Beban seberat apapun, akan terasa lebih ringan jika dibagi dengan orang terkasih.
---
Hari pertama Andra tidak menginap di rumah. Semua berjalan seperti biasa, terasa tidak ada yang mengalami kehilangan tanpa kehadiran anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga itu. Bahkan Dinda yang semalam sempat mengkhawatirkan saudara tirinya itu memilih abai dengan keadaan ini.
Dinda membuka pintu kamarnya, bersiap untuk bergabung dengan ibunya untuk menyiapkan makan malam. Tepat saat dia keluar kamar, Sarah juga menampakkan diri dan berjalan menuju tangga.
"Hai." Suara canggung Sarah terdengar.
"Hai juga." Dinda membalas setelah menahan senyum miringnya. Setidaknya interaksi dengan Sarah dapat berjalan dengan baik. Meski dia masih kurang suka jika mengingat cara Sarah memeluk ibunya. "Jadi, rumah ini selalu sepi seperti ini?"
Sarah menghela napas. "Setidaknya lebih baik sejak kehadiran kalian," ucapnya. "Sarapan bersama kadang hanya seminggu tiga kali. Makan malam pun sendiri-sendiri."
Dinda mengangguk menanggapi. Dia tidak tahu harus mengucap apa untuk mengusir sunyi sebelum mereka sampai di ruang makan.
"Menyedihkan, kan?" ucap Sarah, matanya fokus memandang kaki yang memijak tangga.
"Sangat," bisik Dinda, merasa tidak enak jika ucapannya terdengar oleh Sarah.
"Syukurlah kalian sudah datang. Bi Nah nggak perlu ke atas lagi panggil kalian. Ayo, sini, makanan sudah siap." Renata menyambut, menyiapkan piring dan menyendokkan nasi untuk Sarah dan Dinda.
"Andra belum pulang?" Iryawan membuka suara, mencari putranya.
Dinda melirik kecil, sadarkah ayah tirinya ini jika Andra bahkan tidak menginap di sini semalam? Pikirnya.
"Dia belum mau pulang rupanya," lirih Iryawan lagi.
Dinda dan Sarah saling tatap, tanpa mengeluarkan suara.
"Sudah, makan saja dulu. Mungkin Andra ada urusan lain yang mendesak." Renata menengahi, tidak ingin membiarkan masakannya terhidang dingin. Meski dalam hati dia juga mengkhawatirkan Andra yang tak kunjung menampakkan diri.
Semua mulai makan dalam diam, mencoba makanan yang dimasak dengan sepenuh hati oleh Renata. Dinda menikmati masakan yang selalu dia rindukan setiap hari. Sarah memejamkan mata, merasakan setiap ledakan rasa pada lidahnya, masakan rumah memang nikmat.
"Jadi, Dinda, apa tadi kamu bertemu Andra di sekolah?" Iryawan kembali membuka suara setelah menelan suapan pertamanya.
Dinda berhenti untuk memotong telur dadar di piringnya. "Saya hanya melihatnya sekilas di kantin, kami tidak bicara sama sekali," jawabnya.
"Tapi, Andra kelihatan baik-baik saja, kan?" Kali ini Renata menampakkan perhatian untuk anak tirinya itu.
Dinda beralih menatap ibunya, sedikit jengah. "Iya, Bu. Dia bahkan tertawa bahagia sama temannya."
"Oh, baguslah." Renata merasa lega.
"Aku sudah selesai. Terima kasih makan malamnya." Sarah meneguk air putih di depannya lalu bangkit hendak meninggalkan meja makan.
"Kau bahkan baru makan beberapa suap." Iryawan memberi komentar memandang Sarah.
Sarah tersenyum miring. "Nama Andra yang terlalu sering disebut membuatku cepat kenyang," ucapnya dengan senyum palsu menatap ayahnya, "Ah, dan terima kasih sudah memperhatikan jumlah suapanku, Ayah," tambahnya lalu melangkah pergi.
Iryawan menghela napas. "Maaf atas ketidaknyamanan ini."
"Saya nyaman," ungkap Dinda sambil fokus mengaduk isi piringnya lalu menyendok dan melanjutkan makan.
Renata menatap Dinda lesu. Dapat dia rasakan ungkapan tidak senang pada ucapan anak kandungnya itu.
***
Dinda baru saja selesai membantu ibunya merapikan peralatan makan. Sebenarnya hal itu tak perlu dia lakukan, mengingat ada asisten rumah tangga yang selalu siaga mengerjakan setiap tugas dalam rumah mewah ini. Tapi, bagi Dinda, yang selama hidupnya terus mengerjakan urusan rumah bersama ibu, kegiatan ini adalah hal menarik untuk terus mempererat hubungan dengan wanita yang telah berjuang bersamanya.
Setelah merasa semua pekerjaan selesai, Dinda membuka pintu dapur dan mendapati kursi panjang yang pernah dia tempati berbagi cerita dengan Iryawan kini dihuni Sarah. Dia menghela napas dan memutuskan berjalan mendekat. Meski sedikit ragu dia akhirnya duduk pada ujung kursi, sengaja mencipta jarak.
Sarah menghela napas, saat merasakan kehadiran Dinda. "Kau tidak betah, kan?" tanyanya dengan tatapan terus ke depan.
"Sangat." Dinda memberi jawaban, tatapannya mengikuti arah pandang Sarah.
"Sebenarnya aku juga mengkhawatirkan Andra." Sarah melanjutkan setelah kembali mengembuskan napas.
Kening Dinda berkerut, dia menoleh menatap Sarah, menunggu kalimat lanjutan.
"Kami bersaudara, tapi tidak pernah berkomunikasi dengan baik," ungkap Sarah sambil menunduk.
"Ya, bisa kulihat sendiri," komentar Dinda
"Mama meninggal saat melahirkan Andra."
Mata Dinda membola, satu fakta yang baru dia tahu dari keluarga barunya. Dia menatap lekat wajah Sarah, meski hanya tampak samping, ada gurat kesedihan yang dia tangkap. "Kamu membencinya karena fakta itu?"
"Umurku tiga tahun saat semua itu terjadi. Yang aku tahu, ibuku menghilang bersamaan dengan munculnya Andra dalam rumah ini." Sarah memutuskan menceritakan perasaannya.
Dinda hanya mampu menghela napas, tidak tahu harus memberi tanggapan seperti apa.
"Sejak saat itu, semua perhatian ayahku berpusat pada Andra. Ayah seolah lupa akan kehadiranku. Aku hanya dititipkan pada Bi Nah. Tak pernah sekalipun ayah menghampiriku sepulang kerja, seperti yang biasa dilakukannya saat mama masih hidup. Saat di rumah, ayah hanya akan menghabiskan waktu bersama Andra di kamarnya." Sarah melanjutkan setelah menyamankan diri dengan melipat lutut ke dalam pelukannya.
"Tapi, kenapa sikap Andra selalu berlawanan dengan ayahmu?"
"Sikapnya berubah saat ulang tahunnya yang ke sepuluh. Sehari sebelumnya, aku mengungkapkan semua kekesalanku padanya. Kukatakan bahwa dia adalah penyebab mama kami meninggal. Mengatainya sebagai pembawa sial dan segala macam kata yang tak seharusnya diungkap seorang kakak pada adiknya," kenang Sarah. Ada sesal yang menyelinap dalam hatinya mengingat kembali peristiwa itu.
"Lalu?" Dinda mulai merasa sangat ingin tahu kehidupan dua saudara tirinya.
"Keesokannya, tepat di hari ulang tahunnya, aku mendapati Andra sedang menangis sesegukan. Saat itu aku sadar, bahwa aku adalah kakak yang tidak pantas untuknya. Aku mendekat dan mencoba menenangkangnya. Tapi, dia menolak, melemparkan kertas gambarnya yang sudah dicoret-coret. Meski sering aku perlakukan tidak baik, dia masih mau menggambarku dengan sayap malaikat. Dia menggambar keluarga kami, ada ayah, aku dan juga dirinya saling bergandengan tangan dan tersenyum riang."
"Apa yang membuatnya menangis?"
Sarah menghela napas. "Entah. Mungkin kata kasarku sehari sebelumnya. Sejak hari itu, aku memilih untuk menjaga jarak darinya. Pasti dia juga menyimpan rasa tidak suka padaku."
"Kamu yakin?"
Sarah menoleh, menatap Dinda dengan kening mengkerut. "Kau hanya belum mengenal Andra," ucapnya.
"Bagaimana kalau kamu yang belum mengenalnya?" Dinda berucap dengan hati-hati sambil memikirkan perhatian Andra untuknya tempo hari.
Sarah menarik napas dalam-dalam. "Mungkin," lirihnya, pandangannya kini beralih pada hamparan bintang yang menghiasi langit malam. "Terima kasih sudah mau mendengarkan ceritaku. Rasanya lega punya seseorang untuk berbagi cerita."
Dinda tersenyum, ikut menikmati indahnya langit sambil bergumam. "Bagaimanapun kita adalah keluarga, kan?"
Keduanya tertawa kecil kemudian larut dalam pikiran masing-masing.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Home
Ficción General[TAMAT] Tentang rumah yang (harusnya) menjadi tempat nyaman untuk pulang