"Lebih baik saling diam daripada bicara dengan nada emosi yang bersahutan"
---
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu. Tapi, Dinda masih setia berdiri di dekat gerbang, menunggu Andra yang belum juga menampakkan diri, bagaimanapun, dia harus tetap pulang bersama saudara tirinya itu. Dia tidak ingin menambah keruh suasana rumah dengan menciptakan perselisihan baru dengan Andra.
Untuk kesekian kalinya, Dinda mengembuskan napas kesal. Kecerobohannya menjatuhkan ponsel menambah buruk keadaannya. Dinda memfokuskan pandangan pada lapangan basket yang riuh sejak tadi. Sambil meyakinkan diri, dia berjalan mendekat, berharap menemukan Andra di sana.
"Emm ... maaf, apa Andra ada di sana?" Dinda mencegat seorang siswa yang berpapasan dengannya.
Siswa itu menatap Dinda dengan kening mengkerut. "Tidak ada," jawabnya singkat.
Dinda menghela napas kecewa. "Kalau kelasnya Andra di mana, ya?" tanyanya lagi.
Kerutan dahi siswa itu semakin dalam, memandang Dinda dari kepala hingga kaki dengan sebelah alis yang terangkat. "Lantai tiga, kelas paling ujung," jawabnya lagi.
"Oh, terima kasih." Dinda mengumbar senyum sambil membungkuk lalu berlari ke arah tangga. Semoga Andra masih ada di kelas, harapnya.
Dinda kembali harus menelan kecewa saat melihat kelas yang dia tuju sudah kosong. Dia mengedarkan pandangan demi mencari sosok Andra. "Jadi dia mau cari masalah duluan?" desisnya. Dinda mengusap kasar wajahnya, jika saja dia tahu alamat rumahnya yang baru, maka dia tidak harus menderita seperti ini.
"Ah ... iya!" seru Dinda saat mengingat pernah menyimpan kartu nama Iryawan ketika mereka pertama kali bertemu. Dengan cepat dia membuka tas sekolah dan mengambil dompetnya. Senyumnya mengembang menemukan secarik kertas kecil dengan nama Iryawan yang tercetak tebal di bagian tengah, serta alamat lengkap di bawah nama itu. Dia bergegas menuju gerbang sekolah dan menghentikan taksi pertama yang dia temui.
Waktu setengah jam diperjalanan justru membuat Dinda kembali kecewa. Alamat pada kartu nama itu justru membawanya pada kantor Iryawan. Meski lesu, ia tetap melangkah memasuki gedung bertingkat itu.
Senyum ramah resepsionis menyambut Dinda. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Boleh saya bertemu dengan Pak Iryawan?"
"Anda sudah membuat janji?"
"Belum," jawab Dinda lirih, "Tapi bisakah anda memberi tahunya jika Adinda Kirana ada di sini? Saya mohon."
Resepsionis mengulas senyum lalu mengangkat gagang telepon dan mulai berbicara.
"Mohon disampaikan pada direktur bahwa seseorang bernama Adinda Kirana ingin menemuinya."
"..."
"Baiklah, terima kasih," ucap resepsionis lalu meletakkan kembali gagang telepon. "Direktur sedang ada pertemuan di luar. Datanglah besok jika ingin bertemu," lanjutnya.
"Boleh saya meminta alamat rumahnya?"
Resepsionis berwajah ramah itu menatap Dinda seolah menyelidik. "Maaf, kami tidak bisa memberitahukan hal pribadi direktur pada sembarang orang."
"Tapi, saya ini ...."
"Dinda?" Iryawan yang baru datang diikuti beberapa orang di belakangnya memantau penuh tanya. "Ada apa datang ke sini?"
Dinda menghela napas lega lalu menghampiri Iryawan dengan sedikit membungkuk. "Maaf, ponsel saya hilang dan saya belum tahu alamat rumah. Hanya alamat kantor ini yang bisa saya datangi," ucapnya dengan menunduk.
Iryawan mengangguk paham lalu melihat jam tangannya. "Baiklah, kita pulang bersama nanti," lanjutnya lalu berjalan meninggalkan lobi, Dinda mengikuti langkah Iryawan.
Iryawan membuka pintu ruangannya dan mempersilakan Dinda masuk lebih dulu. "Jadi, Andra meninggalkanmu di sekolah?" selidiknya.
Dinda mengembuskan napas. "Mungkin dia lupa kalau harus pulang sama saya," jawab Dinda pelan.
Iryawan memijat kepalanya, meredakan pening yang semakin menjadi. "Sudah makan?" tanyanya berusaha menampilkan wajah ramah kepada Dinda.
"Belum," jawab Dinda masih dengan suara pelan.
"Akan saya pesankan makanan. Tunggu di sini setengah jam, lalu kita pulang ke rumah. Ada hal lain yang harus saya selesaikan dulu."
Dinda mengangguk patuh, kemudian ikut berdiri saat Iryawan bangkit dan mengambil beberapa map lalu berjalan ke luar ruangan. Dia memantau dengan pandangannya. Saat Iryawan hilang di balik pintu, pandangan dia alihkan ke sekeliling ruangan yang nampak rapi dan teratur itu. Dinda benar-benar kagum akan kehidupan ayah tirinya.
Dinda masih berkeliling melihat seisi ruangan saat seseorang masuk membawa nampan dengan sepiring nasi goreng dan sebotol air mineral. Dinda memberi senyum pada pembawa nampan yang juga tampak ramah padanya.
"Silakan," ucap wanita itu sambil meletakkan bawaannya ke atas meja.
***
Rapat yang rencananya ingin dipercepat justru berjalan lebih lama dari perkiraan. Iryawan merasa bersalah saat mendapati Dinda tertidur di sofa ruang kerjanya. Dia ingat saat Renata bercerita tentang Dinda yang selalu kesulitan mengingat arah dan tempat yang bahkan sudah sering dikunjunginya karena trauma masa kecil.
Iryawan menepuk bahu Dinda pelan, memberitahu bahwa sudah waktunya untuk pulang.
Dinda membuka mata lalu tergesa bangkit, kesadarannya masih belum terkumpul sempurna. Dia hanya mengangguk patuh lalu mengikuti langkah Iryawan.
"Maaf, membuatmu menunggu lama," sesal Iryawan.
"Tidak apa-apa," ucap Dinda mengucek mata dan memastikan jika penampilannya tidak lah seburuk saat dia bangun setiap paginya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, tidak ada percakapan yang berarti. Ada rasa canggung yang masih tercipta di antara keduanya. Saat mobil berhenti tepat di garasi, Dinda turun lebih dulu dan berjalan ke pintu depan.
Dinda melempar senyum kecil mendapati ibunya yang sedang duduk di ruang depan dengan ekspresi khawatir, bersama Sarah dan juga Andra.
Renata menghampiri dan memeluk Dinda, dalam hati dia bersyukur mendapati anaknya itu baik-baik saja.
"Kau tidak menunggu Dinda pulang?" Suara Iryawan terdengar tepat saat ia melangkah masuk ke rumah.
Andra mendengkus, sesuai prediksi, ayahnya akan mengamuk sebentar lagi.
"Kau tahu kalau Dinda itu kesulitan untuk mengingat arah dan tempat?" cecar Iryawan pada Andra yang tampak membuka mulut.
Andra tersenyum sinis, keinginannya untuk membela diri seketika menguap. "Apa Papa tahu aku kesulitan dalam hal apa?"
Iryawan terdiam, tidak mengerti arah pembicaraan Andra.
"Baru seminggu dia menjadi anakmu," ucap Andra menunjuk Dinda, "Sedang aku, hampir tujuh belas tahun serumah denganmu, apa Papa tahu sedikit saja tentang hal yang ku sukai dan tidak ku sukai?"
"Andra," lirih Sarah.
"Apa? Kau juga ingin membelanya, hah?!"
"Bukan..." Sarah terbata.
"Kau juga tidak menyukaiku, kan? Menganggapku sebagai penyebab kematian Ibu, begitu, kan?" racau Andra.
"Andra!" tegas Iryawan.
Suasana seketika menjadi hening. Sarah memilih meninggalkan tempat itu lebih dulu. Dinda memegang kuat lengan ibunya. Sedang Andra, berdiri tegap di depan ayahnya dengan alis kanan terangkat, menunggu kalimat atau bahkan serapah yang siap dilontarkan untuknya.
Iryawan mengembuskan napas, rasa bersalah terbit dalam hatinya. "Maaf," lirihnya.
Andra menatap sinis ayahnya, "Kenapa minta maaf?" ucapnya dengan tatapan tepat pada mata Iryawan.
"Masuk kamarmu," ucap Iryawan dengan nada yang tenang.
Andra tertawa kecil melihat reaksi ayahnya. "Aku ingin keluar dulu." ucapnya lalu melangkah santai menuju gerbang.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/219447424-288-k52142.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Home
Ficción General[TAMAT] Tentang rumah yang (harusnya) menjadi tempat nyaman untuk pulang