Satu demi satu, benang kusut yang mengganggu akan terurai hingga membentuk jalinan indah yang membawa bahagia.
---
Iryawan menumpukan kepalanya pada kemudi mobil. Bahunya bergetar akibat tangisan yang tidak bisa dia tahan lagi. Setelah menerima pesan dari Pak Ikin, dia bergegas menuju pemakaman demi melihat kedua anak kandungnya yang pulang bersama. Iryawan mengambil napas dalam dan mengusap wajah, menata perasaan, kemudian menyalakan mesin mobil dan bersiap meninggalkan pemakaman saat melihat Andra dan Sarah bangkit dari sisi makam mama mereka.
Setelah memastikan jika mobil Sarah mulai bergerak, Iryawan turut memutar kemudi dan memilih kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaan yang dia tinggalkan secara mendadak tadi. Dia merogoh saku jas dan mengambil ponselnya, memberi kabar pada Renata jika hari ini dia akan pulang terlambat lagi.
Gestur hormat dari beberapa karyawan di pintu masuk menyambut langkah Iryawan. Dia membalas dengan senyum tipis dan terus berjalan menuju lift. Iryawan menghempaskan tubuh pada sofa empuk di dalam ruangannya, berharap beban dipundaknya ikut berhamburan. Dia bersyukur bisa melihat kedua anaknya akhirnya bisa akur, tapi, masih ada satu hal yang masih menganggu pikirannya, pendapat Andra yang menganggap kehadirannya dibenci dalam keluarga.
Ketukan pada pintu mengalihkan perhatian Iryawan. dia mengambil napas, mengatur suasana hati lalu bangkit menuju meja kerjanya. "Masuk," perintahnya setelah duduk dengan baik pada kursinya. Dia memberi senyum pada sekretaris yang membawa beberapa map. Serumit apapun kehidupan di rumahnya, dia harus tetap fokus pada pekerjaan demi penghidupan keluarganya.
***
Jam menunjukkan pukul 20.36 saat Iryawan mengendarai mobil memasuki pekarangan rumahnya. Setelah memarkirkan kendaraan dengan baik di garasi, dia berjalan menuju teras depan dan membuka pintu yang tidak terkunci. Senyum tulus Renata dan anggukan hormat dari Bi Nah menyambutnya.
Renata berjalan mendekat dan mengambil alih tas yang dijinjing suaminya. "Sudah makan?"
Iryawan mengangguk memberi jawaban. "Anak-anak sudah pulang semua?" tanyanya kemudian meneruskan langkah menuju kamar.
Renata mengekor. "Iya, mereka sedang berkumpul di halaman belakang," jawabnya.
Langkah Iryawan terhenti, dia menoleh dan menatap Renata lekat. "Bertiga?" tanyanya memastikan.
Renata terkekeh, merasa maklum dengan reaksi sang suami. Dia mengangguk dalam lalu menjawab, "Iya, Dinda, Sarah sama Andra. Bertiga."
Iryawan tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Dia tersenyum bahagia lalu merangkul istrinya. "Semoga mereka bisa seperti itu terus," harapnya.
Renata mengamini. Dia membalas rangkulan suaminya. "Setelah ini, giliran kamu yang harus mengajak Sarah sama Andra, ya," lirihnya.
Helaan napas berat Iryawan terdengar. Dia juga mengharapkan hal yang sama. Tapi, bagaimana cara memulainya? Masih dipikirkan. Dia membuka pintu kamar lalu melepas pakaian kerja.
Renata menyimpan tas ke atas meja bundar di dekat tempat tidur. "Saya siapkan peralatan mandi, ya," ucapnya lalu berjalan ke arah kamar mandi.
Iryawan mengangguk memberi tanggapan, segera setelah Renata keluar, dia masuk ke kamar mandi dan menyalakan shower. Kepalanya terasa dipijat lembut oleh sentuhan air yang keluar dari shower. Dia memejamkan mata, memikirkan kembali kesalahpahaman yang diutarakan Andra tentangnya.
Iryawan masih berdiri tegak di bawah guyuran air yang mengucur saat otaknya memunculkan sebuah peristiwa yang membuatnya tersentak. Satu kejadian yang menurutnya sukses mencipta jarak antara dirinya dan kedua anak kandungnya. Napasnya seketika memburu menyadari peristiwa lampau itu.
"Ya, pasti karena kejadian waktu itu," lirihnya lalu membasuh diri dan membersihkan busa yang tersisa. Berharap rasa bersalah yang tiba-tiba muncul dari dalam dirinya ikut menghilang.
***
Dinda menatap iri pada genggaman tangan dua bersaudara di sampingnya. Sejak tadi mereka saling berbagi cerita dengan riangnya, seolah menganggap dirinya tidak ada diantara keduanya. Dia memilih memeluk lutut dan menumpukan kepalanya di sana.
"Kau bosan, ya?" Sarah yang menyadari suasana hati Dinda bersuara, dia merangkul adik tirinya itu.
"Sedikit," jawab Dinda.
"Lo pasti iri karena nggak punya saudara, kan?" seloroh Andra yang duduk di sebelah Sarah.
Sarah memukul pelan kepala adiknya. "Kita ini saudaranya Dinda."
Dinda terkekeh, merasa terhibur dengan tingkah dan ucapan Sarah.
"Bukan." Andra tidak mau mengalah. "Dia masih nggak mau kalau orang sekolahan tahu kita saudara," lanjutnya.
Kening Sarah mengkerut. Dia menoleh pada Dinda, matanya menatap seolah meminta penjelasan.
Dinda yang paham hanya mengangkat bahu. "Hanya tidak ingin," jawabnya. "Selama sekolah saya selalu jadi siswa yang biasa saja. Rasanya kurang nyaman saja kalau tiba-tiba jadi sorotan," terangnya.
Andra mendengkus mendengar jawaban Dinda. "Apa salahnya menjadi sorotan?"
Dinda menghela napas. "Saya tidak suka," lirihnya.
"Iya, sih." Sarah mengeluarkan pendapat. "Saat orang banyak tahu status kita, atau ragam hal tentang kita, rasanya susah kalau mau bertindak. Segala reaksi sama komentar orang jadi pikiran."
"Ngapain juga mikirin pendapat orang lain? Ribet." Andra masih tidak mau kalah.
Sarah dan Dinda mengembuskan napas bersamaan.
"Masing-masing dari kita punya pendapat berbeda." Sarah merangkul kedua saudaranya. "Yang pasti, kita harus terus punya komunikasi dengan baik seperti ini," lanjutnya dengan senyum optimis.
Dinda mengangguk cepat. "Rasanya menyenangkan punya kakak perempuan," ucapnya.
"Kalau kakak laki-laki?"
"Tergantung ... kalau saudara laki-lakinya seperti kamu rasanya menyebalkan." Dinda memberi jawaban dengan senyum masam.
Andra tertawa lebar mendengarnya. Entah kenapa dia merasa terhibur mendengar kalimat itu.
Sarah ikut tertawa lalu mencolek pinggang Dinda. "Kita harus lebih sering menghabiskan waktu bersama," usulnya.
Dinda mengangguk cepat. "Hanya berdua, kan?" ucapnya dengan ekspresi jail.
Andra mendecih dan memasang tampang kesal untuk Dinda.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Home
General Fiction[TAMAT] Tentang rumah yang (harusnya) menjadi tempat nyaman untuk pulang