Senandung kecil lolos dari mulut Rajendra, menjadi suara yang mendominasi diantara heningnya malam itu. Cowok itu baru aja nyampe ke rumahnya –ralat, rumah kontrakan Resonance, setelah tadi nganter Kanaya pulang dari rumahnya yang lumayan jauh itu.
Cowok berbadan cungkring itu meregangkan pinggangnya yang kaku karena menyetir, kemudian mengunci mobil, dan menutup pagar rumah. Cowok itu masih terus menyenandungkan nada-nada random dari mulutnya sepanjang jalan masuk ke rumah kecil itu. Dalam hati, Rajendra merutuk.
Cuy, rumah ini tuh udah kekecilan banget buat di huni sama lima orang, enam kalo nanti udah nemu manajer baru. Jendra melirik ke halaman mereka yang udah berubah fungsi jadi lahan parkir motor Damar dan Wirdhan, serta sendal-sendal burik yang berserakan di sekitarnya. Belum lagi tiang jemuran yang teronggok tidak rapi, disandarkan pada pagar. Pokoknya, ga ada estetik estetiknya sama sekali. Mobil Bara harus parkir didepan rumah dan bukannya di garasi karena garasi hanya cukup untuk dua mobil.
Jendra sendiri nggak tau tepatnya rumah ini berapa meter persegi, tapi jelas-jelas mereka butuh rumah baru. Yang dua tingkat harusnya.
Yok mangat yok nyari orderan biar bisa nyewa rumah yang gedean dikit.
Rumah yang mereka tempati hanya satu lantai. Asalnya, rumah itu hanya memiliki tiga kamar, tapi kemudian, garasi samping diubah jadi kamar tidur dan taman belakang juga dibangun, makanya mereka (kalo emang mau) ngejemur ya harus di depan. Tapi untungnya dengan jadwal mereka yang super padat, nyaris nggak ada waktu buat nyuci baju sendiri. Kalo ada juga mereka lebih milih buat leyeh leyeh atau bucin, sih.
Begitu Jendra masuk, cowok itu langsung dihadapkan dengan pemandangan Bara yang lagi bucin di ruang tengah, video call sama cewek yang nggak tau siapa soalnya Jendra nggak bisa liat dengan jelas.
"Udah mandi beluum kamu?" tanya cewek itu.
Bara nih antara pengen sombong punya cewek atau emang bego aja kenapa ga pake earphone sih?
Jendra melirik sinis. Iya emang sejak jadi jomblo dia jadi sinis dan salty sama berbagai macam jenis perbucinan.
"Beloom, mager banget kenyang abis makan." Jawab Bara.
"Kayak gaada topik lain aja." Jendra menggumam sambil nyopot converse high top miliknya dengan suara kecil.
"Mandi doong iiih bau acem."
Demi. Neptunus. Ini semua bulu bulu di badan Jendra berdiri. Pengen teriak "CRIIIINGGGEEEEEE," tapi dia lagi gak mood membuat keributan jadi dia diem aja, pura-pura nggak danger percakapan najis mereka berdua. Sambil ngomel lagi didalem hati, ini kenapa sepatunya susah banget sih dibuka elah.
"Mandiiiinn.."
Anjing. Nggak. Gak bisa. Je nggak bisa denger semua ini. Semua sel-sel ditubuhnya meronta ingin muntah.
Cowok itu langsung melempar sepatunya ke lantai, lantas berujar, "Mandiin mandiin, mayyit lu sampe kudu dimandiin? Hah?" tanyanya sambil berjalan melewati ruang tengah ke arah kamarnya. "Hih!" Cowok itu bergidik geli.
"Iri bilang bos!" Bara malah ngetawain Jendra yang lewat, bukannya malu.
"Najis ngapain juga." Jawabnya, lalu membuka pintu kamar Damar yang terletak di sebelah kamarnya, instead of masuk ke kamarnya sendiri.
Si empunya kamar lagi duduk di meja komputer, main game, emangnya ngapain lagi?
Rajendra masuk, terus langsung rebahan di kasur Damar begitu aja. Abis itu ngeluarin HP, terus mulai scroll scroll semua aplikasi yang ada.
"Dari mana, Je?" tanya Damar. Mata cowok itu masih lekat menatap layar laptopnya, nggak menoleh pada Rajendra yang tidur dibelakangnya sama sekali. Jari-jarinya sibuk menggerak-gerakkan mouse, menembakkan sesuatu ke arah musuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Chaos [Discontinued]
Teen FictionKanaya pernah dengar orang bilang, kalo lagi pusing dihadapin sama dua pilihan, 'follow your heart, but take your brain with you.' Kalau otak Naya ketinggalan di rahim Bunda terus hatinya nggak bisa memilih, gimana? Ya chaos dong, bos.