BAB XIII.2 : Flashback

17 5 0
                                    

Seorang gadis kecil berseragam khas sekolah dasar berlari kecil pada lorong rumah sakit sambil membawa lembaran kertas ujian. Anak itu berhenti di depan kamar perawatan yang tertutup rapat, dia menarik napas lalu dengan perlahan membuka pintu ruangan. Senyum ceria dia pamerkan pada sosok berjas putih yang tengah fokus memeriksa keadaan ayahnya yang berbaring di atas tempat tidur.

"Ayah, hari ini Dinda dapat seratus ulangan bahasa. Ayah senang, kan?" seloroh gadis kecil itu menghampiri tempat tidur perawatan ayahnya dengan semangat.

"Wah, Dinda hebat sekali." Dokter yang sedang melakukan pemeriksaan rutin menanggapi.

"Pak Dokter, kalau nilai Dinda bagus terus, Ayah bisa segera bangun, kan?"

Dokter mengelus kepala Dinda yang menatapnya antusias lalu memberi senyum. "Dinda juga harus terus berdoa untuk Ayah Dinda, ya."

"Siap!" Ucap Dinda seraya memberi hormat, membuat dua orang perawat yang berada di ruangan yang sama tersenyum melihat tingkahnya.

"Nanti, kalau ibunya Dinda sudah datang, tolong sampaikan kalau Dokter mau bertemu, ya."

"Baik, Pak Dokter. Terima kasih sudah mau merawat Ayah saya." Dinda tersenyum dan menjabat tangan dokter dan perawat yang berdiri di samping pembaringan ayahnya.

Dokter memberi senyum lalu kembali mengelus kepala Dinda kemudian memberi isyarat pada perawat di belakangnya untuk pindah memeriksa pasien berikutnya.

Dinda beralih duduk pada kursi dekat tempat tidur, kemudian meraih dan mengelus pelan tangan ayahnya yang membengkak, "Ayah harus segera bangun, Dinda janji akan mendapat rangking satu untuk Ayah," bisiknya pelan.

***

"Dengan berat hati harus saya sampaikan bahwa kanker usus yang diderita suami anda sudah bermetastasis ke organ hati. Kami akui, jika pasien sudah sangat terlambat saat dibawa ke sini."

Renata menghela napas berat, kembali mengingat kepanikan saat mendapati suaminya yang pingsan lalu segera dibawa menuju ke rumah sakit, ternyata tetap dinyatakan terlambat. Suaminya yang menyembunyikan penyakit yang ia derita membuatnya sempat menyalahkan diri sendiri yang tidak menyadari kesehatan orang yang dikasihinya itu.

"Kami akan berusaha semaksimal yang kami bisa," ucap dokter optimis.

"Tapi saya masih bingung untuk menutupi semua biaya perawatan," lirih Renata putus asa.

Dokter hanya bisa menghela napas melihat keadaan keluarga pasiennya yang memperihatinkan.

"Kalau begitu, saya permisi dulu, Dokter." Renata menghapus air mata dan mengulas senyum tipis.

"Ya, silakan. Semoga suami anda diberi kekuatan untuk melawan sel kankernya."

"Terima kasih." Renata beranjak, berjalan dengan menunduk menuju ruang perawatan suaminya. Langkahnya terhenti saat melihat seorang lelaki sedang menatap ke dalam ruangan melalui kaca pada pintu. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya Renata saat mendekati lelaki tersebut.

"Eh? Maaf, saya hanya melihat sebentar. Anda..."

Renata tersenyum. "Saya istri dari pasien yang dirawat di dalam."

"Oh, sekali lagi maaf. Saya tidak sengaja lewat dan tertarik mendengar suara anak yang sedang bercerita di dalam."

"Namanya Dinda, anak kami satu-satunya."

"Ayahnya beruntung punya seorang putri yang selalu menemaninya."

"Ya?"

Lelaki itu tersenyum, "Maaf saya terbawa suasana. Nama saya Iryawan." Lelaki itu mengulurkan tangan.

"Saya Renata." Renata menjabat uluran tangan Iryawan. "Anda mau masuk?"

"Ah, tidak perlu. Saya ada keperluan lain. Permisi."

Renata menatap ke dalam kamar perawatan, sudut bibirnya melengkung melihat Dinda yang dengan ceria bercerita sambil mengusap tangan dan kepala ayahnya bergantian.

"Anda kenal baik dengan Pak Iryawan?"

Renata menoleh pada seorang perawat yang bertanya padanya, "Ya? Tidak. Kami baru saja berkenalan. Ada apa?"

"Oh, saya pikir anda akrab dengan dia." Perawat itu tersenyum. "Saya sedikit kasihan padanya. Setiap tahun, ditanggal yang sama dia akan datang ke rumah sakit ini dan mengenang kepergian istrinya."

"Istrinya sudah meninggal?"

"Ya, saat melahirkan anak bungsu mereka. Menurut kabar yang saya dengar, sekarang terhitung tahun kedua belas sejak peristiwa itu."

Renata mengangguk tak bersuara. Dalam hati dia juga mengucapkan kasihan untuk lelaki yang baru saja ditemuinya.

***

4 Tahun Kemudian...

Renata menarik napas dalam-dalam kemudian membuka pintu gedung di depannya. Dirinya sudah siap dengan segala hal yang akan dihadapinya. Sertifikat tanah dan berkas pelengkap untuk mengajukan pinjaman pada bank sudah dia siapkan. Kebutuhan hidup sepeninggal suami membuatnya terpaksa mengajukan pinjaman untuk menambah modal dan biaya pendidikan Dinda. Setelah mengambil nomor antrean, Renata berjalan menuju kursi untuk menunggu nomornya disebut.

"Ibu Renata?"

"Ya?" Renata mendongak menatap seseorang yang menyebut namanya. "Eh? Pak Iryawan?"

"Ternyata anda masih mengingat saya. Apa Kabar?"

"Baik, Pak."

"Bagaimana keadaan suami anda?"

Renata menghela napas berat. "Beliau sudah meninggal," lirih Renata.

"Oh, maaf, saya tidak bermaksud...." Iryawan merasa bersalah.

"Tidak apa-apa." Renata mencoba tersenyum

"Dinda apa kabar?" Iryawan memilih duduk di kursi kosong dekat Renata.

"Dia baik, sekarang sudah SMP."

"Waktu berjalan begitu cepat, ya," Iryawan melirik pada tumpukan kertas di pangkuan Renata. "Ada keperluan apa ke sini?"

Renata tersenyum lalu menunduk.

"Oh, maaf, saya tidak bermaksud untuk ikut campur urusan anda. Tapi, saya harap bisa memberi bantuan untuk anda dan Dinda."

"Terima kasih." Renata tersenyum tipis.

"Ini kartu nama saya." Iryawan memberi selembar kartu. "Sungguh, saya hanya ingin membantu. Mungkin anda sudah tahu resiko jika mengajukan pinjaman. Tapi, saya harap anda memikirkannya lagi."

Renata menerima kartu nama Iryawan, "Terima kasih," lirihnnya.

"Titip salam untuk Dinda, semoga saya bisa bertemu dengannya dilain kesempatan," ucap Iryawan lalu berdiri saat seseorang yang memakai setelan jas rapi menghampirinya, "Saya permisi dulu. Anda tidak perlu segan untuk menghubungi saya," lanjutnya lalu memberi senyum kemudian berjalan menuju pintu keluar.

Renata menatap kartu nama Iryawan. Pikirannya kembali bergelut, tekadnya yang sudah siap akan resiko jika mengajukan pinjaman pada bank dengan jaminan sertifikat tanah dan rumah kini memudar. Ia menarik napas panjang, kemudian memilih berdiri dan berjalan ke pintu keluar. Dalam hati ia berdoa semoga keputusan yang diambilnya adalah langkah yang benar.

***

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang