Bab XI : Ulang Tahun Andra

21 5 0
                                        

Adalah sebuah beban saat hari istimewamu menjadi hari peringatan kematian orang yang penting dalam hidupmu.

---

Suasana halte terasa lebih sepi pagi ini. Dinda sudah sampai lebih dulu, meninggalkan Andra yang berjalan pelan sambil bermain ponsel sejak meninggalkan rumah. Setiap mengembuskan napas, Dinda terus memantau langkah Andra yang mendekati halte, pikirannya berusaha memilih cara dan kalimat yang tepat untuk mengucapkan ulang tahun pada Andra.

"Ada apa?" tanya Andra tepat saat mencapai kursi halte, matanya tetap fokus pada ponsel yang sedang dia pegang.

"Ya?" Dinda mengerjap, merasa serba salah karena tertangkap basah.

Andra mendengkus, meletakkan ponsel di saku celana dan melepaskan headset dari telinga kanannya. "Kenapa lo liatin gue terus?"

"O-oh, itu," Dinda terbata, "Tidak ada apa-apa."

Andra tersenyum miring dan kembali memasang headset.

Dinda menarik napas dalam dan meyakinkan diri lalu membuka suara. "Sebenarnya saya cuma mau kasih ucapan selamat ulang tahun. Saya juga tidak bisa kasih kamu barang atau hadiah. Tapi, kalau kamu butuh sesuatu, jangan sungkan untuk sampaikan sama saya." Dia menjeda, melirik Andra yang sepertinya tidak mendengar kalimatnya. "Bilangnya mungkin pas di rumah saja," lirihnya.

Bus jurusan menuju sekolah mereka sudah muncul dari belokan sebelum halte. Dinda beranjak, bersiap ke pinggir jalan menunggu bus berhenti tepat di depannya. Gerakannya terhenti karena tangan kanannya dicekal oleh Andra. Dinda menoleh hendak protes, tapi ekspresi yang ditunjukkan Andra justru membuatnya melongo. Jika mungkin, rahang bawahnya akan terjatuh karena terus menganga mendapati pesona yang sedang ditunjukkan saudara tirinya itu.

Andra mengulas senyum dan menatap tepat pada mata Dinda. "Gue butuh bantuan lo sekarang," ucapnya ramah.

Dinda masih takjub, tangan kirinya yang bebas menekan dada meredakan debar yang tiba-tiba tercipta. Seolah dihipnotis oleh pesona senyum ramah Andra, dia sontak mengangguk menyetujui ingin Andra. Membiarkan bus yang akan mengantarnya menuju sekolah berlalu begitu saja di belakangnya.

***

Andra terus menahan senyumnya karena melihat raut wajah memelas Dinda. Dia sendiri juga merasa heran, Dinda patuh saja saat tangannya digandeng berjalan menjauh dari halte.

"Hari ini saya ada ulangan sejarah." Suara lirih Dinda kembali terdengar. "Kenapa kita harus bolos?" tanyanya sedih.

"Gue juga sering bolos, kok. Santai aja."

"Saya bukan kamu," ucap Dinda membuang muka.

Andra tersenyum kecil melihat ekspresi Dinda. "Ayo, masuk," ajaknya saat mereka sudah sampai pada sebuah panti asuhan.

Dinda masih mematung di halaman panti asuhan. Dia hanya mengamati Andra yang melangkah santai menuju pintu dan langsung bercengkrama dengan beberapa anak yang ada di sana. Senyum tulus terukir di wajahnya melihat interaksi Andra dan anak-anak itu.

"Sepertinya kamu sudah akrab sama mereka," ujar Dinda saat berjalan mendekati Andra.

Andra menoleh dan tersenyum miring lalu berdiri. "Gue merasa senasib aja sama mereka."

Dinda menggeleng. "Setidaknya kamu masih punya ayah dan saudara kandung. Sedang mereka," Dinda menjeda dan menghampiri seorang balita yang terus saja tersenyum padanya. "Dia bahkan dirawat oleh orang yang tidak sedarah dengannya," ucapnya lalu menggendong balita tersebut.

Andra menarik napas lalu menerawang. "Setidaknya dia bukanlah penyebab ibunya meninggal," lirihnya.

