Dalam hubungan keluarga kadang ada pertengkaran dan rasa benci. Tapi, pada akhirnya, keluarga juga lah yang akan saling mengerti dan peduli.
---
Dinda terus saja menunduk, memandang kedua tangannya yang saling menggenggam. Dia sadar, sejak meninggalkan gudang hingga masuk ke mobil Randy, Andra terus saja mengawasinya.
"Lo beneran nggak diapa-apain, kan?" Andra yang terlihat gusar kembali bertanya dari kursi depan.
Dinda menarik napas menguatkan diri lalu mengangguk pelan.
Andra kembali duduk tegak, memilih mengawasi Dinda dari spion depan. "Hape lo kenapa nggak bisa dihubungi?"
Dinda tersentak, mengingat ponselnya yang direbut paksa saat digiring menuju gudang. Kejadiannya begitu cepat. Dia sedang merapikan isi tasnya saat seorang siswi menghampiri dan menyampaikan jika dia dipanggil ke ruang guru. Dalam perjalanan menuju ruang guru, beberapa siswi memepet lalu mengancam dan menuntunnya menuju gudang.
Seperti sudah dikoordinir dengan baik, saat Dinda masuk, salah satu diantara mereka langsung mengunci pintu dan berjaga dari dalam. Yang lain segera memasang badan dan mulai menginterogasi. Dia didorong sampai ke pojok hingga jatuh terduduk. Beruntung, sebelum situasi bertambah buruk, Andra dan Randy muncul menyelamatkannya.
"Mungkin ada di gudang." Dinda memberi jawaban lirih, merasa sayang jika harus kehilangan ponselnya.
"Mau gue laporin ke kepala sekolah?"
"Jangan," Dinda menjawab cepat, "Jangan sampai semua orang di sekolah tahu kalau kita bersaudara," lirihnya.
Andra mengernyit menatap heran pantulan Dinda pada spion. "Terserah, sih."
"Tolong, jangan ceritakan ini juga sama ibuku," pinta Dinda masih dengan suara pelan, "Dan cukup kita saja yang tahu kejadian ini," lanjutnya.
Andra melirik Randy, memberi isyarat untuk melakukan permintaan Dinda. Randy mengangguk tanda mengerti.
Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang rumah. Dinda keluar lebih dulu setelah mengucap terima kasih. Dia berjalan sambil menunduk, meninggalkan Andra dan Randy yang terus menatapnya dari dalam mobil.
"Ada pelajaran tambahan? Kenapa tidak bisa dihubungi, Nak?"
Dinda mendongak, mendapati ibunya berdiri dengan ekpresi khawatir. Dia berusaha memberi senyum. "Maaf," lirihnya. "Tadi—"
"Hapenya hilang," ucap Andra saat sejajar dengan Renata. Dia lalu melanjutkan langkah menuju kamar.
Renata menatap anaknya sambil menghela napas. "Kok bisa?"
Dinda hanya mengangkat bahu lalu kembali mengucap maaf.
"Ya, sudah. Sekarang ganti baju. Ibu siapkan makan siang. Nanti kalau mau turun sekalian panggil Andra, ya. Kasihan kalau Bi Nah harus ke atas lagi panggil dia."
Dinda mengangguk lalu melangkah menuju kamarnya.
***
Andra mengempaskan tubuh ke atas tempat tidur. Dia menatap lurus langit-langit kamar sambil memikirkan ketidakinginan Dinda untuk membiarkan satu sekolah tahu hubungan saudara diantara mereka.
"Halah ... kenapa gue mikirin itu?" Andra berguling lalu mengeluarkan ponsel, memilih untuk bermain game.
Suara ketukan pada pintu kamar membuatnya menekan tombol pause pada permainannya. Andra melangkah dengan senyum kecil, siap untuk mengangetkan Bi Nah yang selalu mengingatkannya untuk makan.
"Ayo, makan."
Andra melongo menatap kepergian Dinda setelah mengucap kalimat singkat itu. Dia tersenyum kecil lalu ikut melangkah menuju ruang makan. Bagaimanapun dia harus menambah energi setelah ketegangan tadi. Dinda tampaknya benar-benar dalam keadaan baik juga.
Langkah Andra terhenti saat menangkap sosok Sarah yang juga turut duduk bersama Dinda dan Renata pada meja makan. Dia merasa ragu untuk mendekat dan merusak keakraban ketiga wanita yang tengah berbincang hangat itu. Andra memilih meneruskan langkah menuju taman belakang. Memberi waktu kepada Sarah untuk merasakan indahnya berbagi cerita bersama keluarga, seperti yang selama ini kakaknya inginkan.
Andra memilih duduk pada kursi besi yang selalu menjadi pilihan jika merasa jenuh dengan suasana rumah. Cuaca yang tidak terlalu terik membuatnya nyaman menyandarkan kepala sambil menatap langit. Dia menghela napas lalu memejamkan mata, memikirkan kegiatan rutin yang akan dia jalani besok.
"Loh, ndak ikut makan, Nak?"
Andra menoleh mendengar suara Bi Nah dari belakang. Dia menggeleng lalu kembali bersandar.
"Di ruang makan ada ibu sama saudaramu, sesekali ikutlah bergabung dengan mereka. Bi Nah juga senang melihat Sarah yang mulai sering tersenyum sejak mereka datang. Selanjutnya kamu, ya," ucap Bi Nah lalu duduk di samping Andra.
Andra menatap lurus Bi Nah, wanita tua yang sudah bekerja di rumahnya bahkan jauh sebelum dia dilahirkan. Orang yang menjadi saksi segala hal yang terjadi dalam keluarganya.
"Entahlah, Bi," lirih Andra lalu merenungi kembali setiap ucapan Sarah sehari sebelum hari ulang tahun ke sepuluhnya yang tiba-tiba muncul dalam pikiran.
Bi Nah menghela napas lalu mengelus pelan punggung majikannya. "Bi Nah masuk dulu, takut Bu Renata butuh sesuatu," ucapnya lalu meninggalkan Andra.
"Bi Nah ... masih ingat ulang tahunku, kan?" lirih Andra, matanya memandang punggung Bi Nah yang menjauh. Pandangannya mulai kabur karena air mata yang tiba-tiba berkumpul, seiring dengan munculnya ingatan akan peristiwa pada hari ulang tahunnya yang ke sepuluh.
***
Dinda menatap takjub kerlap-kerlip dari lampu setiap rumah di sekitar tempat tinggalnya. Meski langit sedang gelap tanpa bintang satu pun yang terlihat, pemandangan indah masih bisa dia saksikan dari loteng tempatnya berdiri.
Dinda menoleh pada Sarah yang memilih duduk sambil meluruskan kaki di belakangnya. "Kenapa baru mengajakku ke sini? " ucapnya dengan pandangan fokus menikmati keadaan sekeliling.
Sarah hanya diam, malas menanggapi. Dia menyimak reaksi Dinda yang terlihat sangat senang. "Aku memikirkan ucapanmu."
"Hah?" Dinda menoleh lalu berjalan mendekati Sarah, "Maksudnya?"
Sarah mengangkat bahu. "Kau sama Andra sudah akrab, ya?" tanyanya.
Kening Dinda mengkerut. Sejak tadi Sarah mengabaikan pertanyaannya. "Kenapa berpikir begitu?"
"Kau berani melempar Andra pakai kotak bekal, kan?"
Dinda tertawa kecil. "Iya," jawabnya, "Kamu mau membalasnya? Mendorongku dari loteng ini mungkin."
Sarah tersenyum miring. "Aku mau minta tolong."
"Apa?"
"Besok ... ulang tahun Andra. Temani dia, ya."
Dinda kembali mengerutkan kening. "Kenapa harus saya? Kenapa bukan kamu saja? Kalian, kan, saudara kandung."
Sarah menghela napas. "Sudah ku coba waktu ulang tahunnya yang ke sepuluh. Tapi, ditolak. Bahkan sebelum aku mengucap satu kata. Mungkin efek dari kata kasar yang kuucapkan sehari sebelumnya," lirihnya.
Dinda ikut menghela napas, ada gurat kesedihan yang dia tangkap dari wajah Sarah.
"Andra pasti sangat kesepian," ucap Sarah lalu bangkit menuju jendela besar tempat Dinda berdiri sebelumnya.
Dinda mengangguk. "Baiklah, akan saya coba. Itu pun kalau Andra menerima, dia juga sudah menolong saya hari ini" ucapnya.
Sarah berbalik lalu mengumbar senyum "Terima kasih."
Dinda balas tersenyum. Setidaknya hari ini, hubungan dengan kedua saudara tirinya semakin membaik. Mungkin dia akan menjadi jembatan untuk mendamaikan Andra dan Sarah.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Home
Fiksyen Umum[TAMAT] Tentang rumah yang (harusnya) menjadi tempat nyaman untuk pulang