda tiba-tiba berdiri lalu berlari meninggalkannya. Matanya terus memantau tujuan Dinda.

"Hei." Dinda berteriak keras, merasa yakin jika Andra menyadari keberadaannya yang menunggu pada kursi di bawah pohon dekat tangga.

Andra yang merasa gagal mengelak memilih berhenti. Dia mengembuskan napas lalu menoleh menyambut Dinda. "Apa?"

Dinda menyodorkan kotak makanan yang membuat suasana hatinya buruk sejak pagi. "Dari ibuku."

Andra mengernyit, menatap Dinda dan kotak makanan itu bergantian lalu tersenyum miring. "Gue nggak minta," ketusnya.

Dinda melongo tidak percaya pada reaksi Andra. "Apa susahnya menerima ini. Setidaknya ada orang yang memperhatikanmu," ucapnya.

"Gue nggak minta diperhatiin."

"Pikirmu saya ikhlas melakukan ini, hah?" Dinda tidak bisa lagi menahan emosinya. "Menyaksikan ibu sendiri mengkhawatirkan orang lain. Sedang saya anak kandungnya juga butuh diperhatikan." Dengan tegas dilemparkannya kotak makanan tepat mengenai kepala Andra.

Andra tertegun, menatap kotak makanan yang tergeletak di dekat kakinya. Yang dia ingat hanyalah memberi tanda pada teman yang sejak tadi bersamanya agar tidak menyerang Dinda.

"Ah, sial." Dinda memukul kepalanya sendiri lalu berjalan menuju kelas, mengabaikan Ray yang menunggunya dengan tatapan penuh tuntutan meminta penjelasan.

***

Andra terus menatap kotak makanan berwarna biru yang dilemparkan Dinda. Beruntung, penutup kotak makanan itu melekat kuat, jadi tidak membuat isinya berhamburan saat membentur tanah tadi. Dia menarik napas lalu memutuskan membuka dan melihat bekal yang dibuatkan Renata untuknya.

Dua ujung bibir Andra tertarik otomatis setelah membuka penutup kotak. Entah dari mana Renata bisa tahu jika menu kesukaannya adalah nasi putih dengan taburan bawang goreng dan telur mata sapi setengah matang. Andra menarik napas dalam-dalam, ada rasa haru yang menyelimuti hatinya, meski kini penampakan telur ceploknya sudah tidak beraturan lagi.

Andra memasukkan satu suapan ke mulut dan menikmati setiap kunyahannya. Setetes air mata lolos jatuh membahasi tangannya yang memegang kotak makanan. Dia tertawa sendiri akan reaksi tubuhnya.

"Gue ketinggalan info penting apa, nih?" Randy menghampiri Andra, memberikan satu botol air mineral lalu duduk di samping sahabatnya itu. "Dia cewek yang gue maksud tempo hari," lanjutnya dengan tatapan menyelidik penuh pada Andra.

Andra mengangkat tangan, menahan Randy untuk bersuara lagi. "Adek tiri gue."

Mulut Randy terbuka, menatap Andra penuh kerutan. "Jadi ..." dia tidak lagi melanjutkan kalimat, bola matanya yang bergerak seolah mewakili semua hal yang ingin dia ungkap.

Seperti paham betul dengan maksud sahabatnya, Andra mengangguk dalam sembari menikmati makanannya.

Randy tertawa. "Gila, ya, lo. Cakep loh dia."

Andra mendelik. Dia mengacungkan sendok kecil di tangannya. "Meski gue nggak akrab sama dia. Lo adalah orang pertama yang harus gue kasih jarak dari dia," ucapnya sungguh-sungguh.

Tawa Randy semakin besar. "Tapi, kayanya malah dia yang mau jauh-jauh dari lo."

Andra menghela napas, membenarkan ucapan Randy. "Hari ini kayanya gue balik rumah, deh," lirihnya.

Randy tersenyum lalu menepuk punggung Andra. "Keputusan yang baik."

***

"Gue siap dengar semuanya," ucap Ray dengan tangan terlipat di depan dada. Matanya terus menunggu pergerakan Dinda yang sejak sampai pada bangunan belakang sekolah terus menjongkok dan menyembunyikan kepalanya.

Dinda masih terus diam, fokus menjernihkan pikiran. Keinginannya untuk menjadi penghuni transparan dari sekolah elit ini sepertinya harus berakhir karena kepayahannya mengendalikan emosi. Dia menarik napas lalu membalas tatapan intens dari Ray. "Mau mulai dari mana?" lirihnya.

Ray tersenyum lega, mendapati ekspresi Dinda yang tampak baik-baik saja. Dia mendekat dan meluruskan kaki di samping Dinda. "Terserah lo mau mulai dari mana," ucapnya.

"Ayah meninggal saat kita SMP," buka Dinda sambil menerawang, "Saya sama ibu melanjutkan hidup dengan menjalankan toko buku peninggalan ayah. Dan entah bagaimana awalnya, Om Iryawan mampir ke toko kami dan beginilah kami sekarang."

Ray menatap Dinda haru, tidak menyangka jika ada duka yang sempat dilewati temannya itu. "Sori, gue baru tahu soal ayah lo."

"Nggak apa-apa, Ray. Sudah lama juga kejadiannya." Dinda mencoba tersenyum.

"Tapi, Din," Ray memegang tangan Dinda, "Lo sekarang jadi orang kaya, jadi temen gue terus, ya," ucapnya dengan kekehan.

"Apasih?" Dinda melepas pegangan tangan Ray lalu ikut tertawa.

"Pantas aja lo bisa diterima di tengah semester gini. Orang dalam lo berkuasa banget."

Dinda mengangkat bahu.

"Tapi, Din." Wajah Ray kembali serius, "Setelah ini lo jangan jauh-jauh dari gue, oke?"

"Kenapa?"

"Lo lupa sama penjelasan gue tentang fans militannya Andra? Andra mungkin nggak masalah sama kelakuan lo tadi. Tapi, serius, ada kelompok yang berbahaya di sekitarnya."

Dinda memasang senyum yakin. "Tenang, saya nggak akan apa-apa," ucapnya.

Ray mengangguk, mencoba meyakinkan diri jika temannya itu benar-benar akan baik-baik saja.

***

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang