BAB VIII : Pelukan Ibu

21 4 2
                                    

Ibu ... sosok yang selalu membawa bahagia bersama dengan hadirnya.

---

Para siswa berebutan melangkah menuju gerbang sekolah, seolah pagar besi tersebut akan meninggalkan mereka jika terlambat sedikit saja, padahal bel pulang sekolah baru saja berhenti berbunyi. Ekspresi lelah dan suntuk tergambar jelas dari wajah mereka yang menganggap belajar adalah kegiatan yang sangat membosankan.

Dinda terus saja tertawa setelah mendapati Ray begitu cepat menghampirinya di kelas, mengingat jarak ruang kelas mereka yang cukup berjauhan.

Ray menjitak kepala Dinda gemas. "Gue begini karena khawatir sama lo, ya," ucapnya.

Dinda meredakan tawa lalu menatap Ray tulus. "Terima kasih, ya," balasnya, "Tapi, sungguh, apa fans Andra benar-benar seberbahaya itu?"

Ray menghela napas, "Semester lalu, teman sekelas gue milih pindah setelah diteror karena nggak sengaja bikin Andra jatuh. Padahal Andra juga kayanya nggak keberatan sama insiden itu."

"Serem juga, ya," ucapnya. "Ya, sudah. Saya duluan, ya," lanjutnya saat melihat mobil jemputannya sudah muncul.

"Sekarang lo punya sopir pribadi, ya? Enaknya," ejek Ray.

Dinda hanya memainkan alis menahan senyum. "Bagaimanapun saya sudah jadi anak orang kaya sekarang," ucapnya lalu berlari menjauh sebelum Ray kembali berhasil mendaratkan pukulan di kepalanya.

"Siang, Pak," sapa Dinda setelah membuka pintu mobil, dia memilih duduk di samping Pak Ikin, "Hari ini langsung pu—" gerakan Dinda untuk menaruh tas di kursi belakang terhenti. Dia berbalik dan mendekap tasnya setelah mendapati Andra duduk sambil memainkan ponsel di kursi belakang. Dinda melirik Pak Ikin, bertanya dengan isyarat pandangan.

Pak Ikin mengangkat bahu lalu memutar kemudi sambil menahan tawa melihat tingkah Dinda. Dia juga merasa bingung dengan ikut bergabungnya Andra untuk pulang bersama.

Hanya ada hening sepanjang perjalanan pulang. Musik yang biasa diputar Dinda untuk mencairkan suasana bersama Pak Ikin tidak terdengar. Keduanya seakan kompak tak bersuara, merasa canggung dengan kehadiran Andra.

Sedang Andra, sumber dari kesunyian ini justru fokus memainkan game di ponsel dan juga mendengarkan musik melalui headsetnya. Dia berlagak seolah melakukan rutinitas pulang sekolah seperti biasa.

Setelah mobil berhenti sempurna, Andra menjadi orang pertama yang turun. Dia terus berjalan ke dalam rumah dan langsung mengunci diri di kamarnya. Dinda hanya memerhatikan dari belakang, dengan ceria dia menghampiri ibunya untuk berbagi cerita. Hal yang akhir-akhir ini menjadi kegiatan favoritnya sepulang sekolah.

***

Andra meluruskan badan di atas tempat tidur. Matanya menatap lurus langit-langit kamar yang bercat putih tulang. Dia menarik napas lalu kembali memeriksa ponselnya. Selama beberapa hari dia tidak pulang, ada satu nomor baru yang selalu setia mencoba menelepon bahkan mengirimkan pesan sekadar menanyakan kabarnya.

Andra bangkit lalu meraih tas sekolahnya, mengeluarkan kotak makanan berwarna biru yang sudah dia habiskan isinya kemudian berjalan menuju pintu. Dia ingin mengucap rasa terima kasih secara langsung pada Renata. Bagaimanapun, perhatian darinya mampu membuat Andra merasakan sesuatu yang baru di hatinya. Sesuatu yang dia perkirakan sebagai kasih sayang dari seorang ibu yang selama ini tidak didapatkannya.

Suara ketukan terdengar tepat saat Andra menyentuh pegangan pintu. Dia mengernyit dan menatap tangannya, ada rasa ragu untuk segera membuka pintu. Dia kembali menarik napas lalu membuka pintu kamarnya. Ekspresi terkejut Dinda menyambutnya.

"Ini untuk lukamu." Dinda mengajukan obat merah tepat di depan wajah Andra, sedang dia terus menunduk, merasa segan untuk membalas tatapan saudara tirinya.

Andra mengambil obat merah dari tangan Dinda.

"Dan maaf untuk kejadian di sekolah." Dinda berucap lalu melangkah cepat menuju kamarnya.

Andra masih mematung di tempatnya. Dia menatap kotak makanan dan obat merah pada masing-masing tangannya bergantian lalu tertawa kecil. Dia kembali masuk ke kamar dan berjalan menuju cermin besar di dekat pintu menuju balkon, menatap dan memperhatikan luka kecil yang diciptakan sudut kotak makanan yang dilempar Dinda.

"Hanya luka kecil," komentarnya sambil menatap pantulan diri pada cermin. Andra lagi-lagi merasa terhibur dengan tingkah Dinda, adik tirinya itu telah memberi suasana baru juga dalam harinya belakangan ini.

Pandangan Andra alihkan pada area belakang rumah, mendapati Renata dan Sarah yang duduk bersama pada kursi panjang yang pernah diisi oleh ayahnya dan Dinda. Rasa bahagia tergambar jelas dari ekspresi Sarah. Dia menghela napas, mencoba membuang cemburu yang tiba-tiba saja menyapa hatinya.

***

Andra berjalan menghampiri Renata yang sedang sibuk menata pot bunga seorang diri di taman belakang setelah memastikan jika Sarah ataupun Dinda tidak ada di sana. Dia menarik napas dalam-dalam saat berdiri tepat di belakang Renata.

"Terima kasih," ucap Andra dengan mengajukan kotak makanan.

Renata menoleh lalu tersenyum menatap Andra. "Kamu suka?"

Andra mengangguk pelan.

"Ayo, kita duduk dulu," usul Renata lalu berjalan lebih dulu menuju kursi panjang di dekat mereka. Dia menepuk ruang kosong di sebelahnya setelah duduk, memberi isyarat agar Andra mengikutinya.

"Anda tahu dari mana menu kesukaan saya?" Andra membuka suara setelah mengikuti instruksi Renata.

"Saya banyak bertanya sama Bi Nah tentang kalian. Karena sepertinya sulit untuk bertanya langsung, apalagi sama kamu." Renata memberi jawaban jujur lalu mengulas senyum.

Andra menghela napas, menyadari tingkahnya yang kurang sopan selama ini. "Maaf," lirihnya sambil tertunduk

"Kemarin menginap di mana? Makan kamu teratur, kan? Saya selalu mencoba menghubungi, tapi kamu nggak mau angkat telepon atau balas pesan saya."

Andra mengangkat wajah, menatap langsung mata Renata yang tampak khawatir. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum kecil. "Terima kasih untuk perhatiannya. Semuanya baik," ucapnya.

"Maaf kalau saya sama Dinda membuatmu kurang nyaman." Renata menghela napas. "Saya harap kita bisa memperbaiki hubungan setelah ini. Saya tidak memaksamu untuk menerima saya sama Dinda, tapi setidaknya tidak ada canggung atau pun sungkan diantara kita."

Andra terdiam, fokusnya hanya pada wajah Renata yang meneduhkan.

Renata memberanikan diri meraih dan menggenggam kedua tangan Andra. "Saya tidak memintamu untuk menerima saya sebagai ibu. Saya siap untuk menjadi temanmu, atau apapun yang membuat kamu nyaman bersama saya. Jangan sungkan, ya," ucapnya lalu menepuk punggung tangan Andra.

Andra menarik napas dalam-dalam, ada haru yang menyeruak membuatnya merasa sesak. "Boleh kupanggil anda dengan sebutan ibu?" ucapnya.

Renata terkejut, lalu balik menatap Andra yang mulai berkaca-kaca. Dia mengangguk dengan senyum penuh haru.

"Ibu, boleh aku memelukmu?"

Renata mengangguk lalu merentangkan tangan untuk Andra.

Andra menghambur lalu mendekap Renata. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasakan hangatnya pelukan seorang ibu. Ada kehangatan yang membuatnya merasa nyaman dan aman. Dia menarik napas lalu mengatur suasana hatinya. Pantas saja Randy tidak pernah mau membuat ibunya khawatir, nyatanya perhatian dari seorang ibu benar-benar membuat tentram.

***

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang