Berdialog dengan diri sendiri adalah salah satu diskusi yang sangat bermanfaat.
---
Dinda menyesal pernah mendambakan memiliki seorang kakak laki-laki. Ungkapan rasa iri seringkali dia sampaikan pada teman perempuannya yang punya kakak laki-laki. Dalam bayangannya dulu, akan ada sosok yang siap memberi perlindungan padanya setiap saat, mengayomi dan melimpahkan perhatian juga kasih sayang untuknya. Sayang, ekspektasi memang kadang berbanding jauh dari kenyataan. Dia hanya bisa menggerutu dalam hati jika ingatan tentang keisengan Andra kemarin sore menghampiri pikirannya.
Dengkusan kesal lolos dari mulut Dinda saat—untuk kesekian kalinya—ujung sepatu Andra menyentuh kakinya. Niatnya untuk mengajukan protes terhenti saat menemukan Andra yang justru fokus memandang keluar jendela mobil. Dia hanya bisa menarik napas lalu tersenyum miring dan membalas kelakuan iseng Andra.
Andra menahan senyum saat merasakan kaki kanannya mendapat tendangan kecil. Dia baru saja menoleh dan membuka mulut ketika Dinda bersuara lebih dulu.
"Pak Ikin berhenti di sini," pinta Dinda. Dia bahkan sudah membuka pintu sebelum mobil berhenti sempurna. "Terima kasih, Pak," ucapnya lalu turun tanpa pamit pada saudara tirinya. Meski sudah akrab dengan Andra, Dinda tetap saja merasa nyaman jika hubungan mereka tidak diketahui oleh orang banyak.
"Stop, Pak," perintah Andra saat sopir mereka bersiap melajukan mobil, dia turut membuka pintu dan mengikuti langkah Dinda. "Kemarin bagaimana?" tanyanya saat berdiri tepat di samping Dinda.
Dia menoleh dengan kening mengkerut. Setelah membuang napas, dia meneruskan langkah tanpa memberi jawaban.
"Hei ... jawab gue dulu," buru Andra. Dia harus menuntaskan penasarannya sebelum memulai pelajaran hari ini.
"Tidak terjadi apa-apa," jawab Dinda singkat.
"Yakin?"
Dinda tersenyum kecil. "Yakin," ucapnya mantap, "Saya sama Ray itu sudah berteman sejak lama ...."
"Dan pasti lo tau dong kalau dia ada rasa sama lo?" potong Andra.
Dinda berhenti melangkah dan membalikkan badan menghadap Andra, menatap langsung kedua mata saudara tirinya itu. Setelah menghela napas, dia memberi jawaban, "Saya tahu," lirihnya.
"Jadi?"
"Saya merasa nyaman sama dia sebatas teman bicara dan menghabiskan waktu, hanya itu. Dan Ray tidak memaksa saya untuk menerima perasaannya."
"Dan kalian masih berinteraksi seperti biasa?" tanya Andra saat melihat sosok Ray mendekat sambil melambaikan tangan.
"Dari pada saling diam dan membuat hubungan merenggang sampai akhirnya merasa gengsi untuk kembali memperbaiki keadaan. Begini lebih baik, kan?" ucap Dinda lalu membalas lambaian tangan Ray.
Dinda berlari kecil menghampiri Ray yang mengumbar senyum cerahnya, meninggalkan Andra yang mematung dan merenungi kalimat yang baru saja dia lontarkan.
Andra menatap kosong ujung sepatu hitamnya. Pikirannya mencerna tindakan dan ucapan adik tirinya. Membandingkan keadaan Dinda dengan hubungan rumit bersama papanya. Helaan napas beratnya terdengar saat menyadari jika selama ini egonya telah menguasai dan membuatnya enggan untuk memulai interaksi dengan baik pada satu-satunya orang tua kandung yang dia punya.
Setelah menarik napas panjang, Andra meneruskan langkah menuju sekolah. Dalam hati dia memutuskan untuk memulai tindakan agar hubungan dengan papanya juga ikut membaik.
***
Sarah terus saja mengetukkan jari telunjuknya pada meja. Tatapannya terfokus pada layar laptop di depannya, tapi pikirannya serupa pohon yang bercabang ke berbagai arah. Dia menghela napas memikirkan kelanjutan tugas kuliahnya—yang baru saja selesai dia diskusikan dengan teman sekelasnya. Tapi, perkembangan hubungan papa dan adik laki-lakinya juga enggan menyingkir dari prioritas pikirannya.
"Ah, bagaimana ini?" keluh Sarah sambil meregangkan tubuh. Dia mengusap pelan wajah lalu menepuk pelan pipinya.
"Tugasnya berat banget, ya?"
Sarah berjengit saat merasakan dingin yang tiba-tiba menyentuh pipinya. Dia menoleh dan mengulas senyum pada orang yang memilih duduk di sampingnya. "Thanks, Rin" ucapnya menerima sekaleng minuman yang baru saja ditempelkan di pipinya.
"Lepas kelas nanti, kita jalan, yuk," ajak Rini.
"Nggak dulu deh," ucap Sarah sambil menggeleng.
"Deadline tugasnya masih minggu depan, kok. Kita masih bisa santai dulu."
Sarah terkekeh. "Bukan buat tugas, aku sudah punya rencana sama orang rumah."
Rini mengangguk pelan. "Lo sekarang lebih sering di rumah, ya. Jadi kangen rumah deh," ucapnya dengan bibir bawah yang dimajukan. "Andra apa kabar?"
Sarah mengernyit. "Lo masih ingat Andra? Perasaan kalian ketemu baru satu kali, itu pun pas awal kita masuk kuliah, kan?."
"Dua tahun, Sar, kita temenan." Rini mengajukan dua jari kanannya di depan wajah Sarah. "Dan lo masih belum tahu kelebihan istimewa gue?" tanyanya penuh drama.
Kening Sarah semakin mengkerut, tidak paham dengan arah pembicaraan temannya.
Rini tersenyum simpul, satu tangan dia tumpukan pada meja untuk menopang dagu. Matanya menatap wajah bingung Sarah. "Orang ganteng mana, sih, yang luput dari ingatan kuat gue?" katanya kalem.
Sarah mendengkus. "Aku kira apa," komentarnya lalu mendorong pelan kepala teman bicaranya.
Rini mengusap bekas telunjuk Sarah di dahinya. "Makanya, jangan kasih larangan buat gue kalau main ke rumah lo," protesnya.
Sarah menghela napas. Dia memang tidak pernah menceritakan kondisi rumahnya pada siapapun, termasuk Rini yang sudah menjadi teman akrabnya sejak masa awal terdaftar sebagai mahasiswa di jurusan yang sama. Dia memilih menyimpan rapat rahasia ketidakharmonisan keluargnya dari lingkup pertemanannya.
"Iya, deh. Nanti kalau Andra sudah nikah, kau pasti kuundang," ucapnya lalu terkekeh melihat ekspresi tidak senang sang lawan bicara.
Rini mencebik kemudian menandaskan minuman dinginnya.
Sarah menutup laptop dengan helaan napas yang jelas terdengar. Seperti itulah dirinya, meski sedang menghabiskan waktu dan bercanda dengan temannya, pikiran tentang Andra masih saja suka muncul dan merusak suasana hatinya.
"Mulai deh," keluh Rini.
"Kenapa?"
"Itu kebiasaan lo atau memang dari dulu masalah lo itu nggak selesai juga?" Rini membuka bungkus snack yang dibelinya tadi. "Lo sering banget menghela napas kayak punya masalah beraaaat banget," jelasnya dramatis.
"Oh, ya?" Kedua alis sarah terangkat. "Maaf, ya, kalau mengganggu."
"Nggak ganggu, sih, gue cuma sering segan aja buat ngajak lo bicara lebih panjang," aku Rini, "Atau ini cara lo buat kasih kode kalo sudah malas bicara sama gue?"
Sarah menggeleng cepat. "Nggak!" ucapnya dengan kedua tangan yang digerakkan di depan wajah, "Aku saja baru sadar kalau sering menghela napas seperti itu. Maaf, ya," pintanya tulus.
"Kalau lo punya masalah, gue siap, kok, jadi teman curhat lo."
"Thanks, ya," ucap Sarah. Dia memamerkan senyum terbaiknnya lalu bangkit. "Ayo, kelas selanjutnya akan segera mulai." Pikiran tentang keluarga sebisa mungkin akan dia tepikan untuk selama di kampus. Diskusi dengan 'staf otaknya' akan dia lakukan selepas perkuliahan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Home
Ficción General[TAMAT] Tentang rumah yang (harusnya) menjadi tempat nyaman untuk pulang