Adalah hal wajar jika merasa kikuk pada suasana baru nan asing. Tapi, membiarkan rasa itu menguasai juga tidak bisa dibenarkan.
---
Layaknya remaja kasmaran yang baru saja mendapat pernyataan cinta dari orang yang disukai, Sarah terus saja memasang senyum senangnya sejak beranjak dari pembaringannya pagi ini. Pakaian santai berwarna peach melekat sempurna pada tubuhnya yang ramping. Langkah cerianya terarah menuju taman belakang, Dia memutuskan berolahraga ringan untuk menyalurkan rasa semangat dan bahagia yang menggebu.
Rumput basah menyambut Sarah begitu kakinya meninggalkan tegel teras belakang. Dia memukul pelan kepalanya karena baru ingat akan hujan deras yang turun semalam.
"Sepertinya ada kabar baik pagi ini."
Sarah refleks memutar badan mendengar suara itu. Dia terkekeh sendiri melihat Dinda sedang duduk santai di sana. "Kau dari tadi duduk di situ?" tanyanya berjalan mendekat.
Dinda mengangguk satu kali memberi jawaban.
"Ibumu sudah memberi tahu?" tanya Sarah saat bokongnya menyentuh kursi di samping Dinda.
Kening Dinda mengkerut, matanya fokus membaca ekspresi saudara tirinya. "Ada apa?" tanyanya saat Sarah tak kunjung membuka suara.
Senyum cerah Sarah kembali terbit. Dia menarik napas dan menatap Dinda lekat lalu menjawab, "Semalam aku sama Papa sudah bicara dan bisa dibilang ..." Sarah menjeda, memikirkan kata yang dia anggap tepat, " ... berdamai," tambahnya dengan kepala yang sedikit dimiringkan.
Dua alis Dinda terangkat demi mendengar ucapan Sarah. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya. "Akhirnya," ucapnya, "Andra juga?" tanyanya dengan senyum tulus yang menghiasi bibir mungilnya.
Sarah menghela napas, senyumnya meredup. Dia hanya menggeleng pelan memberi jawaban.
Kadar rasa senang Dinda ikut turun, bibirnya sedikit maju lalu menghela napas mengikuti Sarah. "Andra sudah tahu?"
Lagi, hanya gelengan Sarah sebagai jawaban.
"Kali ini saya nggak bisa bantu banyak kayaknya," ucap Dinda menggaruk pipi lalu bangkit dan berjalan menuju dapur. Aroma enak menu sarapan baru saja menyapa hidungnya.
Sarah hanya berdecak lalu mengikuti langkah Dinda. Keinginan untuk olahraga menguap begitu saja. Pikirannya kini bertualang memikirkan cara untuk membuat Papa dan adiknya bisa punya kesempatan bicara empat mata.
***
Sarapan berlangsung dengan suasana yang sedikit lebih hidup. Renata terus saja tersenyum melihat interaksi Iryawan dan Sarah yang mulai cair. Dinda sesekali ikut mengambil bagian dalam percakapan. Hanya Andra yang memilih memantau dalam diam sambil menghabiskan makanannya.
"Mau tambah?" Renata yang menyadari Andra tanpa suara sama sekali mencoba membuatnya bicara.
Andra tersenyum kecil dan menggeleng pelan.
"Kau, kan, suka telor ceplok." Sarah memindahkan satu telur ceplok ke piring Andra. "Makan yang banyak," perintahnya.
"Lebih enak kalau pakai nasi," ucap Dinda seraya menambahkan nasi goreng pada piring Andra. Senyum jail menghiasi wajahnya.
Andra berdecak kecil lalu menatap lurus piringnya yang kini kembali penuh.
Semua terkekeh. Renata mencuri pandang pada suaminya, dia menggenggam tangan Iryawan dan memberi kode agar kepala keluarganya itu mengambil kesempatan untuk berinteraksi dengan Andra.
Baru saja Iryawan membuka mulut, ponsel yang dia kantongi berdering. Tanpa menunggu waktu lama, Iryawan menerima panggilan dan bangkit meninggalkan meja makan.
Semua memandang punggung sang kepala keluarga yang menjauh disertai helaan napas. Setelah sosok Iryawan hilang di balik pintu, mereka kembali fokus dengan makanan masing-masing.
"Oh, iya, Bu," Dinda memecah keheningan. "Nanti Dinda mau ke toko buku sama teman, ya. Boleh, kan?"
Renata mengangguk. "Boleh, kok. Tapi pulangnya jangan terlalu sore, ya."
"Aku ikut, ya," pinta Sarah.
Dinda menggeleng cepat. "Nggak boleh," jawabnya, "Ini urusan anak sekolah."
"Dih." Sarah mendesis jengkel lalu kembali menyendok nasi gorengnya.
Renata hanya bisa geleng-geleng melihat tingkah anaknya.
***
"Gue, kok, merasa dikhianati, ya?" tanya Andra sambil memainkan bola kasti dengan tangan kanannya.
Randy menoleh dengan tatapan tak mengerti. "Kali ini gue nggak bisa konek sama pikiran lo," selorohnya.
Andra mendengkus. "Gue juga bingung," ucapnya, "Baru juga beberapa hari sejak gue merasa nyaman buat balik ke rumah. Tapi, melihat Papa sama Sarah bisa akrab dengan mudah bikin gue ... " Andra menjeda, membalas tatapan Randy dengan kening mengkerut. "Canggung?" tambahnya kurang yakin.
Randy terbahak. Dia memukul Andra dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya sibuk menahan perutnya yang sakit karena tertawa keras. "Gila, lo! Sama keluarga sendiri sampe merasa canggung," komentarnya.
'Bugh'
Bola kasti sukses berpindah dari tangan Andra menuju kepala Randy.
"YA!" protes Randy dengan mata melotot pada sahabatnya. Tangannya kini sibuk mengelus kepalanya yang sakit. "Lo yang aneh. Kenapa nggak coba ikut gabung sama interaksi mereka. Siapa tahu mereka juga segang atau bingung buat ngajak lo bicara duluan."
"Gengsi gue."
"Gengsi atau malu?" goda Randy.
Andra berdecak kesal. "Lo, ya!" protesnya, "Gue ngajak bicara biar bisa merasa lega atau dapat saran. Malah ngejek kayak gini."
"Gue sudah kasih saran, Bro. Mending lo ngajak bicara duluan. Sebenarnya lo juga capek, kan, kayak gini terus sama Papa lo?"
"Tau, ah," keluh Andra dan memilih bersandar pada jaring pembatas lapangan. Pandangannya lurus ke gerombolan anak-anak yang saling berkejaran di taman.
"Bro, lo nggak pernah bilang kalo gue punya saingan buat jadi adik ipar." Randy menyikut Andra dan menunjuk dengan dagunya ke sisi kiri taman.
Andra mengikuti arah pandang sahabatnya dan tersenyum miring melihat Dinda dan Ray berjalan berdampingan. Dia bangkit setelah menepuk pundak Randy. Ide jail baru saja menghampiri pikirannya.
"Oh, jadi toko buku sudah pindah ke taman, ya? Baru tau gue," ucap Andra saat berdiri tepat di belakang Dinda. Dia menahan tawa saat sepasang manusia di depannya menoleh dengan ekspresi kaget. "Lo sudah berani bohong, ya," ucapnya menunjuk Dinda.
"Nggak, kok," sanggah Ray cepat. "Kita memang dari toko buku, tapi, karena belum terlalu sore, gue ngajak Dinda jalan-jalan sebentar," jelasnya.
Andra mengangguk-angguk sambil melipat tangan di depan dada, senyum jail belum lepas dari wajahnya. "Sejak kapan kalian pacaran?" selidiknya.
"Nggak, kita nggak pacaran," jawab Dinda dan Ray kompak.
Andra mencibir. "Kalau begitu gua ganti pertanyaannya," ucapnya dengan tatapan fokus pada Ray, "Sejak kapan lo suka sama Dinda?" tanyanya penuh selidik.
"Eoh?" Ray hanya bisa mengerjap. Dia hanya memasang senyum kaku dengan lirikan kecil pada Dinda.
"Kamu apaan, sih?" protes Dinda.
"Lo tinggal pilih. Jawab pertanyaan gue atau gue tinggalin kalian dalam suasana super canggung ini." Andra membuat pilihan.
Ray tersenyum kecil. Ekspresi wajahnya mulai dia kendalikan, matanya fokus pada Dinda yang berdiri salah tingkah.
"Ah, sial. Gue nggak suka suasana awkward kayak gini," ucap Andra lalu meninggalkan dua anak manusia yang sibuk mengontrol debaran jantung masing-masing. Senyumnya perlahan memudar seiring langkah yang menjauhi Dinda dan Ray. Ada rasa sedih ketika pikiran akan hubungan dengan papanya menghampiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Home
General Fiction[TAMAT] Tentang rumah yang (harusnya) menjadi tempat nyaman untuk pulang