Dinda memilih diam, dalam hati menyesali kalimat yang baru dia ucapkan. "Apa yang biasanya kamu lakukan saat ke sini?" tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan sambil terus membelai pipi balita di gendongannya.

"Bermain," jawab Andra polos.

Dinda terkekeh lalu berdecak sendiri. "Ya, sudah. Ayo, bermain," ucapnya lalu melompat kecil yang membuat balita yang digendongannya tertawa senang.

***

Tidak ada perayaan ulang tahun isitmewa yang diadakan, hanya bermain dan bercengkrama dengan penghuni panti asuhan. Mereka berbagi tawa dan canda bersama. Andra benar-benar bisa melepas semua beban pikirannya. Hadirnya Dinda turut menambah rasa suka citanya.

Andra terus saja tersenyum mengamati tingkah Dinda yang begitu larut bermain bersama anak-anak panti, seolah lupa dengan ulangan sejarah yang dia lewatkan hari ini. Dia memilih duduk di sudut ruang bersama pengawas panti asuhan dan menikmati tawa ceria yang tercipta.

"Terima kasih, ya, Nak, kunjungan rutinmu sangat berarti untuk kami di sini." Pengawas panti menepuk pundak Andra.

"Sama-sama, Bu," balas Andra lalu bangkit dan menghampiri Dinda. "Ayo," ucapnya saat berdiri di samping saudara tirinya.

Dinda menoleh menatap Andra, ingin meminta waktu lebih lama lagi, tapi dia urungkan. Dia memilih bangkit dan berpamitan pada pengawas panti. "Jadi, ke mana selanjutnya?" tanyanya pada Andra yang sudah berpamitan lebih dulu.

"Tujuan utama kita hari ini." Andra menjawab sambil mengembuskan napas berat.

***

Dinda hanya bisa menghela napas sambil terus menatap punggung Andra yang tengah merenung menatap pusara bertuliskan Ariandra Margaretha—nama ibu kandung Andra. Dia juga teringat akan makam ayahnya yang terakhir dia kunjungi beberapa bulan sebelumnya.

"Ini rumah gue," lirih Andra.

Dinda memilih diam, bingung harus memberi tanggapan seperti apa.

"Gue cuma bisa merasa nyaman dan tenang kalo ada di sini, suasana yang harusnya dirasakan di rumah, kan?"

"Kamu punya Sarah ...."

"Dia benci gue."

"Papamu ...."

Andra tertawa pelan, "Dia bahkan jauh lebih benci gue."

Dinda memilih duduk di samping Andra yang masih fokus pada gundukan tanah di depannya. "Kenapa berpikir begitu?" Dinda berusaha mengatur intonasinya agar tidak terkesan menginterogasi.

"Sarah, sehari sebelum gue ulang tahun yang kesepuluh, ngungkapin semuanya. Kalo gue yang bikin mama meninggal, gue yang bikin dia kehilangan perhatian papa. Gue jadi penyebab suasana rumah idamannya hancur. Sarah nggak mau ada manusia jahat kayak gue yang tinggal serumah sama dia. Dan papa ...." Andra menarik napas panjang, seolah ada beban berat yang menghimpit jalur napasnya. "Papa bahkan menyesal menuruti keinginan mama yang memilih tetap pertahanin gue disaat kritis." Setetes air mata lolos dari mata Andra.

Dinda terkejut mendengar penuturan Andra. "Kenapa kamu berpikir begitu?"

"Gue denger sendiri. Waktu itu, gue mau minta papa buat bikin pesta ulang tahun gue yang kesepuluh, sekalian mau ngajak Sarah berdamai, tapi sebelum membuka pintu ruang kerja papa, yang gue denger justru kalimat penyesalannya karena milih gue lahir ke dunia."

Dinda menutup mulut tak percaya. Air matanya turun begitu saja, ikut merasakan sakit yang sama dengan Andra. Bisa dia bayangkan rasa sedih dan bersalah yang selama ini dibawa Andra dalam hidupnya. Tangan Dinda tergerak untuk menepuk pelan punggung Andra. Merasa tidak ada perlawanan, tepukannya beralih menjadi elusan lembut, berharap sentuhan tangannya itu dapat memberi rasa nyaman untuk saudara tirinya itu.

***

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang