Naya
Lo tau apa yang lebih ngeselin daripada ocehan si Herman –yang bukannya ngajar malah bragging about his so-called-achievement, which is berhasil keluar negeri dibayarin negara setelah berhasil nulis buku cetak bahasa inggris terus terpilih untuk ikut suatu acara atau seminar disana padahal jelas-jelas seisi kelas nggak ada yang ngaggep itu sebuah achievement?
Abang-abang gue.
Oh iya, belum kenalan. Nama gue Naya, Kanaya Arsyakayla Azarein. Cewek paling cantik se-jalan suren nomer 4A. Motto hidup, 'harta, tahta, oppa.' Sekarang umur tujuh belas, kelas dua SMA. Punya abang tiga, dan ngeselin semua. Hobi, cuma empat; trying my best not to get uglier, makan, tidur, dan fangirling. Udah, nggak ada yang lain.
Nggak tau ya, kalo mungkin anak anak lain yang seumuran gue lagi pada sibuk sibuknya berusaha mati matian menunjukkan siapa dan ada di kasta mana mereka berada di society, gue nggak begitu. At least, nggak lagi. Berusaha jadi 'sesuatu' will only bring you drama, drama, and more drama. And it won't be pretty.
Terus, apa hubungannya paragraf diatas sama abang-abang gue? Banyak. Abang-abang gue mungkin bukan selebgram yang terkenal sampe kalo angka followersnya itu angka yang tercetak di duit bisa dibeliin salmon mentai seporsi, tapi tampangnya, they sure as hell look like one. Dan apa akibatnya kalo mereka muncul di sekolah gue yang kekurangan jantan dengan tampang menawan ini? Temen temen gue langsung kayak cacing kepanasan. Terus abisitu sibuk ngepoin IG gue buat nyari IG mereka berdua. Iya, Kak Adzka sama Bang Dirga aja, Mas Dhaksa mah udah tiap hari liat soalnya jadi udah pada follow. Yang bikin gue makin males lagi adalah kalo ada cewe yang pengen dideketin sama Abang atau Kakak, terus malah jadi ngalus ke gue. Masa gue udah susah susah menjauhkan diri dari drama, terus dengan gampangnya mereka mendekatkan gue ke semua perdramaan itu lagi? Gila ya.
"HHHHH SEBEL." Gue meremas tempat pensil berbulu gue yang daritadi gue pegang pegang. Akibatnya, Dara yang semula lagi tertidur pulas kebangun.
"Apa sih, Nay?"gumamnya sambil mejem-mejem mengumpulkan nyawa. Iya, Pak Herman, di kelas ini, se nggak dihargain itu. Abisnya, siapa juga yang mau dengerin ocehan dia tentang keluar negeri sama keluarganya itu kalau minimal setengah kelas ini udah pernah ngelakuin itu? Kek, hellow, pak, bapak saya tiap hari terbang-terbang keluar negeri, dibayar lagi.
"Kesel sama Abang." Kata gue. Asli, gemes banget pengen gue sedot ubun ubunnya.
"Udah lah Naaay," Dara bangun setelah sebelumnya tidur dengan menempelkan pipinya di meja. Garis garis tercetak di pipi mulusnya soalnya dia tidur dialasin jaket. "Mereka nggak akan berani nggak sih, ngalus sama lo, I mean, after all they've done to you."
Gue menghela nafas. "Aamin." Kata gue. Amin paling serius, deh. Apapun yang terjadi, gue nggak mau lagi berurusan sama anak anak dari kalangan dan kasta tertentu. I've had enough.
"TRIIIINGGGG...." Bel tanda pergantian jam pelajaran berbunyi. Thank god, akhirnya gue bisa berhenti ngedengerin semua nonsense ini.
Sedetik setelah Pak Herman menapakkan kakinya keluar dari kelas ini, seisinya langsung gaduh. Dara yang ada disebelah gue sibuk menggeliat geliat, stretching.
"Hadeh, masih satu pelajaran lagi ya? Aduuh, gak kuat, bosen banget." Omelnya.
"Bawa kerudung gak, Dar?"
"Hah? Ngapain? Kan bukan pelajaran agama?" cewek itu menaikkan sebelah alisnya.
"Mau pake headset terus streaming drakor. Hehe."
"Udah gila ya kamu maemunah?" Dara menjitak gue pelan-pelan, takut nggak sengaja ngenain luka sobek di jidat gue ini. Gue Cuma cengar cengir.
"Nay, jajan yuk. Pengen seblak. Ayoo buruan nanti keburu Bu Santi dateng."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Chaos [Discontinued]
JugendliteraturKanaya pernah dengar orang bilang, kalo lagi pusing dihadapin sama dua pilihan, 'follow your heart, but take your brain with you.' Kalau otak Naya ketinggalan di rahim Bunda terus hatinya nggak bisa memilih, gimana? Ya chaos dong, bos.