Bab XXII : Maaf

18 5 2
                                    

Meminta maaf bukan hal rendah. Mengucap maaf bermakna melapangkan hati untuk memperbaiki hubungan menjadi lebih baik lagi.

---

Andra meletakkan bantal di atas ponselnya yang berdering nyaring. Ada rasa malas dalam dirinya untuk sekadar menggeser tombol hijau dan menerima panggilan masuk pada gawainya itu. Dia meregangkan badan lalu berbalik dan mencoba melanjutkan tidur, mengabaikan dering ponsel dan juga suara bising teman-temannya yang sedang bermain game online di basecamp mereka.

"Halo, Kak Sarah? Ada apa?"

Andra segera berbalik setelah mendengar suara Randy. Dia bersiap untuk memukul sahabatnya itu karena seenaknya menerima panggilan dari ponselnya, tapi gerakan Andra terhenti saat melihat ponselnya masih terselip di bawah bantal. Keningnya mengkerut memandang Randy penuh selidik.

"Oke, Kak." Randy mengakhiri panggilannya dan hanya bisa nyengir kuda mendapati Andra yang melipat tangan dan menatapnya lekat. "Iya ... iya, gue mata-mata kakak lo," akunya seolah sangat paham akan makna tatapan sahabat karibnya.

Andra hanya bisa mendengkus dan melempar bantal ke arah Randy. "Sejak kapan?" tanyanya.

"Entahlah," jawab Randy singkat, "Yang gue ingat cuma ekspresi khawatirnya waktu ngajak gue bicara dan minta info tentang lo yang waktu itu nggak pulang beberapa hari."

Andra menghela napas, senyumnya terbit bersama rasa hangat yang muncul dalam hatinya. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya jika Sarah yang selama ini selalu cuek di depannya ternyata diam-diam mencari informasi tentangnya.

"Sekarang lo tinggal pilih," seloroh Randy mendekat dan merangkul Andra, "Mau jadiin gue kakak ipar atau adek ipar lo," godanya.

"Jijik gue," balas Andra seraya mendorong pelan kepala sahabatnya itu.

Randy terbahak. "Oh, ya, tadi Sarah bilang kalau keluarga lo mau ke rumah lamanya si Dinda, kalo mau ikut buruan pulang sana."

Andra mengangguk lalu meraih ponselnya, menghubungi Sarah dan memutuskan untuk tidak bergabung dengan mereka. Dia merasa belum siap untuk menghabiskan waktu lebih lama dengan papanya sendiri. Dalam bayangannya masih ada rasa canggung yang teramat besar akan tercipta.

***

Dinda memutar tubuh dan memantau sekeliling ruangan, memandangi interior rumah lamanya yang sederhana, berbanding jauh dengan rumah yang dia dan ibunya tinggali kini. Dia meneruskan langkah menuju kamar tidurnya, mengabaikan debu yang beterbangan mengiringinya.

Di belakangnya, ada Sarah yang terus mengibaskan tangan di depan wajah, mencegah debu mendekati hidung dan mulutnya. Sesekali dia terbatuk kemudian menggerutu.

"Baru beberapa bulan ditinggalkan, kondisinya sudah sekotor ini," komentar Renata sambil menepuk pelan pakaiannya. Dia mengeluarkan beberapa masker dari dalam tasnya dan memberikannya pada Pak Ikin dan juga Bi Nah. "Mohon bantuannya, ya," ucapnya kemudian mengambil sapu dari sudut ruangan.

"Yakin bisa selesai hari ini?" Sarah mendekat dan mengambil masker yang diajukan Renata.

"Pasti bisa." Dinda memberi jawaban dan menghampiri ibunya dengan senyum riang. "Malam ini kita menginap di sini saja, ya," pintanya dengan ekspresi memelas paling imut yang bisa dia tampilkan.

Rahang Sarah hampir jatuh menatap ekspresi saudara tirinya. Dia mendengkus tawa kemudian melemparkan masker kepada Dinda. "Ya, sudah, cepat bebersih sana," perintahnya lalu ikut membantu Renata membersihkan perabotan.

Tepuk tangan kegirangan Dinda menggema. Dia segera mengambil kemoceng dan turut membersihkan rumah dari area dapur, membantu Bi Nah yang sudah lebih dulu sibuk di dalam sana.

Sarah terkekeh melihat tingkah adik tirinya itu, fokusnya kembali pada Renata. "Kenapa tiba-tiba mau kembali ke sini?" tanyanya setelah menyimpan kembali bantal sofa yang sudah dibersihkan.

"Hari ini tepat lima tahun kepergian ayah Dinda," jawab Renata, sendu di wajahnya terbaca dengan jelas. "Dinda merasa bersalah jika memperingati hari kematian ayahnya di tempat lain."

Sarah menghela napas, menatap ibu tirinya dengan perasaan bersalah. "Apa karena itu, papa nggak ikut?" tanyanya hati-hati.

Renata mengulas senyum lalu menggeleng. "Papamu bukan tipe orang seperti itu," jawabnya. "Ada hal yang lebih penting yang ingin dia selesaikan hari ini juga," lanjutnya kemudian mengelap meja.

***

Andra menguap menahan kantuk saat membuka pintu rumahnya. Seperti yang disampaikan Sarah tadi, Bi Nah pun turut serta ke rumah lama Dinda. Entah apa yang mereka lakukan di sana, Sarah tidak menjelaskan dengan detail. Langkah Andra terus terarah menuju kamar tidurnya, pulang ke rumah hingga tengah malam tanpa diinterogasi sudah biasa baginya.

"Jadi, setiap malam kamu pulang jam segini?"

Gerakan tangan Andra yang memutar kenop pintu kamar terhenti bersamaan dengan rasa kejut karena suara yang tiba-tiba menghampiri pendengarannya. Dia menoleh dan membuat kagetnya semakin bertambah ketika bertemu tatap dengan sang pemilik suara. Andra hanya bisa membeku di tempatnya.

Senyum kaku Iryawan terukir, perlahan dia mengangkat kaki mendekati putranya. "Kamu bikin Papa khawatir," ucapnya.

Andra masih bingung, merasa asing dengan perlakuan papanya. Kakinya refleks melangkah mundur mencipta jarak.

Langkah kaki Iryawan terhenti setelah melihat Andra yang bergerak mundur. "Papa mau bicara," ucapnya dengan harapan mendapat kesempatan untuk meluruskan kesalahpahaman diantara mereka.

Andra menunduk dan memilih bungkam.

"Papa salah," ungkap Iryawan, "Dulu membiarkan kamu menjauh tanpa berusaha menanyakan penyebabnya." Iryawan menarik napas dalam. "Sekarang, izinkan Papa memperbaiki kesalahan itu," ucapnya sendu.

Andra mengangkat wajahnya, menatap papanya penuh tanya.

"Sudah sekian tahun kita saling mendiamkan seperti ini," ucapnya lalu mengambil langkah kecil mendekati Andra, melihat anaknya itu yang tetap di tempat membuatnya sedikit lega. "Papa rindu kamu yang selalu riang dan berlari menghampiri saat Papa pulang kerja."

Andra mendengkus lalu tersenyum miring. "Bukannya Papa menyesal karena milih Andra yang selamat?"

Iryawan mengulas senyum tulus. "Papa memang menyesal," ucapnya ringan, membuat kening Andra semakin mengkerut tidak mengerti. "Sepertinya kamu hanya mendengar sepotong dari kalimat Papa waktu itu." Iryawan mengembuskan napas panjang nan berat.

"Benar, Papa sangat menyesal. Setiap hari sejak kepergian mamamu, Papa selalu menyesali harus membuat keputusan itu. Harusnya Papa lebih peka atas sakit yang diderita mamamu." Iryawan menjeda, jalur napasnya mulai sesak. "Karena sikap abai Papa, pilihan menyelamatkanmu atau mamamu harus tercipta."

Andra hanya bisa menunduk. Rasa bersalah mulai muncul dalam hatinya.

"Papa bukan suami dan orang tua yang baik. Melihat wajah pucat mamamu disaat terakhirnya membuat Papa berharap bisa menebus kesalahan dengan menggantikan posisinya. Papa menyesal hanya bisa tergugu sambil menggenggam erat tangannya yang sedang bertaruh nyawa." Iryawan menutup muka lalu berjongkok, air matanya semakin deras mengingat peristiwa paling menyedihkan dalam hidupnya.

Andra bukan tipe orang yang pandai mengungkapkan isi hatinya. Untuk sesaat, dia hanya terpaku memandangi papanya yang menyembunyikan wajah sambil tergugu. Setelah meyakinkan diri, dia memutuskan mendekat dan meraih pundak kepala keluarganya itu. Tanpa sepatah kata, dia Andra menyandarkan kepala pada pundak papanya.

"Harusnya ... Papa saja yang pergi. Kalian akan lebih baik jika dirawat oleh mama kalian." Iryawan menarik napas dalam, sesak di dadanya semakin menjadi. "Tidak akan ada drama saling mendiamkan dalam keluarga kita jika Papa saja yang meninggalkan dunia ini," ucapnya disela isakannya.

Andra mempererat pelukannya. Dia bingung harus mengucapkan apa, yang dia inginkan hanyalah papanya tahu jika jauh di lubuk hatinya, masih ada rasa sayang yang menggunung untuk kepala keluarganya itu.

***

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang